by Fatris MF 20 November, 2014
Wajah Buku Travel Kuno Buatan Indonesia
Oleh Fatris MF
Dunia tengah dihajar krisis ekonomi yang hebat ketika Parada Harahap melawat ke Jepang. Tapi justru di momen itulah dia melihat keajaiban. Pada 1930-an, pabrik-pabrik di Eropa rontok dan harga bahan mentah di pasar dunia terban. Bencana kemudian merembet dan memukul telak Hindia Belanda yang perekonomiannya ditopang oleh produksi bahan mentah.
Tapi, saat ekonomi dunia terkapar, Jepang justru segar-bugar. Di tengah harga-harga yang melambung, komoditas industri mereka justru berharga murah di Hindia Belanda. Ketika banyak pabrik di Barat gulung tikar, Jepang malah menggeliat dengan industrialisasi. Ada apa dengan Jepang? Bagaimana mereka bisa begitu cepat melesat mengejar Eropa?
Itulah sebagian pertanyaan yang hendak dijawab Parada Harahap dalam eksplorasinya di Timur, di negeri tempat matahari terbit. Parada menulis, “Di dalam tempoh jang sependek itoe dapat ia mengatoer negerinja sedemikian roepa, sehingga mendjadikan bangsa-bangsa di seloeroeh doenia terkedjut melihatnja.” Selama ini kaum bumiputra telah banyak melawat ke Barat, katanya, tapi dengan kemajuan pesat yang dialami Jepang sekarang, patutlah kita melawat juga ke Timur, belajar dari “saudara tua” yang lebih dekat.
Menoedjoe Matahari Terbit (Perdjalanan ke Djepang) menjadi buku yang patut dibaca guna mengetahui bagaimana orang Indonesia memandang Jepang pada periode itu. Buku yang diterbitkan pada 1934 ini merekam bagaimana Negeri Sakura menjadi magnet baru bagi kaum terpelajar. Dalam hampir 50 halaman pertama, Parada menggambarkan suasana di dalam kapal Jepang. Nagoya Maru merupakan kapal komersial yang tidak kalah mewah dibandingkan kapal-kapal Belanda, hanya saja tarifnya jauh lebih murah, demikian catat Parada. Pada halaman-halaman setelahnya, Parada mengenang kunjungannya ke pabrik-pabrik, contohnya Kawazaki Dokfabriek yang memproduksi kapal laut.
Di sela-sela turnya, Parada menyisipkan kisah sejumlah tempat wisata. Ketika di Kobe, Parada berpelesir ke Kobe Bij Nacht, kompleks hiburan malam yang menjadi pembicaraan koran-koran di Tanah Air. Saat di Osaka, dia mengunjungi museum yang mengoleksi benda-benda kerajaan Jepang. Parada juga sempat menikmati keindahan Gunung Fuji, singgah di kota tua yang dihuni istana di Nara, serta menyaksikan musim salju di Nikko.
Bagaikan penulis yang diutus Lonely Planet, Parada mencatat detail informasi seputar hotel, lengkap dengan tarifnya, transportasi menuju suatu tempat wisata, kuliner setempat, serta petuah bagi pelancong yang berencana ke Jepang. Dia menyarankan saudara-saudaranya menghindari periode November hingga Januari, karena Jepang sedang dilanda musim dingin yang menyengat. Datanglah antara Maret dan Mei, sewaktu “gadis, djanda, toea dan moeda keloear memetik kembang.”
Sebagai penulis, Parada merintis karirnya sebagai kerani di sebuah perusahaan perkebunan di Sumatera Timur, lalu menerbitkan majalah untuk golongannya: De Kranie. Usai menjadi redaktur Sinar Merdeka di Padang Sidempuan pada 1919-1922, dia berkecimpung di berbagai harian dan majalah, antara lain Benih Merdeka dan Hindia Sepakat. Setelah merantau ke Jawa, Parada bekerja sebagai reporter Sin Po. Pada 1924, dia mendirikan kantor berita Alpena dan mingguan Bintang Timoer. Saat bekerja di sinilah dia ke Jepang. Tidak banyak memang buku perjalanan tentang negeri asing yang ditulis orang Indonesia. Di antara yang sedikit itu, beberapa dikarang oleh jurnalis. Parada menyebut genre ini “ journalist pelantjongan.”
1 Comment
by Ferdian Tanjung Mandahiling Koto
Seperti mirip kisah hidup saya, baru sekarang saya mendengar nama Adinegoro ini.
Namun saya merasakan lebih penderitaan Minangkabau dan Sumatera dikarenakan saya keturunan kerajaan Minangkabau dan tak dapat dipungkiri banyak penderitaan rakyat yang saya lihat dan rasakan di sekeliling saya. Di Arab dan Eropa hidup layaknya penduduk sana, saya selalu menolak penawaran warga negara sana karena masih banyak tanggung jawab yang perlu dibereskan di tanah air.