by Wikana 22 December, 2014
Wajah Pentas Teater di Jakarta
Publik begitu intim dengan karya Nano. Sutradara yang belajar di Akademi Teater Nasional dan berguru pada Teguh Karya ini seperti telah memiliki “resep baku” untuk pertunjukannya: tragedi yang pahit, getir, lalu disampaikan dalam selubung kekonyolan. Suguhannya akrab, luwes, dan intim. Nano lihai memetik banyak ilham, lalu mengaduknya dengan takaran yang pas. Sebagai orang teater “sekolahan,” dia fasih memanfaatkan teori Barat untuk menyampaikan ide.
Meski disambut publik, Teater Koma tak sudi pertunjukannya menjadi hiburan semata. Selain karya-karya orisinal, grup ini memainkan naskah terjemahan yang berat semacam Woyzeck karangan Georg Büchner dan The Good Person of Szechwan karya Bertolt Brecht. Pada 2008, dalam pentas yang berbobot, Kenapa Leonardo?, audiens tetap terpingkal meski dikepung adegan getir. Setelah tirai ditutup, seorang penonton menelepon Ratna dan menyatakan pentas itu terus membayangi hingga tiba di rumah. “Saya sampai mau menangis mendengarnya,” kenang Ratna.
Tentu saja, jalan Teater Koma tak selalu mulus. Di zaman Orde Baru, teater ini sempat dipentung tongkat penguasa. Sampek Engtay dilarang pentas pada 1989. Pergelaran Suksesi pada 1990 distop polisi pada hari ke-11. Di tahun yang sama, Opera Kecoa dicegah naik pentas di Jakarta, juga empat kota di Jepang setahun berikutnya. Teater Koma juga satu-satunya grup teater yang bisa dikatakan “pro,” dalam artian bisa menutup ongkos produksi semata bermodalkan penjualan tiket. Tentu tak sebanding jika mengacu pada kehidupan glamor Broadway, karena Teater Koma sejatinya kerap kesulitan mencari dana setiap memulai pertunjukan. Tapi setidaknya jerih payah aktor dan sutradaranya mendapat imbalan sepadan di akhir pentas.
Sponsor bukannya tak dicari, tapi teater agaknya belum menjadi kanal promosi yang menggiurkan bagi kalangan korporasi. Kalaupun ada yang bersedia terlibat, syarat yang diajukan kadang sulit dipenuhi. Pernah suatu kali calon sponsor meminta Teater Koma melibatkan artis kondang demi menuai ekspose media. “Saya menolak. Teater Koma ya begini. Kami berteater tanpa artis,” kata Ratna.
Tak semua grup teater yang mapan berkarir dalam “jalur formal.” Salah satu yang sejak awal bergerilya di luar pagar adalah Teater Kami, grup yang didirikan oleh Harris Priadie Bah pada 1989. Berpaling dari lembaga kebudayaan resmi semacam TIM maupun Gelanggang Remaja, Teater Kami berpentas di kampus dan lembaga kebudayaan asing, contohnya Goethe-Institut dan Erasmus Huis. Teater ini mengusung realisme dengan pemanggungan yang imajinatif. Di tangan Teater Kami, naskah hanya menjadi ide yang kemudian ditafsirkan ulang berdasarkan kegelisahan tematik sang sutradara.
Kekhasannya terletak pada atmosfer pertunjukan yang absurd. Eksplorasi tubuh dan dialog terasa puitis, terkadang sangat sarkastik dan banal. “Aktor kami tak memainkan peran, tapi tokoh yang menafsirkan teks-teks dramatik,” ujar Harris. Barangkali karena itu di buku pengantar pertunjukan, pemain selalu disebut sebagai “penafsir” dan sutradara sebagai “pewujud.” Teater Kami agaknya tak cuma menyempal dari “struktur,” tapi juga memberontak dari pakem. Teater yang berlatih di rumah kontrakan di Lenteng Agung ini menerjemahkan naskah-naskah anyar yang memperkaya perbendaharaan naskah teater Indonesia, di antaranya, The Who dari Jack Hibberd dan Chushingura karya Takeda Izumo.
Festival yang periodik bagaikan suplemen yang melecut gairah kehidupan teater di Jakarta. Pada 1973, Wahyu Sihombing, anggota Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), mencetuskan Festival Teater Remaja (sejak 1984 menjadi Festival Teater Jakarta) dengan maksud menyeleksi grup yang akan tampil di TIM. Kala itu, DKJ satu-satunya institusi yang berwenang dan berwibawa untuk melakukannya.
Sejak dibuka pada 1968, TIM berperan sebagai taman kreativitas yang merayakan ekspresi seni. Di sini publik menikmati karya seni baru dari perintis teater modern nasional seperti Bengkel Teater Rendra, Teater Kecil asuhan Arifin C. Noer, dan Teater Populer pimpinan Teguh Karya. Lalu, saat para pentolan generasi awal mulai mapan dan disibukkan proyek film, sejumlah aktor kawakan mengisi kekosongan dengan membentuk grup teater. Di kelompok ini kita mengenal, misalnya, Ikranegara dengan Teater Saja, Putu Wijaya dengan Teater Mandiri, dan Nano dengan Teater Koma. FTJ menyatukan mereka. Grup yang menjadi kampiun tiga tahun berturut-turut akan menyandang “grup yang dibina” oleh DKJ dan bisa tampil di panggung TIM.
FTJ digelar berjenjang. Babak penyisihan berlangsung di Gelanggang Remaja di tingkat kota madya, sementara lokasi babak final digilir di antara kelima gelanggang itu. Beberapa tahun belakangan, final dipusatkan di TIM. Hingga hari ini FTJ telah membukukan 42 episode, menjadikannya festival teater periodik tertua di Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Satu festival bisa diikuti 100 grup. Artinya, dari sini saja, Jakarta pernah dimeriahkan 4.000 pementasan teater.
Dan gairahnya belum surut. Dalam babak penyisihan FTJ pada akhir Agustus 2014 di Gelanggang Remaja Jakarta Barat, ratusan penggiat berkerumun di auditorium untuk menyaksikan 18 grup yang akan berkompetisi. “FTJ memang seperti Lebarannya orang teater,” kata Joind Bayuwinanda, sutradara Teater Amoeba. Sepanjang seperempat abad, sekitar 25 grup teater telah dibina DKJ. Contohnya Teater Remaja Jakarta, Teater Sae, dan Teater Kanvas. Tak semuanya masih eksis.
FTJ juga menelurkan sutradara-sutradara yang mumpuni. Selain Dindon, ada Sutarno SK (Teater Kail), Bambang Dwi (Teater Luka), Malhamang Zamzam (Bandar Teater Jakarta), dan Edi Yan Munaedi (Teater Stasiun). Sejumlah aktor watak yang kemudian tersohor, sebut saja Deddy Mizwar, Andi Bersama, dan Zainal Abidin Domba, juga merekah lewat hasil penjurian FTJ. Di luar itu muncul tenaga profesional yang selanjutnya terjun ke bidang tata cahaya, suara, dan rias di industri hiburan dan sinetron. Sebuah penelitian sempat mengklaim, FTJ efektif mengurangi angka kenakalan remaja di Jakarta.
Detail
Jakarta
Venue
Beberapa ruang seni mementaskan teater secara sporadis atau berkala. Salihara (salihara.org) memiliki festival anual yang menampilkan grup lokal dan asing, sementara Taman Ismail Marzuki (tamanismailmarzuki.co.id) menjadi aula final Festival Teater Jakarta. Lembaga asing juga acap menyuguhkan pentas, misalnya Goethe-Institut (goethe.de/jakarta) dan Erasmus Huis (erasmushuis-in.nlmission.org). Tempat anyar Ciputra Artpreneur (ciputraworldjakarta.com) telah meresmikan auditorium, sedangkan Gedung Kesenian Jakarta (gedungkesenianjakarta.co.id ) terus bertahan sejak 1821.
Teater
Sesi latihan Teater Kubur (teaterkubur.org) berlangsung setiap hari kerja dan terbuka untuk umum. Grup terlaris di Indonesia, Teater Koma (teaterkoma.org), konsisten berpentas dan rutin mengirimkan jadwal pentas ke publik. Teater Mandiri (021/7444-678) yang dirintis Putu Wijaya disebut Goenawan Mohamad sebagai “contoh terbaik teater sebagai peristiwa.” Bergerak di luar “ jalur formal,” Teater Kami (kelompokteaterkami.blogspot.com) kerap pentas di kampus dan lembaga kebudayaan asing, contohnya Goethe-Institut dan Erasmus Huis.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November-Desember 2014 (“Senandika Ibu Kota”)