Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Mencari Monet di Normandy

Oleh Cristian Rahadiansyah

Claude Monet telah lama pergi, tapi sosoknya terus menghantui: di kartu pos, di museum, di balai lelang, juga di Normandy, tanah yang menempanya jadi pelukis terbesar yang dilahirkan Prancis.

Saya mendarat di Normandy saat musim semi baru menampakkan sebagian wajahnya. Di Pantai Etretat, sisi utara Normandy, angin dingin berembus, menggerayangi tebing-tebing yang menjulang. Di kejauhan, bukit-bukit berbaris anggun, bergulung seperti ombak yang membeku. Saya membayangkan Monet di sini. Sewaktu kecil, dia kerap membolos dari sekolah demi menyusuri tebing dan pantai. Konon, memori masa kecil itu membekas panjang dan mengilhaminya saat berkarya.

Normandy bersemayam di sisi barat laut Prancis, berbatasan dengan selat yang memisahkannya dari Inggris. Tanahnya subur. Tempat ini terkenal sebagai penghasil apel dan kuda. Lanskapnya yang elok dibelah Sungai Seine, jalur sibuk yang mengalirkan manusia dan barang ke Paris. Di masa lalu, satu kota bandar di Normandy bisa memiliki 40 gereja.

Kiri-kanan: Instalasi di Museum of Modern Art André Malraux (MuMa) di Le Havre; Instalasi di atas Pantai Etretat yang menampilkan Monet sedang melukis.

Di atas Pantai Etretat, sebuah instalasi menampilkan Monet sedang melukis. Tubuhnya dirangkai dari ranting. Kepalanya membelakangi pantai berbatu. Monet menghasilkan puluhan lukisan di sini, termasuk Etretat, Falaise et Porte d’Amont (1883) yang harganya kini ditaksir sekitar Rp30 miliar oleh Sotheby’s. Tak jauh dari pantai, lukisan itu terpampang di mouse pad yang dijajakan €6 per lembarnya oleh para pedagang jalanan.

Normandy menyuguhkan keindahan dan Monet menuangkannya ke atas kanvas. Keduanya tak terpisahkan. Bicara soal Monet mau tak mau harus menyinggung Normandy. Menjelajahi Normandy, kita pasti akan tersandung memori tentang Monet. Orang-orang masih mengenang: Monet menetap di sini, melukis di situ, merenung di sana. Monet bagi Normandy ibarat The Beatles bagi Liverpool: hantu masa silam yang terus bergentayangan.

Tapi kenapa Monet patut dikenang? Untuk mencari jawabannya, saya meninggalkan Etretat dan mengunjungi Le Havre, kota pertama yang ditinggali Monet di Normandy.

Turun dari bus, sebuah panel di trotoar menampilkan replika lukisan sang maestro: Impression, Sunrise. Monet menyuguhkan panorama laut yang dingin dan mencekam. Dua perahu merayap pelan di air tenang. Matahari pagi memerah seperti bola mata naga yang mencakar birunya langit.

Pelabuhan di Honfleur, kota di hilir Sungai Seine.

Dalam hikayat seni, Monet dikenal sebagai pemberontak, dan Impression, Sunrise merupakan aksi pemberontakannya yang termasyhur. Lukisan bertarikh 1872 ini menangkap kesan yang spontan, momen yang bergerak, cahaya yang berpendar. Bukan sesuatu yang istimewa saat ini. Tapi dulu, pendekatan semacam itu merupakan sebuah penghinaan terhadap pakem. Bagi lembaga-lembaga seni terpandang kala itu, lukisan mesti memuat detail yang jelas, garis yang tuntas, juga warna yang tegas. Dengan kata lain: seperti foto yang akurat, bukan footage yang “bergerak-gerak.”

Impression, Sunrise pun memicu perdebatan, juga perpecahan. Tatkala karya ini dipamerkan, sejumlah pengunjung berkelahi. Sebagian mencibirnya sebagai “lukisan setengah jadi.” Tapi dari karya ini pula sebuah mazhab baru terlahir. Terinspirasi judul lukisan, kritikus mencetuskan istilah “impresionisme” untuk mengelompokkan pendekatan Monet. Setelah itu, kanon seni pun ditulis kembali.

Meninggalkan Le Havre, bus membawa saya ke Honfleur, kota kecil di hilir Sungai Seine. Tempat ini juga merekam episode krusial dalam perjalanan Monet. Di sinilah Eugène Boudin, guru pertama Monet, dilahirkan. Dari beliau Monet mempelajari sebuah teknik penting yang kelak menjadi ciri khas penganut impresionisme: melukis di tempat terbuka (en plein air).

Kiri-kanan: Salah satu sudut Honfleur; St. Joseph’s Church, gereja modern yang dikerek pada 1951 di Le Havre.

Guna memahami hubungan guru dan murid itu, saya mengunjungi sebuah museum yang didedikasikan bagi Boudin. Untuk menjangkaunya, saya menyusuri gang berlapiskan batu, menyeberangi pelabuhan nelayan, melewati ruko-ruko renta yang menjulang langsing. Banyak bangunan sepuh di sini masih lestari. Honfleur, berbeda dari banyak kota di Normandy, memang selamat dari hujan bom semasa Perang Dunia II.

Mengamati karya Boudin di museum, saya mendapati proses eksplorasi yang tekun dalam menangkap cahaya natural: mega mendung, semburat pagi, lembayung senja. Pengaruhnya terlihat gamblang pada Monet. Lukisan Port de Dieppe dari Boudin misalnya, mengadopsi palet dan goresan yang amat mirip dengan seri Etretat buatan Monet.

Yang juga menarik dicerna dari pengaruh Boudin adalah caranya memilih subjek. Di masa ketika seniman gemar mengabadikan figur kudus dalam Alkitab atau pembesar kerajaan—dengan kata lain subjek mitologis dan historis—Boudin justru menampilkan orang-orang biasa. Lagi-lagi, jejak ini juga membekas pada impresionisme. Monet dan koleganya kerap menampilkan adegan kese-harian yang remeh-temeh: orang-orang yang piknik, kelimun di jalan kota, wanita berpayung. Sejumlah pengamat bermufakat, impresionisme merupakan fondasi seni modern. “Aliran ini,” ujar Francesco Salvi, penulis buku The Impressionists, “tak cuma mengubah cara kehidupan digambarkan, tapi juga cara kehidupan dilihat.”

Kiri-kanan: Panel yang menampilkan lukisan bertema Etretat sekaligus memperkirakan dari sudut mana Monet melukisnya; Lukisan Rue Saint-Denis karya Monet yang terpajang di Rouen Museum of Fine Arts;

Saya kini meluncur ke Rouen, Ibu Kota Normandy. Dalam kepungan udara dingin, bus menyusuri jalan sempit yang penuh liku laksana ular di padang rumput. Di balik jendela, bukit-bukit berkelebat. Sesekali saya melewati kandang kuda, rumah-rumah batu milik para petani, juga kebun-kebun yang bersiap menyambut musim tanam. Normady kadang mengingatkan saya pada Yogyakarta: kawasan sederhana yang menumbuhkan kreativitas.

Menengok riwayatnya, tempat ini telah memikat seniman jauh sebelum Monet mengenal kuas. Pada awal abad ke-19, pelukis-pelukis Inggris penganut romantisme gemar melawat tempat ini. Konon katanya, pariwisata di Prancis sebenarnya dimulai di Normandy, dan sebagian turis pertamanya adalah seniman asal negeri tetangga itu.

Akan tetapi, berbeda dari Yogyakarta, Normandy tidaklah memiliki akademi seni yang bergengsi. Banyak seniman datang ke sini murni karena terbius oleh keindahannya dan kualitas cahayanya yang prima. “Karakter cahayanya putih dan lembut, berbeda dari kawasan selatan Prancis yang kuning dan keras,” jelas Sarah Fesolowicz, pendiri operator tur seni Normandy Melody.

Kiri-kanan: Meja makan di rumah Monet di Giverny; Plaza tengah Rouen Museum of Fine Arts.

Tiba di Rouen, saya langsung menyambangi Museum of Fine Arts, tempat dengan koleksi lukisan impresionis terlengkap setelah Musée d’Orsay di Paris. Di sini, hantu Monet tidak bergentayangan sendirian. Kita juga bisa menemukan banyak karya dari rekan sejawatnya seperti Pissarro dan Renoir.

Salah satu mahakarya Monet yang terpajang di Museum of Fine Arts menampilkan Katedral Notre-Dame. Sebuah lukisan yang menarik, karena Monet sebenarnya tidak menyukai bangunan. Dia juga orang yang religius. Fokusnya saat itu adalah pergeseran rona cahaya pada fasad gedung. Seperti terobsesi, Monet melukis katedral di banyak momen. Hingga akhirnya rampung, dia memproduksi 30 versi lukisan Notre-Dame dengan warna yang variatif. “Impresionisme bukan soal kejelasan garis dan subjek, melainkan sensasi dan impresi yang tercipta di mata kita sesuai kondisi cahaya natural saat itu,” ujar Sibille Wsevolojsky, pemandu museum.

Menutup tur melacak Monet, saya mampir di tempat sang maestro menutup hidupnya: Giverny, desa mungil yang terletak di tepi Sungai Seine. Hanya ada satu jalan raya di sini: Rue Claude Monet. Rumah-rumah warga umumnya bertubuh batu dan beratapkan genting. Monet menetap di sini sejak 1883 hingga mengembuskan napas terakhirnya pada 1926.

Rumahnya cukup gedongan, sebab Monet memang membutuhkan hunian dengan banyak kamar untuk menampung kedelapan anaknya. Studionya megah. Dapurnya dilengkapi kulkas—simbol kemewahan saat itu. Sementara pekarangannya ditumbuhi begitu banyak bunga hingga Gustave Geffroy, penulis biografi Monet, menggambarkannya sebagai “kerajaan warna.”

Pengunjung menyaksikan lukisan di MuMa.

Ada banyak karya emas yang lahir di Giverny, misalnya The Artist’s Garden (1900), Water Lilies (1914), dan Grainstack (1891). Yang terakhir ini terjual dengan harga fantastis Rp1,1 triliun dalam sebuah ajang lelang di New York, persis empat bulan sebelum saya datang ke Normandy.

Monet memang mendapatkan banyak inspirasi di Giverny, sampai-sampai dia terus melukis meski bola matanya menderita katarak. Sayang, tak satu pun lukisannya yang tersisa di rumahnya. Tempat ini agaknya lebih memperkenalkan dimensi lain Monet: sebagai pria gemuk yang hobi makan, ayah berewokan yang disiplin (semua anaknya diwajibkan hadir tepat waktu di jam makan), dan tukang kebun yang telaten (“kebun saya adalah mahakarya saya yang paling cantik,” tulisnya suatu kali).

Berkat warisan Monet, Giverny berubah menjadi desa wisata. Sekitar 400.000 turis datang saban tahunnya. Usai disumbangkan oleh putra Monet, rumah Monet dikelola oleh French Academy of Fine Arts. “Ironis,” ujar Laura, pemandu di Giverny, “sebab dulu Academy of Fine Arts justru menolak keras karya-karya impresionis.” Mengenang Monet dalam banyak hal memang berarti mengenang pemberontakannya, keberaniannya, juga jalan penuh tikungan yang mesti dilewatinya—dan Normandy adalah tempat yang memastikan semua kenangan itu terus bertahan.

PANDUAN
Rute
Dari Paris, kita bisa menjangkau Normandy dengan berkendara atau menaiki kereta selama dua jam. Penerbangan ke Paris dilayani oleh banyak maskapai, salah satunya Air France (airfrance.com) via Singapura.

Penginapan
Di Honfluer, La Ferme Saint Simeon (20, Route Adolphe Marais; 33-2/ 3181-7800; fermesaintsi meon.fr; mulai dari Rp5.000.000) menempati pondok tua yang dulu kerap ditinggali banyak pelukis impresionis. Di Etretat, opsi menarik adalah Domaine Saint Clair (Chemin de Saint Clair; 33-2/3527- 0823; hoteletretat.com; mulai dari Rp3.400.000), rumah di bukit yang menatap pesisir. Di Le Havre, Novotel Le Havre Centre Gare (20 cours La Fayette; 33-2/3519 -2323; novotel.com; mulai dari Rp1.200.000) berada strategis di jantung kota.

Tur Seni
Kunjungi MuMa (muma-lehavre.fr) untuk melihat karya Monet dan rekan-rekannya seperti Pissarro dan Renoir. Museum lain yang mengisahkan Monet adalah Rouen Museum of Fine Arts (mbarouen.fr). Di Etretat, kita akan menemukan Les Jardins d’Etretat (etretatgarden.fr) taman yang dihiasi in-stalasi berwujud Monet tengah melukis. Dua tempat lain yang penting didatangi untuk mengenal Monet adalah Eugène Boudin Museum (musees-honfleur.fr) di Honfleur dan Rumah Monet (fondation-monet.com) di Giverny. Cara termudah untuk melakoni tur bertema Monet adalah dengan membeli paket The Impressionist Experience dari operator Normandy Melody (normandy-melody.com).

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2017 (“Mencari Monet”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5