by Fatris MF 20 November, 2014
Wajah Buku Travel Kuno Buatan Indonesia
Pendekatan itu masih menyisakan jejaknya pada masa-masa awal kemerdekaan. Untuk itulah buku karya DN Aidit layak disimak. Laporan kunjungannya ke beberapa negara dikompilasi dalam buku Dari Sembilan Negeri Sosialis. Pada pertengahan Februari 1956, Aidit berkelana ke Uni Soviet, lalu berturut-turut ke RRC, Korea, dan Cekoslowakia.
Dia membesuk Ketua Mao ketika “kaum kapitalis beramai-ramai bermohon pada pemerintah supaja dirinja dilenjapkan sebagai klas agar dapat ambil bagian dalam pembangunan masyarakat sosialis.” Dalam eksplorasinya, Aidit menyatroni pabrik dan bercakap-cakap dengan buruh. Di Cekoslowakia, Aidit melaporkan: “Penghidupan Rakjatnja termasuk jang terbaik diantara negeri2 jang sudah madju, hampir tiap keluarga memiliki radio atau televisi.” Mereka telah punya mesin yang berjalan otomatis, yang paling modern pada masa itu. ”Lebih modern dari pada mesin2 Amerika,” kata Aidit lagi.
Aidit fokus pada sisi-sisi baik sosialisme dan komunisme. Sudut pandang ideologisnya bisa dimaklumi, karena dia melakukan perjalanan dinas sebagai Ketua PKI. Bukunya lebih ditulis sebagai alat propaganda, pemompa semangat bagi anggota PKI. Wajar jika guratan penanya nyaris tak menyisakan ulasan wisata.
Melangkah lebih jauh ke masa Orde Baru, Nasir Tamara terbang ke Iran pada Januari 1979 bersama Ayatollah Khomeini. Setiba di Iran, sebelum turun dari pesawat, Imam Syiah itu disambut jutaan rakyat yang mengelu-elukannya. Iran sedang bergejolak. Revolusi berada di titik nadir. Dalam buku Revolusi Iran yang terbit pada 1980, Nasir tidak mengupas tempat-tempat wisata yang membius mata. Pelancongan Nasir justru dipenuhi teriakan, penyanderaan, letusan senjata. “Seorang raja yang ditunjang oleh tentara No. 5 terkuat di dunia digulingkan tahtanya oleh rakyat tak bersenjata di bawah pimpinan seorang tua yang hampir 15 tahun berada di pengasingan,” begitu Nasir mendedahkan revolusi Iran.
“Shah ingin negerinya maju seperti negeri Amerika Serikat, Jepang atau Eropa. Tetapi kemajuan itu hanya mengarah pada pembentukan masyarakat konsumsi belaka,” tulis Nasir lagi dalam bukunya. Buku 446 halaman ini memang lebih terfokus pada tumbangnya rezim Shah dan kemunculan Khomeini sebagai “imam” yang berniat membawa Iran ke peradaban baru: tidak “Timur,” tidak juga “Barat.”
Tak lama setelah Nasir, Syafiq Basri, juga seorang wartawan, menginjakkan kakinya di Iran pada 1984, lima tahun setelah Revolusi Iran berkobar. Dia mengulas laju revolusi dan Iran yang belum kondusif. Bom meledak di stasiun kereta. Pembajakan pesawat masih terjadi. Syafiq datang saat warga kelas bawah sedang diperhatikan pemerintah Ayatollah. Mereka dipandang sebagai tulang panggung revolusi. “Kini pemerintah sedang menerapkan ekonomi kupon, setidaknya dua sistem kupon” tulisnya dalam Iran Pasca Revolusi: Sebuah Reportase Perjalanan. “Kupon untuk membeli jenis barang yang awet seperti gula, beras, sabun—dikelola oleh Bank Saderat Iran. Kedua, kupon untuk kebutuhan barang sehari-hari seperti daging, mentega, susu, rokok, ban mobil, kipas angin—disalurkan lewat mesjid”.
Dari Teheran, Syafiq melancong ke Pulau Majnoon yang dijulukinya pulau gila yang penuh nyamuk. Dia terbang ke Kashan, kemudian mengunjungi danau garam di barat Padang Pasir Kavir. Dia berkendara ke daerah-daerah yang dulu porak-poranda ketika revolusi mencapai puncaknya. Syafiq juga menyisir sungai-sungai yang mengering dan melewati tank-tank Iraq yang terhampar di sawah di Kota Ahvaz, selanjutnya ke Kut, Hoveizeh, dan Susangird yang rata dengan tanah.
Berbeda dari karya-karya lawas, buku perjalanan saat ini cenderung berformat panduan wisata. Niat penulisnya adalah membimbing kita bersenang-senang di negeri orang. Kita masih bisa mencium keinginan untuk belajar dari negara lain, tapi baunya kerap terlalu tipis.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Nov/Des 2014 (“Kabar Asing“)
1 Comment
by Ferdian Tanjung Mandahiling Koto
Seperti mirip kisah hidup saya, baru sekarang saya mendengar nama Adinegoro ini.
Namun saya merasakan lebih penderitaan Minangkabau dan Sumatera dikarenakan saya keturunan kerajaan Minangkabau dan tak dapat dipungkiri banyak penderitaan rakyat yang saya lihat dan rasakan di sekeliling saya. Di Arab dan Eropa hidup layaknya penduduk sana, saya selalu menolak penawaran warga negara sana karena masih banyak tanggung jawab yang perlu dibereskan di tanah air.