by Yohanes Sandy 30 June, 2015
Jelajah Lisbon Bersama Atiqah Hasiholan
Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Ulet Ifansasti
Penata gaya oleh Peter Zewet
Rabu malam, Atiqah Hasiholan menyempil di antara tamu, saling bersinggungan siku, duduk canggung di sebuah kafe remang yang diterangi lilin. Seorang wanita dan dua gitaris lalu tampil ke muka. Pintu ditutup. Telepon genggam dibungkam. Hening mengembang. Pentas agaknya bakal segera dimulai. Pentas paling membius di tanah Lisbon.
Sang biduan membawakan nomor-nomor andalannya. Dia bernyanyi dalam bahasa Portugis. “Lagu ini mengisahkan kekasihnya yang tergoda wanita lain di bar,” Ricardo, seorang pengunjung, berbisik pelan. Katanya lagi, Fado senantiasa mendendangkan lirik-lirik yang melankolis, menyuarakan ratapan dan jeritan hati, menuturkan rindu yang tak sampai atau hari-hari yang murung. “Pentas yang berkesan,” ujar Atiqah. “Saya tak mengerti liriknya, tapi bisa merasakan maksudnya.”
Fado adalah salah satu ikon budaya Portugal. Oleh UNESCO, seni rakyat ini dinobatkan sebagai Intangible Cultural Heritage of Humanity pada 2011. Dan layaknya seni rakyat, penciptanya tak jelas, hikayatnya kabur. Salah satu versi cerita mengklaim Fado dipengaruhi oleh seni tari asal Afrika. Portugal memang memiliki riwayat panjang dengan bangsa muslim Moor asal Afrika Utara. Kata Fado berarti “takdir,” dan lagu-lagunya kerap disertai ekspresi “oxala,” serapan dari kata insya-Allah.
Di Lisbon, Fado dipentaskan di banyak ruang seni. Tapi suguhan paling autentik hanya tersaji di tanah kelahirannya, Desa Alfama, tempat Atiqah malam ini berada. Alfama adalah desa elok yang bertengger di lereng dan dibelah-belah oleh gang sempit bagaikan labirin. Salah satu desa terindah di tengah Lisbon yang metropolis.
Atiqah mendarat di Lisbon di ujung musim dingin. Aktris yang pernah berperan dalam 17 film ini melompat-lompat ke banyak tempat, berusaha menyelami keindahan kota terbesar di tepian barat Eropa ini. “Sebelumnya saya tidak mengenal Lisbon, juga Portugal. Ketika akhirnya sampai, saya cukup terkejut mendapati kota ini ternyata sangat siap menyambut wisatawan,” ujarnya.
Lisbon punya hikayat yang panjang dan akbar. Ia adalah salah satu kota tertua di dunia, bahkan jauh lebih tua dari London dan Paris. Dari sinilah dulu para petualang dunia—mulai dari Vasco da Gama hingga Bartolomeu Dias—bertolak dengan kapal layar guna memetakan bumi sekaligus melebarkan sayap imperium Portugal hingga ke Afrika, Amerika, dan Asia, termasuk Indonesia.
Sejak abad ke-13, Lisbon menyandang status Ibu Kota Portugal. Luasnya 85 kilometer persegi, kira-kira separuh luas Jakarta Timur, sementara populasinya mencapai 550.000 jiwa, ditambah 2,5 juta jiwa lainnya yang hidup tersebar di kawasan satelit Metropolitan Area.
“Lisbon menampilkan desain yang menarik. Tata kotanya sangat dijaga. Rumah dan bangunan terlihat memiliki tema senada,” jelas Atiqah. “Kelebihan lainnya, turis belum terlalu banyak. Berjalan-jalan di kota ini sangat menyenangkan.” Tapi Lisbon yang kini dilihatnya sebenarnya Lisbon yang “baru.” Selain Desa Alfama, hampir sekujur kota merupakan produk rekayasa sipil yang digelar pada abad ke-18. Syahdan, pada 1 November 1755, gempa mengguncang Lisbon, mengirimkan tsunami yang menyapu kota, dan mencabut 60.000 nyawa—seperempat populasi kota kala itu.
Dan bencana itu tak cuma mengoyak bumi, tapi juga iman. Di hari nahas itu, warga sedang memperingati All Saints’ Day dengan menggelar beragam ritual. Gereja sesak oleh jemaah. Lilin-lilin disulut di penjuru kota. Lilin ini jugalah yang kemudian mengakibatkan banyak gedung terbakar setelah bumi bergoyang. Pascagempa, orang-orang mulai mempertanyakan Tuhan. Benarkah Dia maha penyayang? Apalagi, ketika banyak gereja rata dengan tanah, sejumlah rumah bordil justru selamat.
Pascagempa, Lisbon dibangun ulang. Kota ini melakoni operasi rekonstruksi wajah paling monumental dalam sejarah Portugal. Di bawah titah Raja Joseph I, beberapa bagian kota dicetak ulang dalam semangat Zaman Pencerahan yang sedang membasuh Eropa. Dari puing dan bara, Lisbon terlahir kembali. Tapi ia bukan Lisbon yang sama, baik dalam hal penampilan maupun keyakinan.
Waktu bergulir dan Lisbon terus merekah, termasuk di sektor pariwisata. Kota ini mengoleksi beragam atraksi yang menggugah. Pencinta seni bisa menyambangi Museum Calouste Gulbenkian untuk menikmati karya Rembrandt dan Monet; atau ke Museum Berardo untuk menengok guratan apik Andy Warhol dan Picasso. Mereka yang ingin menyelami sejarah bisa mampir ke Biara Jerónimos untuk menyimak silsilah egg tart ikonis “pastel de nata,” atau ke Gereja São Roque untuk terpukau oleh kapel berlapis emas. Sementara bagi mereka yang doyan makan, Lisbon menawarkan beragam restoran bergaya alfresco, ditambah tiga restoran berbintang Michelin. “Bagi anak muda Indonesia, terutama kaum hipster,” ujar Atiqah, “Lisbon bisa menjadi alternatif yang menarik dan segar dari kota-kota populer lain di Eropa.”
River cruise adalah cara terbaik untuk menyaksikan lanskap kota. Atiqah melakoninya bersama Tours for You, operator dengan spesialisasi tailor-made tour. Menaiki perahu layar, Atiqah menyusuri Sungai Tagus dan melintasi kolong-kolong jembatan yang menghubungkan pusat kota dengan kawasan permukiman. Di kejauhan, Patung Yesus menjulang dengan tangan terbuka seolah hendak mengayomi seisi kota.
Tagus berhulu di Spanyol dan bermuara di Samudra Atlantik. Sungai ini begitu luas, hingga kadang terlihat seperti lautan. Di atasnya, jembatan-jembatan perkasa melintang, termasuk Jembatan Vasco da Gama yang merupakan jembatan terpanjang di Eropa dengan bentangan 17 kilometer, tiga kali lipat Suramadu.
Di depan Terreiro do Paço, alun-alun utama kota, nakhoda mematikan mesin dan membiarkan perahu terapung mengikuti arus sungai. Di bawah siraman mentari senja, Lisbon memperlihatkan wajah tercantiknya. Atiqah menyaksikan rumah-rumah beratap genting dan gedung-gedung tua yang mengukir tujuh bukit. Di sisi atas kota, Kastil São Jorge berdiri perkasa bagaikan mahkota dari masa silam. Sore ini, Lisbon menunjukan dengan sempurna makna dari dua julukannya: Kota Tujuh Bukit dan Ratu Laut.
“Lisbon juga kadang dijuluki California versi Eropa,” ujar Nuno Tavares, pendiri Tours for You. “Warganya cukup santai. Mereka tampil rapi, tapi tidak berlebihan. Kota ini memiliki sungai, bukit, dan pantai yang bisa dijangkau dalam waktu singkat. Tak banyak ibu kota negara di Eropa yang menawarkan kemewahan alam semacam itu.”
Di hari yang lain, Atiqah singgah di LX Factory, bekas pabrik tekstil dari abad ke-19 yang beralih fungsi menjadi sarang hangout paling eksentrik di Lisbon. Dijuluki “creative island,” kompleks seluas 2,3 hektare ini menaungi restoran berdesain rustic, galeri bergaya industrial, dan kafe beraliran hipster.
Magnet utamanya adalah Ler Devagar, toko buku dua lantai yang menempati gedung berbentuk hanggar dan menjajakan beragam karya penulis lokal dan asing, termasuk buku-buku sepuh yang langka. Di seberangnya, ada kafe Landeau yang menjajakan kue cokelat terlezat di Lisbon versi majalah Time Out.
“LX Factory adalah salah satu tempat yang paling menarik di Lisbon,” kata Atiqah. “Kompleks ini mengubah tempat yang bangkrut akibat krisis menjadi wadah yang artistik. Sebuah bukti bagaimana desain bisa menjadi solusi dari masalah.”
Tak semua monument di Lisbon hancur diterjang gempa. Menara Belém, struktur yang menyerupai benteng catur, masih tegap berdiri sejak didirikan persis 500 tahun silam. Bangunan berarsitektur Manueline ini tak cuma mengawal kota dari invasi asing, tapi juga menjadi monumen yang melambangkan kejayaan maritim Portugal. Dari sinilah dulu para petualang laut dilepas dan ekspedisi-ekspedisi akbar dimulai. Pada 1983, Menara Belém ditetapkan oleh UNESCO sebagai Situs Warisan Dunia.
“Tiap kali pergi ke luar negeri, saya selalu mencari pengalaman yang benar-benar tidak bisa dirasakan di Indonesia, terutama dengan mencoba restoran dan penginapan khas lokal,” ujar Atiqah, yang hingga kini sudah mengunjungi 20-an negara.
Di Lisbon, sensasi khas lokal itu didapat dari wine. Portugal adalah produsen wine terbesar ke-12 di dunia. Jauh tertinggal dari Prancis dan Italia memang, tapi kualitasnya cukup impresif. Tahun lalu, tiga dari lima wine terbaik sejagat versi Wine Spectator, berasal dari Portugal.
Tempat terbaik untuk mengenali wine lokal adalah José Maria da Fonseca, perusahaan yang dirintis pada 1834 dan dikenal sebagai produsen “table wine” tertua di Portugal. Cellar-nya berjarak sekitar 30 menit dari pusat kota, terhubung oleh Jembatan 25 de Abril yang menyerupai Golden Gate.
Usai melewati gerbangnya, kita akan mendarat di manor house yang dibangun pada abad ke-19 dan pernah direstorasi pada 1923 oleh arsitek asal Swiss, Ernesto Korrodi. Di samping rumah terdapat gudang-gudang pengendapan wine yang dipenuhi barel-barel uzur dengan usia rata-rata di atas seabad. Beberapa barel berukuran sangat besar sampai-sampai harus dirakit di dalam gudang.
Cellar terkesan tak terurus: berdebu, dekil, dipenuhi sarang laba-laba. Tapi semua ini rupanya disengaja. “Memang sengaja tak dibersihkan,” ujar Sofia Franco, anggota generasi ketujuh pendiri perusahaan. “Laba-laba dibutuhkan dalam perawatan cellar. Mereka menyantap serangga yang gemar menggerogoti barel kayu.”
Tur-tur wine digelar setiap hari di José Maria da Fonseca. Tur dimulai dengan kunjungan ke manor house dan ditutup dengan wine tasting. Perusahaan ini memproduksi sekitar 40 label. Bahan utamanya dipasok dari lima kawasan perkebunan anggur di Portugal. Bersama Fado, Menara Belém, serta gereja-gereja sepuh, wine adalah kreasi sejarah yang terus bertahan melewati waktu di Lisbon.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Lisbon dilayani antara lain oleh Qatar Airways (qatarairways.com), Singapore Airlines (singaporeair.com), serta Turkish Airlines (turkishairlines.com)—semuanya dengan transit dua hingga tiga kali.
Penginapan
Berlokasi di bulevar utama kota, Valverde Hotel (Avenida da Liberdade 164, 351-21/0940-300; valverdehotel.com; mulai dari Rp4.226.000) menawarkan akses mudah untuk menjelajahi pusat kota dan berbelanja. Hotel ini didesain oleh arsitek José Pedro Vieira dan Diogo Rosa Lã dengan berkiblat pada gaya townhouse New York. Bagi penggemar sejarah, Altis Belém Hotel (Doca do Bom Sucesso 1400-038; 351-21/0400-200; altishotels.com; mulai dari Rp3.423.000) menawarkan lokasi yang ideal: persis di tepi sungai, beberapa menit berjalan kaki dari Menara Belém dan Belém Cultural Center. Salah satu hotel paling atraktif di Lisbon, Hotel da Estrela (Rua Saraiva de Carvalho 35; 351-21/190-0100; hoteldaestrela.com; mulai dari Rp1.718.000), mengusung tema “sekolah” dalam desainnya. Ada karpet berhiaskan rumus matematika, formulir tamu mirip kertas ulangan siswa, juga lobi berisi papan tulis. Aktivitas uniknya adalah piknik di taman yang menyuguhkan panorama Basilika Estrela.
Informasi
Operator Tours for You (toursforyou.pt) menawarkan tailormade tour dengan tema beragam, mulai dari river cruise, wine, hingga kuliner. Khusus tema olahraga, operator ini bisa mengadakan coaching clinic dengan atlet-atlet kelas dunia, termasuk Radamel Falcao dan Jackson Martinez. Untuk informasi seputar tempat wisata dan jadwal acara di Lisbon dan Portugal, kunjungi situs Tourism Portugal (visitportugal.com).
Makan & Minum
• Horta dos Brunos. Tempat sederhana yang menyajikan menu lokal dalam porsi besar dan rasa yang berani. Rua da Ilha do Pico 27.
• Feitoria. Satu dari tiga restoran di Lisbon yang memiliki bintang Michelin. Tamu bisa memesan “creative menu” yang berisi kreasi kejutan dari sang koki, João Rodrigues. restaurantefeitoria.com.
• LX Factory. Sarang hangout paling atraktif. Magnetnya antara lain Landeau (landeau.pt) yang menjajakan chocolate cake; toko buku Ler Devagar (lerdevagar.com); dan restoran Cantina. lxfactory.com.
• By the Wine. Restoran milik perusahaan wine José Maria da Fonseca. Menawarkan beragam menu lokal dan sesi-sesi wine, mulai dari peluncuran produk hingga kelas wine. jmf.pt.
• Deli Delux. Tempat brunch yang populer di akhir pekan. Di sisi depannya terdapat toko yang menjajakan aneka camilan dan wine lokal. delidelux.pt.
• Mesa de Frades. Rumah tua di Desa Alfama. Tempat ideal untuk menyeruput wine lokal sembari menyaksikan pentas Fado. Rua dos Remédios 139a.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2015 (“Ratu Laut”).