by Yohanes Sandy 24 June, 2014
Investigasi: Jalan Berliku Menjaga Komodo
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Putu Sayoga
Pantainya putih mulus bercampur jambon. Di interiornya yang hijau, puluhan rusa berpiknik di kaki pepohonan. Panorama Pulau Padar begitu menyihir mata. Tapi kita ingat, tempat ini sebenarnya menyimpan catatan kelam dalam sejarah konservasi di Indonesia. Mungkin yang paling kelam.
Sejak 1990-an, Padar rutin disatroni pemburu. Di malam hari, setelah generator listrik desa-desa sekitar dipadamkan, saat gulita mendekap pulau-pulau di barat Flores, kaum pemburu berkeliaran. Mereka mengendap-endap di hutan, menghunus senapan rakitan, membidik rusa-rusa liar yang merupakan sumber makanan komodo.
Acap kali, demi menggiring satwa, pemburu membakar hutan. Akibatnya fatal. Bayi-bayi komodo tak punya lagi serangga untuk dimakan. Tak ada lagi pohon untuk berlindung dari kanibalisme komodo dewasa. Hasil akhir dari semua itu menyayat dunia: komodo di Padar dinyatakan punah. Itu kesimpulan tahun 2000. Sembilan tahun sebelumnya, Taman Nasional Komodo distempel sebagai Situs Warisan Dunia.
Di taman Jurassic ini, komodo memang menguasai piramida makanan. Tapi di tangan manusia, spesies yang telah bertahan hidup selama 40 juta tahun itu bisa dihapus dalam semalam.
Saya memasuki Padar dengan perasaan takjub sekaligus prihatin. Tiba di Pos Polisi Kehutanan, beberapa orang berbincang seraya menanti sajian makan siang. Pulau ini dijaga empat jagawana—hanya empat orang untuk pulau berbukit yang luasnya setara gabungan Gili Trawangan, Meno, dan Air. “Perburuan masih terjadi, tapi angkanya sudah jauh berkurang. Bisa satu hingga dua kali per bulan,” kata Abdul Hamid, Kepala Pos.
Kemiskinan sering dituding sebagai akar masalahnya. Banyak pihak mengklaim, pemburu merangsek dari kantong-kantong papa di timur Sumbawa. Kita pun menangkap pesan penting: Taman Nasional Komodo bukanlah kawasan yang sepenuhnya terisolasi. Permasalahan di luar pagar zona suaka bisa dengan mudah merembes dan berimbas.
Tapi perburuan tak bisa dilihat dari sisi yang tunggal. Menjadikan ketimpangan pembangunan sebagai penjelasan final berpotensi mengaburkan masalah. Desa-desa di taman nasional juga dijangkiti kemiskinan, namun warganya tak lantas jadi pemburu. Jagawana sebenarnya telah lama mencium keberadaan organisasi hitam yang mengendalikan perburuan. Orang-orang sibuk menghitung rusa yang ditembak, tapi lupa bertanya ke mana daging mengalir dan oleh siapa peluru dipasok.
“Saya tidak percaya 100 persen masalahnya cuma kemiskinan,” kata Abdul Hamid lagi. “Perburuan terorganisasi rapi. Satu ekor rusa dijual antara Rp2-3 juta per ekor. Ini bisnis besar. Ada penadahnya. Mereka juga punya senjata.”
Padar kini telah pulih. Rumput kembali melapisi bukit. Rusa berkembang biak. Setahun silam, seekor komodo merayap di pantainya. Kata Balai Taman Nasional, komodo itu datang dari pulau tetangga, Rinca, yang hanya terpisahkan oleh sebuah selat sempit. Bau bangkai rusa mungkin terbawa angin ke sana dan terendus sang predator. Jika argumen itu akurat, dugaan komodo mampu berenang terbukti sahih.
Bagaimanapun, kepunahan komodo di Padar masih menyisakan pertanyaan. Secara geografis, pulau ini harusnya paling mudah diawasi, paling aman. Padar terjepit dua pulau utama—Rinca dan Komodo. Lokasinya persis di jantung taman nasional. Sangat beralasan jika banyak pihak cemas tragedi di sini terulang di pulau lain.
Baca Juga: 10 Satwa Terancam Punah & Habitat Mereka
“Pada 1990-an, pemburu membawa anjing. Sejak 2000-an, anjing tak lagi dipakai, sehingga gerakan mereka kian sulit dideteksi,” ujar Yusuf, jagawana di Labuan Bajo. Dan pemburu bukan cuma piawai menyelinap, tapi juga sangat beringas. Kontak senjata dengan petugas beberapa kali terjadi. Yusuf masih ingat peristiwa 1996. Suatu pagi, dia menghampiri sebuah perahu nelayan yang mencurigakan. Perahu itu langsung kabur sembari menembaki petugas.
Di titik inilah sejumlah kalangan mempertanyakan eksistensi Taman Nasional Komodo. Apa gunanya memiliki zona perlindungan jika tak ada perlindungan? Pertanyaan yang lebih klasik lagi: di manakah peran negara? Adakah oknum yang bermain dalam bisnis daging rusa? Pertanyaan-pertanyaan terus terlontar. Protes berkelindan dengan prasangka. Dan kita dibiarkan menebak-nebak kebenaran dalam gelap, karena perburuan kerap tak diusut tuntas.
Di pulau-pulau yang jauh dari pantauan, kekhawatiran akan gencarnya perburuan kian kuat. Menaiki kapal kayu Komodo Indah, saya meluncur ke zona selatan taman nasional. Yusuf, jagawana taman nasional, mendampingi saya dalam ekspedisi di sarang Smaug ini. Selain dia, ada nakhoda dan empat ABK.
Di sebuah selat cupet, arus kencang menghadang. Nakhoda memacu mesin, tapi perahu masih terdiam. Rasanya seperti sedang treadmill: berlari, tapi tak melaju. Saya datang di pertengahan Maret, periode pancaroba di mana arus sulit diprediksi. Bulan depan, rumput mulai menguning, lalu menjadi cokelat digoreng matahari. Bukit-bukit yang hari ini mirip lahan bermain Teletubbies akan berubah jadi Middle Earth. Saat suhu di puncak kemarahannya itu, kita akan berjalan—meminjam kata-kata Yusuf—“dengan punggung membawa api.”
Dua jam berselang, Komodo Indah mendekati pelataran Pulau Nusa Kode. Kapal pinisi milik operator diving Seven Seas terlihat sedang terparkir. Memang cuma penyelam yang sudi berkelana sejauh ini. Di Nusa Kode, tak ada pos jagawana, tak ada rute trekking, dan sinyal telepon raib sepenuhnya. Pulau ini berada di luar radar mayoritas turis, tapi masih tercantum dalam peta pemburu.
Mengutip data pemerintah, Nusa Kode dihuni 99 ekor komodo. Saya hendak trekking, tapi perahu gagal merapat akibat air dangkal. Tak ada yang bisa dilakukan selain menanti komodo lewat di pantai. Sebuah penantian yang dibalut kedamaian.
Di belahan selatan taman nasional, bumi seolah terlelap. Alam begitu senyap, layaknya selembar foto yang tak mewakili seribu kata kecuali kesunyian. Sesekali terdengar lantunan tokek hutan. Suaranya memantul-mantul di lereng yang membentang bagai benteng jemawa. Barangkali lelah tersiksa oleh keheningan, nakhoda memutar lagu-lagu berbahasa Bajawa. Liriknya berbicara tentang kasih tak sampai dan kerinduan pada kampung halaman. Orang Flores, kendati parasnya bisa membuat bayi menangis, sebenarnya punya hati yang melankolis. Mendekati tengah malam, lampu kapal dimatikan dan saya kembali dipeluk sepi. Bintang-bintang terlihat lebih terang, bersaing dengan plankton yang berserakan di laut.
Pagi datang dan komodo belum juga tampak. Menurut Irvi, mantan dive master Seven Seas, komodo dulu selalu berkerumun di pantai saat mencium kehadiran kapal. Di mana mereka kini?
Gagal melihat komodo, saya ke Gili Motang, pulau paling selatan dalam gugusan taman nasional. Kapal meniti tepian Selat Sumba, melewati pantai-pantai yang jarang diinjak pelancong. Mendekati Gili Motang, terlihat empat perahu berlabuh. Selang 200 meter, ada tiga perahu lagi. Nelayan atau pemburu? Sulit dipastikan. Kawanan lumba-lumba yang timbul-tenggelam di permukaan laut mengalihkan perhatian saya. Bagi mereka, pagi ini lebih layak dirayakan ketimbang diisi kecurigaan.
Kapal melempar sauh di muka pesisir berbatu. Saya berjalan tertatih ke pulau dengan dada berisi harap dan debar. Sebelum trip ini, saya sempat mendengar kisah komodo di Gili Motang yang gemar berkeliaran di pantai untuk menyantap sampah-sampah sisa makanan penyelam. Namun hari ini pantai sedang tak berpenghuni. Satu-satunya tanda kehidupan adalah jejak panjang yang saya temukan di pantai: kombinasi garis tipis bergelombang dan empat cakaran kaki. Seekor komodo sepertinya baru menghabiskan pagi dengan berjemur di atas pasir, lalu mudik ke hutan.“Komodo muda, umurnya dua tahun,” jelas Yusuf, jagawana dengan pengalaman hampir tiga dekade.
Membuntuti jejak komodo bukan pilihan bijak. Vegetasi hutan cukup rapat. Ilalang dan semak berduri berjejalan di lantainya. Hanya mengenakan celana renang dan sandal jepit, saya tak berani menembus rahim pulau. “Kami datang ke sini terakhir Oktober 2013,” kenang Yusuf. “Tim kami pasang tujuh umpan dan camera trap, tapi tak ada komodo yang terlihat.”
Gili Motang berada di posisi yang paling rentan, teronggok di sudut terjauh taman nasional. Pemburu bisa mengaksesnya tanpa terdeteksi dari banyak arah. “Ukuran populasi komodo di Gili Motang sangat kecil, namun saya tidak dapat menyatakan kondisinya kritis atau tidak,” ujar Dr. Evy Arida, peneliti herpetologi LIPI. Merujuk statistik resmi, komodo di sini memang susut kronis: dari 131 ekor di 2008 menjadi hanya 63 di 2012. Hantu kepunahan di Padar kembali bergentayangan.
Dihadapkan pada ancaman perburuan yang akut, pemerintah sebenarnya tak cuma pasrah. Pada 1996, mereka mengundang The Nature Conservancy. Bersama Balai Taman Nasional, LSM kakap asal Amerika itu mengerek sebuah rezim galak yang memberangus perikanan dan perburuan ilegal. Patroli digiatkan. Celah-celah kejahatan dipersempit.
Baca Juga: Proyek Menyelamatkan Raksasa Lautan
Mereka juga mendirikan Putri Naga Komodo, perusahaan yang mengendalikan bisnis ekowisata dan segala turunannya. Mimpinya luhur: mengubah taman nasional menjadi ekosistem ekonomi yang mandiri. Dana-dana dari turisme dimanfaatkan untuk mencetak pemandu, menggaji intelijen, dan melatih perajin suvenir. Anggarannya mencapai $10 juta dolar, separuhnya disetor oleh Bank Dunia.
“Waktu itu, aturan ketat sekali, seperti zaman penjajahan,” ujar Patricius Nijjy, nakhoda Komodo Indah, yang pernah menjadi nelayan. “Tiap perahu diperiksa. Saya bahkan pernah sekali dihukum kerja paksa menyusun batu di pos jaga karena lupa melapor saat mencari ikan.” Tapi Patricius bukan hendak mengeluh. Dia melihat berkah positif dari ketatnya aturan. “Memang harus begitu agar taman nasional tetap terjaga.”
Di atas kertas, gebrakan The Nature Conservancy menorehkan catatan gemilang. Nelayan-nelayan pengguna dinamit dan potasium ditangkap. Dua gembong pemburu, Haji Karim dan Musa, disergap. Pada 2012, Balai Taman Nasional menulis laporannya dengan tinta emas: pencurian hasil laut berkurang drastis; perburuan liar absen sejak 2008; populasi komodo, kecuali di Gili Motang, berlipat dalam kurun empat tahun.
Statistik wangi itu ditanggapi beragam. Fakta lapangan tak selalu sejalan. Semua orang yang saya temui yakin, perburuan rusa masih berlangsung. Hingga hari ini, menurut lembaga IUCN, komodo belum beranjak dari status “rapuh.”
Campur tangan The Nature Conservancy juga direspons ambivalen. Di banyak media, sikap publik terbelah. Mereka mengakui perlunya regulasi keras di taman nasional, tapi menolak kehadiran Putri Naga Komodo yang dicap sebagai privatisasi aset negara. Suara-suara miring kian santer akibat drama penembakan orang-orang yang diduga pelaku perikanan atau perburuan ilegal. Terakhir, pada 2002, dua nelayan Sumbawa tewas ditembus peluru petugas. Advokasi yang didukung Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) menduga terjadi pelanggaran HAM dalam insiden tersebut. Polemik itu lalu berbuntut pada ditutupnya pos jaga di Sumbawa. Padahal pos ini menjalankan fungsi vital pengawasan area barat, tempat pemburu liar diduga berasal.
Rezim The Nature Conservancy angkat kaki pada 2012, tapi sebagian resepnya masih diteruskan. Pemerintah dan warga agaknya sepakat, ekowisata adalah solusi final. Dengan pariwisata yang ramah lingkungan, bisnis bisa bergandengan tangan dengan konservasi. Tapi, segampang itukah?
Saya pernah memandu Tony Blair. Dia mantan perdana menteri Inggris,” Rohman bertutur bangga saat memandu saya menembus Pulau Rinca. “Tapi sepertinya tak ada orang Inggris yang suka dia. Saat saya ceritakan, banyak orang malah balik bertanya: kenapa tidak ada komodo yang makan Tony Blair?”
Rohman bukan staf Kementerian Kehutanan. Bukan pula seorang jagawana. Tugas memandu diemban oleh warga, bagian dari program pemberdayaan masyarakat. Kini terdapat 20-an pemandu di Rinca. Dari bea trekking turis, separuhnya masuk ke kantong mereka, sisanya ke koperasi.
Saya memilih paket trekking dua jam. Rohman membawa saya melintasi jalan setapak, semak, juga sabana. Rute ini mengular di dekat aliran sungai, tempat satwa lazim berkerumun. Rinca adalah habitat yang lengkap. Koleksinya mencakup rusa, kerbau, monyet, dan tentu saja, komodo. Tapi hari ini saya melihat spesies baru: pelang-pelang berlogo Telkomsel.
Taman Nasional Komodo memang lahan basah. LSM bermunculan bak jamur. Proyek bernilai miliaran rupiah mengalir dari lembaga-lembaga donor. Sekarang, tempat ini membuka pintunya bagi promosi. Iklan-iklan diizinkan berkeliaran. Dulu orang mencela privatisasi, kini kita melihat komersialisasi. Mungkinkah ini bagian dari ekowisata? “Itu kesepakatan bos-bos di atas,” jawab Rohman saat saya menanyakan nilai iklan Telkomsel.
Berapa dana yang dipanen dan berapa yang mengalir adalah isu usang di taman nasional. Menurut laporan resmi Balai Taman Nasional, pada 2012, jumlah turis 49.000 orang dan nilai pemasukan Rp3,3 miliar. Di luar itu, ada kucuran APBN senilai Rp13 miliar. Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat, tuan rumah taman nasional, tak mau ketinggalan menambang rupiah. Sejak 2012, setiap turis asing dikenakan retribusi Rp50.000. Regulasi yang kontroversial, karena angkanya jauh melampaui harga tiket.
Lahan basah ini agaknya diperas terlalu keras. Tapi bukan itu isu terbesarnya. Publik lebih peduli dengan dampak aliran uang bagi kesejahteraan warga. Ada empat kampung yang kini menghuni taman nasional dan semuanya didera kemiskinan.
Saya singgah di salah satunya: Kampung Komodo, permukiman yang paling “maju.” Sebagian warganya menekuni profesi perajin. Menyusuri jalannya yang sempit dan dipenuhi kotoran ternak, kita mudah menemukan orang-orang sedang merangkai kalung atau mengukir patung kayu di kolong-kolong rumah. Sebuah toko bahkan memasang pelang berbahasa Inggris di pagarnya: “Art & Craft Centre.”
“Saya termasuk yang paling terkenal di sini,” kata Ishaka Mansyur, seorang perajin senior. “Orang-orang di luar negeri banyak yang kenal saya.” Bapak empat anak ini sehari-harinya membuat miniatur komodo berbahan kulit kerang. Rumahnya permanen dan dilengkapi antena parabola, kontras dari tetangganya yang tinggal di rumah panggung kayu. Saat warga kampung menikmati listrik hanya dari pukul 18 hingga tengah malam, generator pribadi Mansyur sanggup menyala nonstop.
Mansyur dibesarkan di zaman The Nature Conservancy. Dia contoh sukses, teladan bagi banyak tetangganya. Kini, lebih dari 100 orang berdagang suvenir di dekat dermaga Pulau Komodo, menyandarkan nasib pada kunjungan turis. Beberapa yang tidak sabar memilih berdagang keliling dengan sampan.
Bisnis kerajinan awalnya diperkenalkan sebagai sumber penghasilan alternatif. Tapi kata “alternatif” di sini kerap bersinonim dengan “paksaan.” Akibat regulasi melaut di taman nasional begitu ketat, nelayan mencari ikan hingga ke luar kawasan taman nasional. Biayanya lebih boros. Risiko tergulung ombak lebih besar. Warga pun terpaksa, atau mungkin dipaksa, merevisi jalan hidupnya. Dan transisi besar pun terjadi.
Profesi nelayan mulai ditinggalkan di sini. Hanya ada lima perahu bagan yang kini tersisa di Kampung Komodo. “Lebih menguntungkan menjadi perajin ketimbang nelayan,” ujar Mansyur lagi. Melihat gejala itu, banyak orang resah akan raibnya tradisi melaut di hunian yang eksis jauh sebelum taman nasional diresmikan, ketika serakan pulau di barat Flores ini masih dikuasai Kesultanan Bima. Sebagian orang juga mulai mempertanyakan dari mana perajin mendapatkan kayu. Sesuai aturan, pohon-pohon di taman nasional haram ditebang.
Transisi itu juga mulai menggerogoti kearifan budaya. Uang dari bisnis suvenir melahirkan rumah-rumah permanen bertembok batako. Padahal, di tanah yang ditinggali pemangsa yang hobi mengincar betis ini, rumah panggung adalah solusi bertahan hidup yang paling bijak.
Tapi mungkin tak adil terus mencibir warga. Hidup di sini tak menawarkan banyak pilihan. Masa depan terlalu jauh untuk digenggam. Menikmati banjir turis dengan berdagang suvenir memang pragmatis, tapi bukan dosa. Sudah lama warga terjebak dalam pusaran jargon-jargon LSM yang asing: konservasi, zonasi, suaka alam, jagawana, taman nasional. Tapi apalah artinya sebuah taman jika tak ada lagi ruang untuk bermain?
Di sisi lain, ada banyak pekerjaan rumah yang lebih penting dan genting. Kampung berpopulasi 1.400 jiwa ini hanya memiliki satu puskesmas, satu SD, dan satu SMP. Anak-anak yang hendak melanjutkan pendidikan mesti bermigrasi. Kata seorang kakek yang saya temui, sepanjang hayatnya, Kampung Komodo hanya mengoleksi dua sarjana.
Baca Juga: Dilema Langkawi: Pariwisata Vs. Konservasi
“Kami belum memiliki perpustakaan. Kantor guru juga belum tersedia,” kata Abdul Malik, kepala sekolah SMPN 4 Komodo. Di halaman sebuah kelas, para guru duduk-duduk di kursi kayu layaknya tamu. “Laboratorium ada?” tanya saya. Pak Kepsek tertegun sejenak, lalu memberi jawaban yang agak memilukan: “Sekolah ini belum dialiri listrik.”
Di depan area trekking Pulau Komodo, sebuah dermaga baru membentang gagah diterangi barisan lampu bertenaga surya. Tak jauh darinya, sebuah sekolah belum pernah sekalipun melihat bohlam menyala. Inikah pilihan ekowisata?
Taman Nasional Komodo ibarat museum purbakala dengan pintu-pintu yang sulit ditutup. Jagawana berada di garda terdepannya, tapi mereka hanya dibekali senjata yang tumpul.
Di serambi posnya, Abdul Latief fasih menceritakan aktivitas perburuan liar. Dia beranjak ke kamarnya, lalu kembali dengan menenteng senapan: PM1A1, semiotomatis sembilan milimeter, buatan Pindad. Warnanya hijau. Sebagian catnya terkelupas. Lebih mirip senapan warisan serdadu Nazi. “Ini memang senapan lama,” katanya. Dia kembali ke kamar untuk memungut magasin. “Pelurunya cuma sampai 50 meter. Pemburu sudah tahu itu. Sulit mendekati mereka.”
Pemburu bukan satu-satunya ancaman. Jagawana juga harus mewaspadai terkaman komodo. Dari 28 kasus serangan terhadap manusia yang dikompilasi Balai Taman Nasional, 12 di antaranya menimpa jagawana dan pemandu. Selusin kasus terjadi di perkampungan. Total sudah lima nyawa melayang.
Komodo baru dikenal dunia modern pada 1910. Letnan van Hensbroek yang bertugas di Flores menerima info tentang biawak yang luar biasa besar sampai-sampai dijuluki buaya darat oleh warga. Riset-riset lalu digelar. Banyak pertanyaan belum terjawab, tapi beberapa tesis telah terbukti. Salah satunya tentang senjata pamungkas komodo, yakni bakteri mematikan di mulutnya. Meski bukan sprinter, komodo sanggup memangsa rusa. Modusnya simpel dan menakutkan: menggigit kaki rusa, membiarkan bakteri melumpuhkannya, lalu menyantapnya.
Balai Taman Nasional telah menyiapkan vaksin untuk gigitan komodo. Tapi beberapa jagawana masih meragukan keampuhannya. Kasus Mardjuki sepertinya masih menghantui. Pada 24 September 2011, jagawana sepuh itu sedang menatap pantai saat seekor komodo mengendap licik dan mengerkah betisnya. Mardjuki lalu dilarikan ke Bali guna mendapatkan vaksin. Dia selamat. Dua bulan berselang, pria malang itu meninggal.
“Mungkin akibat komplikasi penyakit,” ujar Yusuf, tak yakin dengan sebab utama kepergian rekannya. Tapi dia pun sadar, gigitan komodo punya dampak jangka panjang. “Setelah digigit, harus rutin cek darah untuk memantau bakteri yang tersisa.”
“Hidup kita seperti telur di ujung tanduk,” Tarsan, Kepala Pos Loh Baru, berbisik kepada saya di serambi posnya. TKP serangan terhadap Mardjuki hanya beberapa meter di hadapan kami. Loh Baru terletak di timur Pulau Rinca. Turis yang datang ke sini bisa dihitung dengan jari—dan mungkin baiknya tetap seperti itu. Komodo di sini luar biasa agresif. Menurut sebuah legenda lokal, komodo lahir dengan nama “Ora” dan merupakan “saudara kembar manusia.” Tapi, di Loh Baru, tali persaudaraan itu sepertinya telah lama terputus.
Tiga ekor komodo sedang tengkurap di samping pos. Seperti biasa, mereka membeku seperti patung. Namun, saat melihat sebuah benda terjatuh ke tanah, patung-patung itu sontak berubah menjadi pembunuh brutal. Untuk pertama kalinya saya melihat komodo bergerak begitu cepat. Saya pun berlindung dengan menaiki tangga di teras pos. Saat mata tertuju pada komodo yang mendekat, dari kolong pos tiba-tiba muncul komodo lain. “Naik, awas kaki!” kata si jagawana.
Dihadang tongkat jagawana, komodo itu beranjak sembari mendesis penuh intimidasi. Suara-suara purba yang membuat nyali saya ciut. “Komodo adalah titipan Tuhan. Kami di sini untuk menjaganya. Ini tugas mulia,” kata Tarsan lagi.
Keinginan untuk memperbaiki standar keamanan di taman nasional sudah lama didengungkan. Tempat ini membutuhkan lebih banyak speedboat, peremajaan senapan, pasokan vaksin yang lebih manjur.
Dan harapan itu mungkin akan terwujud. Awal Maret silam, sejumlah stakeholder pariwisata Flores melobi Kementerian Pariwisata untuk mendirikan sebuah perusahaan yang mengelola Taman Nasional Komodo. Dalam bayangan mereka, entitas bisnis ini akan memainkan peran strategis dalam manajemen keuangan guna mendukung upaya konservasi sekaligus meningkatkan kesejahteraan warga. Dengan kata lain: menghidupkan kembali Putri Naga Komodo, tapi sahamnya dipegang warga setempat.
Meski dibayangi isu privatisasi, ikhtiar itu punya justifikasi valid. Pengelolaan tempat wisata oleh perusahaan bukan hal baru. Candi Borobudur dan Prambanan misalnya, dikelola oleh BUMN. Sementara Kota Tua Jakarta direvitalisasi oleh perusahaan yang dibentuk oleh taipan properti.
Angin perubahan juga bertiup dari Manggarai Barat. Setelah 11 tahun berdiri, kabupaten ini akhirnya memiliki rencana induk pengembangan pariwisata. “Ekowisata yang berbasis masyarakat dicantumkan sebagai visi utamanya,” ujar Ferry Samosir, Deputy Program Manager Swisscontact, lembaga yang terlibat sebagai konsultan dalam penyusunan rencana induk tersebut. “Pelaku lokal umumnya sepakat, tempat ini membutuhkan lembaga yang bisa bergerak luwes untuk mendanai aktivitas konservasi dan pemberdayaan, tapi tanpa melalui birokrasi pemerintahan yang memakan waktu.”
Ekowisata sepertinya masih punya harapan, tapi definisinya mungkin harus disepakati. Kembali ke Labuan Bajo, saya disambut sebuah baliho yang menohok milik Balai Taman Nasional. Saya kutip persis kata-katanya: “komodo bukanlah komedi, apalagi komedo.”
PANDUAN
Rute
Terminal baru Bandara Komodo di Labuan Bajo bakal diresmikan tahun ini, menggantikan bangunan lama yang lebih mirip kantorkelurahan. Penerbangan ke sini dilayani oleh Garuda Indonesia dari Bali, Tambolaka, dan Ende; serta TransNusa dari Bali, Ende, dan Kupang.
Penginapan
Pertumbuhan hotel kian marak. Hotel pendatang terbaru antara lain Luwansa (Jl. Pantai Pede, Labuan Bajo; 0385/244-3677; doubles mulai dari Rp550.000) dan Plataran (Waecicu, Labuan Bajo; 0385/410-19; vila isi dua orang mulai dari $225). Properti senior The Jayakarta Flores (Jl. Pantai Pede, Labuan Bajo; 0385/244-3688; doubles mulai dari $180) menawarkan paket-paket menarik untuk trekking dan diving.
Aktivitas
Di Taman Nasional Komodo terdapat empat habitat utama komodo, yakni Pulau Rinca, Komodo, Nusa Kode, dan Gili Motang.Operator umumnya hanya melayani tur ke dua area yang telah dilengkapi rute trekking, yakni Loh Liang di Komodo dan Loh Buaya di Rinca.Salah satu operator yang siap menggelar ekspedisi ke pulau-pulau lain adalah Suarmanik Kencana (Labuan Bajo; 0812-3732-1023). Satu tips: “pink beach” juga bisa ditemukan di Pulau Padar. Saat mampir di empat kampung yang mendiami taman nasional, sebaiknya tidak memberikan uang kepada anak-anak, melainkan buku atau pulpen. Untuk informasi yang lebih komprehensif seputar aktivitas dan obyek wisata, kunjungi flores.co.id.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2014 (“Rumah Untuk Ora”)