Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Panduan Menjelajah Seychelles

Dari kiri ke kanan: Buah kelapa endemis coco de mer; Kura-kura raksasa yang sanggup hidup hingga 200 tahun.

Saya datang saat Victoria tengah bersiap-siap menggelar ajang Seychelles International Carnival of Victoria 2015 selama tiga hari berturut-turut. Karnaval kali ini diikuti oleh 60 tim utusan 20 negara, termasuk Indonesia.

Malam pembukaannya digelar di Stadion Stad Popiler. Presiden Seychelles, para pejabat, serta tamu kehormatan Raja Ghana dan Puteri Mahkota Swaziland memberikan sambutan di atas panggung. Setelah itu, pesta semalam suntuk dimulai dengan iringan band dan DJ lokal.

Pada hari kedua, karnaval bergulir mulai pukul 15. Jalan-jalan kota ditutup. Puluhan kendaraan hias (float) berparade mulai dari Bois de Rose Avenue menuju Orion Mall. Di depan tenda VIP, setiap tim memperagakan tarian dan nyanyian selama lima menit. Tim dari negara-negara Afrika mengandalkan tarian yang mengentak-entak, sementara tim Asia tampil dengan kostum yang berkilauan. Mereka membuat utusan negara-negara Barat terlihat membosankan, mungkin karena budayanya kurang berwarna.

Diwakili oleh Kepulauan Nias, kontingen Indonesia menampilkan atraksi lompat batu yang sukses mendulang tepuk tangan riuh penonton. Tapi sambutan paling histeris diperoleh tim Brasil yang tampil seksi dengan mengenakan bikini. Selama berjam-jam saya menonton karnaval dan berjoget bersama ribuan penonton.

Acara hari terakhir dipusatkan di Freedom Square. Suguhannya: karnaval khusus anak-anak dan keluarga; festival kuliner lokal; serta pengumuman pemenang karnaval oleh Menteri Pariwisata Seychelles. Di kategori Best International Float, tim Inggris bertengger di posisi puncak, diikuti oleh Brasil dan Mauritius. Prestasi terbaik tim Asia diraih oleh Kamboja yang menyabet juara kedua di kategori Best Cultural Float.

Kelar festival, saya mulai menjelajahi Victoria. Salah satu ibu kota terkecil di dunia ini bisa tuntas dikelilingi cukup dengan berjalan kaki. Eksplorasi kota lazimnya dimulai di Clock Tower, landmark utama kota. Janganmembayangkannya sebagai menara gagah sekaliber Big Ben, sebab Clock Tower sejatinya hanya sebuah monumen langsing dan pendek yang menyerupai Tugu Yogyakarta. Arsitekturnya serupa dengan Vauxhall ClockTower di London. Di sampingnya terdapat gedung tua Liberty House yang menampung kantor-kantor kementerian. Dihuni 86 persen populasi negeri, Victoria juga tempat terbaik untuk berkenalan dengan kebudayaan dan sejarah Seychelles.

Mayoritas warga pribumi beretnis Seychellois Creole yang berakar di Afrika Timur dan Madagaskar. Leluhur mereka dibawa oleh pemerintah kolonial Prancis untuk menjadi budak di perkebunan kopi dan tebu. Prancis menjajah negeri ini sejak 1756, sebelum kemudian digeser oleh Inggris setengah abad berselang. Nama Seychelles sendiri diambil dari Jean Moreau de Séchelles, Menteri Keuangan Raja Louis XV. Kehadiran warga Eropa, ditambah kaum imigran asal Tiongkok dan India, menghasilkan akulturasi yang kompleks. Orang Creole umumnya berkulit “lebih putih” dibandingkan penduduk Afrika, meski rambutnya tetap keriting.

Dari kiri ke kanan: Clock Tower, salah satu ikon di Victoria; Kuil Arul Mihu Navasakthi Vinayagar yang dibangun pada 1992.

Eksplorasi saya berlanjut ke Domaine de Val des Près (“desa kriya”), sekitar 16 kilometer dari Victoria. Di desa ini terdapat Gran Kaz, rumah khas Creole di perkebunan dari abad ke-19, yang sudah disulap menjadi museum berisi aneka perabot antik. Di halamannya terdapat kios-kios kecil yang menjajakan kerajinan tangan dan suvenir berbahan kelapa. Di sinilah saya mengetahui bahwa cap imigrasi yang unik di paspor saya sebenarnya merefleksikan lekukan coco de mer, sejenis buah kelapa yang bentuknya memang mirip bokong wanita! Coco de mer hanya tumbuh di Seychelles, mungkin itu sebabnya ditetapkan sebagai lambang negara.

Mendaki bukit di atas Pantai Anse Royale, saya tiba di Le Jardin du Roi, kebun seluas 35 hektare yang berisi aneka tanaman obat dan bumbu. Wahana edukatif ini dikemas rapi. Bersama beberapa turis asing, saya meniti jalan setapak dan membaca penjelasan tentang tiap tanaman di pelang informasi. Satu hal yang membuat saya tertawa adalah banyak tanaman di sini sebenarnya lazim ditemukan di Indonesia, misalnya cabai, kunyit, dan lengkuas.

Usai mempelajari bahan-bahan dapur Seychelles, saya mencicipi warisan kulinernya. Le Jardin du Roi memiliki sebuah restoran yang menghadap samudra dan menyajikan masakan khas Creole yang dipengaruhi tradisi India, Prancis, Inggris, dan Tiongkok. Di meja saya terhidang nasi putih dengan lauk ikan bakar, kari ayam, pisang santan, ditambah cocolan berupa chutney mangga dan dhal. >>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5