Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Alasan Magelang Dijuluki Ubud Versi Jawa

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Muhammad Fadli

Berkelana di rumah dr. Oei Hong Djien, imajinasi saya merantau ke lapisan-lapisan hikayat seni Nusantara, juga mungkin ke ruang-ruang lelang Sotheby’s. Di sini terpajang Potret Diri oleh Affandi, Badai Asia Afrika oleh Hendra Gunawan, serta Raden Ayu Muning Kasari oleh Raden Saleh. Puluhan lukisan monumental lainnya tergantung di dinding, mulai dari garasi hingga kamar tidur. Sekitar 2.000 sisanya dibariskan di gudang layaknya bingkai-bingkai marmer di toko keramik.

Hobi koleksi seni yang boros itu didanai oleh rupiah yang mengalir dari bisnis tembakau, komoditas yang tumbuh subur di Magelang. Oei adalah seorang grader, profesi yang tugas utamanya memilah daun-daun Nicotiana, sebelum kemudian diolah menjadi rokok atau keretek. Tak banyak yang menguasai bidang ini. Keahlian menganalisis tembakau dibentuk dari pengalaman panjang, bukan pendidikan formal. Oei sebenarnya ingin menjadi dokter. Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dia terbang ke Belanda untuk mengambil spesialisasi di bidang pathological anatomy. Sempat bekerja sebagai tenaga medis sukarelawan, Oei “terpaksa” mewarisi bisnis keluarga sepeninggal ayahnya.

Kiri-Kanan: Joki asal Manado di resor MesaStila; Kolam privat di Bella Vista Villa, MesaStila.

Pagi ini, sang mantan dokter duduk menikmati sarapan di meja panjang bersama DR. Helena Spanjaard, penulis buku Exploring Modern Indonesian Art. “Silakan melihat-lihat. Lukisan Raden Saleh di sebelah sana,” dia menunjuk sebuah lorong yang dipenuhi foto-foto keluarga. Di usia 74 tahun, tubuhnya seperti melambat, tapi semangatnya belum padam. Besok, Oei akan terbang ke London untuk menjadi pembicara dalam sebuah forum seni.

Semangat yang sama mendorongnya untuk meluncurkan OHD Museum pada 5 April 2012. Oei ingin publik bisa menikmati koleksinya, walau niat mulia ini mungkin juga didorong oleh keterpaksaan karena rumahnya tak sanggup lagi menampung karya. Museum itu menempati sebuah bangunan persegi panjang bekas gudang tembakau. Fasad depannya dihiasi instalasi eksentrik buatan Entang Wiharso. Halaman di pintu masuknya dialasi karya-karya evokatif dari 40 perupa kontemporer, termasuk Putu Sutawijaya dan Heri Dono. Di sebuah lounge di samping toko suvenir, mural absurd khas Eko Nugroho memberi nyawa pada dinding putih, persis seperti yang dilakukannya pada interior Potato Head di Jakarta.

Panorama dramatis Gunung Sumbing pada pagi hari.

Imajinasi saya kembali berkelana. Museum yang dirancang oleh Gregorius Supie Yolodi itu adalah magnet wisata terbaru di Magelang. Tamu-tamu Eropa tak jarang berkunjung. Pelajar dan akademisi rutin bertandang. OHD Museum berjasa melambungkan Magelang dalam orbit penikmat seni dunia—dan mereka bakal punya alasan untuk kembali, sebab karya-karya di museum diperbarui secara periodik. Maret silam, bangunan bercat gelap ini menampilkan belasan karya dari perupa-perupa di bawah grup Jendela. Melihat portofolionya, OHD Museum mungkin layak ditempatkan di kawasan yang lebih prestisius seperti Jakarta atau Ubud, ketimbang di daerah tanpa bandara yang kerap luput dari radar wisatawan dan bahkan absen dari buku panduan wisata Lonely Planet.

Kontras dari Yogyakarta atau Bandung, Magelang juga tak punya tradisi ajek dalam memproduksi seniman berkaliber dunia. Pilihan Oei sepertinya didorong oleh motif personal. Dia berutang budi pada Magelang. Di sinilah keluarganya mengerek kerajaan bisnis. Di sini pula dia merangkai cintanya pada seni. “Apalagi udara di sini sempurna. Kehidupannya simpel. Orang-orangnya sederhana,” jelas Letty Surjo, Direktur OHD Museum, yang pernah bekerja untuk McKinsey.

Tanah Magelang yang kaya nutrisi telah menghidupi bisnis tembakau dan melahirkan sebuah situs suci bagi pencinta seni. Di abad kedelapan, lebih dari satu milenium sebelum Oei lahir, Dinasti Sailendra membangun peradaban luhur di tanah yang sama.

Kiri-Kanan: Patung Pangeran Diponegoro di pusat kota Magelang; Gedung warisan Belanda di kawasan kota tua Magelang.

Cekungan Kedu bagaikan mangkuk alam raksasa. Delapan gunung perkasa mengurungnya. Sungai-sungai yang mengalir dari dataran tinggi menciptakan retakan di dasar mangkuk dan membentuk tapal batas bagi lima kabupaten. Di jantungnya ada Magelang, di mana sebuah bukit mistis, Tidar, menjulang bagai Kakbah di tengah kepungan minaret-minaret agung Jawa Tengah.

Pukul empat subuh, saya berkendara menuju Perbukitan Giyanti. Mobil diparkir di tepi sebuah desa lengang, lalu saya mendaki jalan beralaskan aspal dan tanah. Orkestra katak berpadu dengan lantunan ayat Alquran jemaah salat subuh. Tak ada lampu penerangan. Topografi rute kadang miring hingga 40 derajat. Sepertinya ini cara yang buruk untuk memulai hari.

Selang setengah jam, sebuah bangunan abu-abu terlihat hinggap sendirian di lereng timur Gunung Putih. Pelang di dekat pagar menuliskan namanya: Candi Selogriyo. Tak ada informasi tentang silsilahnya. Di ketiga sisinya, candi Hindu ini menampilkan relief Durga, Ganesha, dan Agastya. Di pintu masuk, ada sepasang Dwarapala. Dari kelima figur itu, hanya satu yang masih memiliki kepala. Apa yang dulu dicari sang pendiri candi di lokasi yang sulit ini, 675 meter di atas permukaan laut?

Salah satu bagian Candi Ngawen yang berhasil direstorasi Belanda pada 1927.

Matahari mulai menyinari sawah terasering yang mengukir lereng di kaki candi. Warna hijau dan kuning bertumpuk hingga ke tepian sungai yang airnya bening seperti Vodka. Udara dingin masih bergelayut. Mudah dimengerti mengapa wedang jahe adalah minuman populer di sini.

Selogriyo hanyalah satu dari sekitar 78 candi yang bertaburan di Magelang. Saya memakai kata “sekitar” karena jumlahnya terus bertambah. Di awal Mei 2004, sekitar 30 menit di selatan Selogriyo, sebuah candi ditemukan secara tak sengaja oleh pekerja kebun salak. Saat memperpanjang saluran air, linggis mereka menghantam benda keras di bawah tanah. Situs yang kemudian disebut Candi Losari ini terkubur oleh lapisan vulkanis yang terlontar dari perut Merapi pada 1006—dan terus terpendam di tempatnya akibat minimnya dana ekskavasi.

Véronique Degroot pernah memetakan candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Peneliti dari Universitas Leiden ini menyimpulkan, pola penyebaran candi sangatlah kompleks, terkait dengan rantai ekonomi yang menghubungkan kawasan fertil di selatan dengan kawasan pesisir di utara. “Jalur Sutra” versi Jawa ini diduga berhenti di pelabuhan Semarang, kemudian membentang luas melalui jaringan perdagangan maritim global. “Eksistensi rute tersebut mengonfirmasi bahwa perekonomian Jawa Tengah bukanlah perekonomian tertutup yang digerakkan oleh komunitas yang terisolasi,” jelasnya dalam buku Candi, Space and Landscape.

Kiri-Kanan: Bubur kelapa, salah satu menu sehat di MesaStila; Vila Andong di MesaStila disusun dari kayu rumah tua.

Namun kesuburan itu bersanding diametral dengan risiko yang menakutkan. Seperti pada kasus Candi Losari, gunung-gunung pemarah di sekitar Cekungan Kedu bisa murka kapan saja. Pencapaian peradaban selama ratusan tahun dapat runtuh dalam hitungan hari. Lalu, mengapa candi-candi malah diletakkan di sana? Alam berpikir masyarakat agraris Jawa agaknya menyimpan jawabannya.

Cekungan Kedu menempati posisi vital dalam spiritualitas orang Jawa. Berdasarkan perhitungan astronomi masyarakat Mataram Kuno, daerah ini secara geografis berada di tengah-tengah Pulau Jawa—titik yang dianggap paling bertuah menurut konsep Mandala (lingkaran kosmos dan mikrokosmos). “Lokasi sentral ini bahkan dianalogikan sebagai pusat dunia, sebagaimana yang ada dalam kosmologi Hindu-Buddha. Di tempat yang sakral, tentu banyak bangunan sakral,” jelas Dr. Daud A. Tanudirjo, ahli arkeologi dari Universitas Gadjah Mada.

Logika spiritual itu juga diperkuat oleh motif ekonomi. Erupsi memang memakan nyawa, tapi setelah itu menghadirkan kesuburan. “Masyarakat enggan pergi walau harus menanggung risiko bencana. Bagi mereka, letusan gunung tidak selalu dianggap sebagai bencana, tapi justru berkah,” sambung Daud.

Bumi Kedu mengamuk terakhir kali pada 2010. Merapi meletus dan mengubur banyak desa dalam warna kelabu. Penghuni lereng mengungsi dan perekonomian lumpuh. Selang beberapa minggu, mereka kembali untuk menyusun asa. Lima menit berkendara dari Candi Borobudur, mesin industri asbak kembali berputar enam bulan pascaerupsi. Pekerja mengumpulkan serbuk potongan batu vulkanis, lalu menjejalkannya ke cetakan berbentuk stupa. Sekitar 6.000 asbak diproduksi per bulannya. Tak kurang 30 orang menyandarkan hidup dari bisnis suvenir ini. Di Cekungan Kedu, bencana memang bisa berubah menjadi berkah.

Staf Villa Borobudur mempersiapkan sarapan di teras vila yang menatap Candi Borobudur.

Delman yang ditarik seekor kuda Sumba mengantarkan saya menelusuri jalan-jalan sempit di Desa Candirejo, sisi tenggara Borobudur. Hasil bumi adalah sumber pendapatan utama bagi ribuan warga di sini. Mereka menanam padi, cabai, bayam, juga pepaya. Sejak 2003, desa ini melirik sumber kas baru: pariwisata. Paket-paket tur diciptakan bagi turis, mulai dari bamboo rafting hingga homestay di rumah penduduk.

Delman saya kini berlabuh di tebing Tempuran, lokasi pertemuan tiga sungai. Menurut mitos, dewa-dewi gemar mandi di sini. Tapi para penghuni kayangan sekalipun tak sanggup melawan takdir tiga tahun silam saat banjir lahar mengubah lanskap Tempuran. Delta di tengahnya hilang tersapu gelombang. Sebidang lahan baru terbentuk di meander dan kini mulai ditanami singkong.

Memori kelam itu masih basah dalam ingatan Dwi Susiwi, petani yang merangkap pemandu wisata. Ladang-ladang di desanya menderita gagal panen dan listrik padam selama satu bulan, hingga warga terpaksa hidup dalam kegelapan dan bernapas dalam atmosfer penuh debu. Tapi dia dan kawan-kawannya belum menyerah. Bersama-sama, mereka menghidupkan kembali paket wisata. Tahun lalu, Candirejo berhasil memikat 4.000 pelancong dan mendulang pendapatan Rp400 juta. “Ada hikmah di balik tiap bencana,” jelas Susiwi. “Kita tidak akan lagi menyia-nyiakan apa yang kita punya.”

Kiri-Kanan: Peracik jamu yang rutin datang pagi hari di MesaStila; Patung ‘Pembuka & Penutup’ buatan Yulhendri di OHD Museum.

Sepasang meriam tua dan patung singa mitologis terpaku menatap lembah hijau. Di dasarnya mengalir Sungai Progo. Di kejauhan, Gunung Sumbing menjulang 3.371 meter menusuk awan. Panorama dari halaman gedung Karesidenan Kedu mampu membius mata, tapi tempat ini sepertinya masih digelayuti sebuah momen pahit dari 1830.

Di bangunan itu, Pangeran Diponegoro ditangkap oleh tentara kolonial—drama epik yang diabadikan oleh dua pelukis dengan gejolak batin yang kontradiktif. Nicolaas Pieneman menggambarkannya dalam perspektif realis: serdadu Belanda membekuk tokoh pejuang. Dari kutub yang berbeda, Raden Saleh mengabadikannya dengan nada sarkastis: para penangkap berkepala besar layaknya tokoh Buto, simbol kesombongan dalam pewayangan Jawa. Sejumlah kritikus seni menafsirkan lukisan Raden Salah itu sebagai bibit nasionalisme di abad ke-19. “Dia mengenakan serban hijau, jubah putih tanpa alas kaki/Badannya kecil, tapi wajahnya menantang dengan sikap berani.” Bait-bait puisi karya Taufiq Ismail tentang sikap Pangeran Diponegoro saat ditangkap, menyelinap ketika saya termenung di teras bangunan.

Candi Borobudur di hadapan Gunung Merapi, salah satu vulkan paling aktif di Indonesia.

Karesidenan Kedu merekam serpihan yang tersisa dari saga tersebut. Ruang diskusi antara Pangeran Diponegoro dan Letnan Jenderal Hendrik de Kock disulap menjadi museum. Meja dan kursi perundingan mereka dibiarkan dalam formasi terakhirnya. Di sebuah lemari kaca, jubah putih sang pangeran tergantung. Warnanya kusam, memudar setelah teronggok hampir 200 tahun, tapi kenangan atasnya masih segar di kepala.

Tak semua situs Kolonial di Magelang bernasib sebaik Karesidenan Kedu, walau kali ini pangkal masalahnya bukan cuma minimnya biaya, tapi juga filosofi pembangunan yang dianut pengambil kebijakan. Magelang bergerak dalam garis linear modernisasi. Struktur uzur kerap harus mengalah pada perangkat-perangkat komersial yang melambangkan kemajuan. Bioskop Roxy telah berubah menjadi toko. Kelab malam Societet bersalin rupa menjadi kantor bank. Rel kereta jurusan Yogyakarta terkubur oleh aspal.

Saya bertemu Bagus Priyana, sosok yang mencoba melawan kondisi tersebut. Hampir setiap pekan, dia berkelana ke pojok-pojok kota menggunakan sepeda untuk mendata dan mendokumentasikan situs-situs sepuh. Melalui komunitas yang dirintisnya, Kota Toea Magelang, Bagus juga kerap menggelar tur-tur bertema napak tilas—mulai dari wisata pecinan hingga ekspedisi rel mati—agar publik tergerak untuk mendukung upaya-upaya advokasinya.

Kiri-Kanan: Mardiat, kusir delman yang menawarkan tur di Desa Candirejo; Patung Buddha tanpa kepala di Candi Ngawen.

Pencapaian terbesarnya adalah menggagalkan perombakan RSUD Tidar pada 2011. Waktu itu, pengelola hendak meruntuhkan sejumlah sayap bangunan, padahal rumah sakit ini menempati aset sejarah dari era 1900-an. Bagus lalu melayangkan surat protes ke Pemprov Jawa Tengah, yang kemudian disambut oleh penerbitan perintah penghentian proyek. Satu aset berhasil diselamatkan, tapi masih ada ratusan yang menanti diproteksi.

Bagus sebenarnya bukan bahan baku yang ideal untuk menjadi jagawana sejarah. Dia hanya lulusan STM jurusan elektronika. Jika sedang absen dari hobi bersepeda, pria berstatus bujang ini membantu ibunya berdagang gorengan. Kecintaannya pada artefak Kolonial lebih didasarkan pada nostalgia masa kecil: Bagus menikmati hidup di antara gedung-gedung sepuh.

Meski tak pernah melakoni studi banding ke kota-kota tua di luar negeri, penggemar sepeda onthel ini sadar pentingnya menjaga pendulum keseimbangan antara modernisasi dan preservasi. “Untuk menatap masa depan, kita harus berkaca pada masa lalu,” katanya. “Gedung-gedung tua mengajarkan kejujuran. Mereka didirikan dengan cara yang benar. Bahan bangunan tidak dikorupsi, karena itulah bisa bertahan lama.” Kami berbincang di restoran Voor de Tidar 58, di antara foto-foto kuno yang memperlihatkan wajah kota dalam dua abad terakhir. “Saya tak cuma ingin memelihara struktur fisik cagar budaya, tapi juga kisah-kisah yang tersimpan di baliknya,” sambung Bagus.

Bangunan kolonial yang difungsikan sebagai clubhouse di resor MesaStila.

Kisah-kisah yang sama mengisi eksplorasi kami di pusat kota. Petualangan dimulai di alun-alun, episentrum pariwisata kota, di mana orang-orang bercengkerama seperti para punakawan dalam lukisan Hendra Gunawan. Ikon tempat ini adalah menara air berusia 93 tahun rancangan Thomas Karsten, arsitek Belanda yang juga merancang Lawang Sewu di Semarang. Tak jauh darinya ada gereja langsing berfasad gotik, serta sekolah guru khusus kaum pribumi buatan 1899. Di belakang menara air, kelenteng tua memancarkan corak merah dan menebarkan aroma dupa. Saya datang menjelang Capgome, saat kelenteng diterangi lentera dan lilin. “Nanti malam ada pesta kembang api,” ujar penjaga kelenteng.

Eksistensi puluhan candi dan gedung kolonial menjelaskan arti penting Magelang dalam babad Jawa. Tak sulit mendapati bahwa kawasan ini punya pesona yang bakal membuat Tony Wheeler berpikir ulang untuk menafikannya. Pesona yang sama telah mendorong sejumlah hotelier memilih Magelang sebagai lokasi penginapan-penginapan paling premium di Jawa Tengah.

Kiri-Kanan: Suvenir buatan desa di sekitar Borobudur; Letty Surjo, Direktur OHD Museum, di rumahnya.

Candi Borobudur dibangun 300 tahun sebelum pendirian Angkor Wat dan 400 tahun sebelum katedral-katedral bermunculan di Eropa. Tapi namanya baru terdengar oleh dunia modern pada 1814, setelah Raffles memerintahkan penggalian artefak abad kedelapan itu dari perut bumi. Setelah itu, tiap tahunnya Borobudur menjadi tuan rumah bagi ritual Waisak paling kolosal di dunia. Saban hari, ia menyambut ribuan turis yang ingin menyaksikan warisan termegah Dinasti Sailendra.

Untuk pertama kalinya, saya menyaksikan Borobudur dari kamar mandi, persisnya di bawah siraman air yang mengucur dari mulut naga kayu. Mentari pagi menerangi barisan stupa dan persawahan di sekitarnya. Saya menginap di vila berbentuk joglo di Villa Borobudur. Panorama melenggang dari dua jendela yang melubangi gebyok buatan Kudus.

Villa Borobudur hadir dengan konsep rumah Jawa autentik di pinggang Perbukitan Menoreh. Meja makannya ditutup taplak batik; lantainya dilapisi tegel kuning; serabi disuguhkan dalam sesi sarapan. Di sini, setiap orang diperlakukan layaknya tamu keluarga. Itu sebabnya harga makanan inklusif dalam tarif kamar. Dalam tradisi Jawa, tuan rumah selalu menyajikan makanan kepada tamu, dan tak pernah mengulurkan bon setelah sajian disantap.

Kompleks berundak ini dibuka pada Desember 2011 oleh tamu kehormatan, Chris John—mungkin satu-satunya penginapan di Indonesia yang diresmikan oleh juara dunia tinju. Kisahnya dimulai saat pasangan Ingo Piepers dan Noëlle Haitsma membeli lahan di lereng dari 20-an warga, lalu menyulapnya menjadi akomodasi butik premium berisi enam vila. Salah satunya menampilkan jacuzzi dan kolam renang yang bersanding dengan tempat semadi Pangeran Diponegoro.

Panorama Gunung Andong, bagian dari rangkaian gunung di Jawa Tengah.

“Tak sulit untuk jatuh cinta pada tempat ini; orang-orangnya luar biasa ramah,” tutur Noëlle Haitsma. Para staf memanggilnya madam, walau dia lebih sering tampil kasual dengan kaus dan celana pendek. Kami duduk di pendopo sembari menikmati padi-padi yang menguning di kaki Borobudur. “Anda mungkin tak perlu lagi ke Ubud,” katanya ditutup tawa. Salah seorang karyawannya yang berbalut kebaya datang dan menyuguhkan teh jahe. Diskusi di tengah udara sejuk Menoreh kian hangat.

Pukul sembilan pagi, Noëlle dan dua stafnya menemani saya berarung jeram di Sungai Elo. Kami meluncur sejauh 12 kilometer, melewati jeram-jeram level tiga, dan menyaksikan kehidupan di bantaran sungai. Di separuh pengarungan, saya mendaki jembatan gantung setinggi lima meter, lalu melompat ke air cokelat yang mengandung sedimen dari lereng Merbabu. Aktivitas semacam ini adalah bagian dari strategi Noëlle untuk memberi alasan bagi tamu untuk kembali.

MesaStila, penginapan lain di Magelang, juga memberi alasan bagi tamu untuk kembali. Kompleks seluas 22 hektare ini berlokasi di perbatasan utara Magelang. Sejarahnya dimulai 13 tahun silam saat pengusaha asal Italia membeli kebun kopi warisan Belanda, lalu mengubahnya menjadi resor mewah. Rumah orisinal pemilik kebun masih berdiri. Pohon-pohon kopi juga terus berbuah. Saya menginap di vila yang disusun dari kayu rumah-rumah tua, dengan teras yang menghadap gunung dan lembah hijau.

Bisa dibilang, MesaStila memiliki modal yang mumpuni untuk memikat tamu. Namun, di masa awal beroperasi, semua itu tidaklah mencukupi. Magelang kalah pamor dari tiga kantong wisata yang mengapitnya dalam formasi segitiga: Yogyakarta, Semarang, dan Surakarta. Sugeng Sugiantoro, karyawan yang bekerja di sini sejak 2003, masih ingat masa-masa sulit tersebut. “Magelang waktu itu belum dikenal orang,” kenangnya. “Orang selalu bertanya, berapa jarak kami dari Borobudur? Setelah saya jawab satu jam, mereka kurang tertarik.”

Kiri-Kanan: Koki MesaStila meracik selada; Arung jeram di Sungai Elo.

MesaStila terpaksa menyusun ulang strateginya. Penginapan ini diubah menjadi sebuah destinasi yang mandiri, bukan sekadar persinggahan bagi tamu yang hendak menyambangi Borobudur. Kini, MesaStila merupakan salah satu resor dengan tawaran aktivitas terbanyak di Jawa Tengah: 42 opsi kegiatan rutin dalam seminggu. Semuanya didedikasikan untuk membuat tamu lebih bugar. “Magelang adalah tempat yang sempurna untuk konsep wellness resort,” jelas Bryan Hoare, pria yang disewa pemilik MesaStila untuk merancang program-program wellness. “Alamnya tenang dan subur. Orang-orangnya secara natural memiliki jiwa melayani. Tamu akan merasa berada di tangan yang benar.”

One day power cleanse”, salah satu paket andalan MesaStila, dirancang untuk merejuvenasi tubuh dan pikiran melalui 13 tahapan terstruktur, mulai dari yoga hingga terapi di hammam. Seluruh asupan diatur ketat. Tamu dilarang mengonsumsi apa pun di luar menu yang diracik oleh tim resor. Paket lainnya berdurasi lebih lama, antara tiga hingga 14 hari. Tamu yang pernah menikmatinya beragam, mulai dari atlet sepeda hingga mereka yang ingin mengatasi kecanduan pada mariyuana. “Kami menawarkan liburan yang bisa mengubah hidup tamu. MesaStila adalah tempat yang ideal untuk menghapus stres, menjalani hidup yang lebih sehat, atau bahkan terlahir kembali,” tutur Bryan.

Kelar menyantap spinach mozzarella galette, salah satu menu sarapan sehat di Restoran Java Red, saya menutup trip dengan menyusuri kebun kopi. Buah-buah hijau kaya kafein bergerombol di batang-batang kurus. Di sebuah kedai, seorang nenek mengajarkan cara alternatif untuk menikmatinya: bulir-bulir kopi panggang dikunyah bersama irisan gula aren. Seluruh bubuk kopi yang disajikan di MesaStila dihasilkan dari kebun ini. Para meneer yang dulu mengelolanya mungkin tak pernah menyangka, ladang yang ditinggalkannya berubah menjadi rahim bagi para pelancong untuk menyepi dan—meminjam istilah Bryan—terlahir kembali.

Kiri-Kanan: Suasana malam di resor Villa Borobudur; Gado-gado tersaji di meja sarapan di Villa Borobudur.

PANDUAN
Rute
Magelang berjarak sekitar 40 kilometer di utara Yogyakarta dan 70 kilometer di selatan Semarang. Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dan Lion Air (lionair.co.id) melayani penerbangan ke Yogyakarta dari sejumlah kota, di antaranya Jakarta dan Bali.

Penginapan
Awalnya menyandang nama Losari Spa Retreat & Coffee Plantation, MesaStila (Desa Losari, Grabag, Magelang; 0298/596-333; mesahotelsandresorts.com; vila satu kamar mulai dari Rp1.600.000) merupakan satusatunya penginapan dengan konsep wellness resort di Jawa Tengah. Dibuka di lereng Bukit Menoreh sejak Desember 2011, Villa Borobudur (Dusun Pete, Desa Majaksingi, Magelang; 0293/552-5520; villaborobudur.com; vila satu kamar mulai dari $250, inklusif penatu dan makan tiga kali per hari) adalah akomodasi luks terbaru di Magelang, yang menawarkan panorama Borobudur dari enam vila berarsitektur joglo. Dua penginapan lain yang juga menyuguhkan sosok Borobudur adalah Amanjiwo (Desa Majaksingi, Borobudur, Magelang; 0293/788-333; amanresorts.com; suite mulai dari $850) dan Plataran Borobudur (Dusun Tanjungan, Magelang; 0293/788-888; plataran.com; vila mulai dari Rp1.651.859).

Aktivitas
Karya-karya seni yang terpajang di OHD Museum (Jl. Jenggolo 14, Kota Magelang, 0293/363-420; ohdmuseum.com; tutup tiap Selasa dan hari raya) berganti secara periodik. Jika ingin melihat mahakarya para maestro legendaris Indonesia, kunjungi rumah pemilik museum di Jalan Diponegoro 74. Tur ke situs-situs bersejarah bisa dilakukan dengan menaiki taksi atau kendaraan sewaan, tapi jika Anda membutuhkan pemandu, hubungi Bagus Priyana, koordinator komunitas Kota Toea Magelang (0878-3262-6269; E. bagus_priyana@yahoo.co.id; kotatoeamagelang.wordpress.com). Untuk menyelami kehidupan riil masyarakat di sekitar Borobudur, datangi Desa Wisata Candirejo (Koperasi Desa Wisata Candirejo, Sangen, Candirejo; 0813-2880-8520), di mana Anda bisa menikmati tur delman, wisata kuliner tradisional, hingga kunjungan ke rumah para perajin. Aktivitas arung jeram di Sungai Elo atau Progo ditawarkan sejumlah hotel, termasuk Villa Borobudur, tapi Anda juga bisa menghubungi langsung pihak operator tur. Dari 14 operator di Magelang, Citra Elo (Jl. Raya Mendut, Progowati, Mungkid; 0293/788-435; citraelo.com) adalah yang paling berpengalaman.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei-Juni 2013 (“Kosmologi Kedu”).