by Cristian Rahadiansyah 27 March, 2020
Tur Musik di Ibu Kota Rok
Tur pagi ini dibuka dengan cara yang janggal: berkabung. Duduk di balik kemudi, Charity Drewery mencomot iPhone, lalu memutar rekaman suara lirih Chris Cornell mengenang kepergian karibnya, Andrew Wood. Keduanya vokalis grup rok terkenal asal Seattle, dan keduanya sudah almarhum. Andrew overdosis heroin pada 1990. Chris gantung diri tiga tahun lalu. “Kalian pikir ini tur senangsenang?” kata Charity, lalu tertawa lepas.
Charity menggeser persneling dan MPV Dodge miliknya pun mulai bergerak. Saya duduk di sampingnya. Di kursi belakang, ada dua pasangan asal Chicago dan Frankfurt. Judul tur ini Rock & Roll Sightseeing Tour. Selama tiga jam, kami dibawa menziarahi situs-situs yang menyimpan memori bintang rok lawas, misalnya tempat konser perdana Nirvana, pahatan yang menginspirasi lagu Black Hole Sun, serta patung “dewa gitar” Jimi Hendrix. Ikut tur ini, orang bisa menebak berapa kira-kira usia Anda.
Dengan kalimat datar yang sarat lelucon, Charity membeberkan gamblang kisah dari setiap tempat yang kami datangi. Kadang, wanita paruh baya ini menyisipkan gosip-gosip lokal yang beredar hanya di kalangan terbatas. Andaikan majalah Hai masih terbit, dia mungkin cocok disewa sebagai redaktur tamu.
“Lihat restoran taco itu,” ujarnya saat mobil menyisir tepian Seattle. “Saya pernah melihat Dave Matthews makan di situ. Musisi hidup santai di Seattle. Di sini tidak ada paparazzi.” Di waktu yang lain, Charity memarkir mobil di muka bar El Corazon, tempat debut konser Pearl Jam. “Bar ini akan diganti kondominium,” jelasnya sedih. “Kota ini berubah. Kelak saya hanya akan bisa memperlihatkan foto El Corazon dan meminta orang membayangkannya.”
Rock & Roll Tour dirintis pada 2010. Mayoritas pesertanya ialah generasi yang belum bisa beranjak dari era Pearl Jam dan Nirvana, masih bernostalgia dengan lagu Jeremy dan Smells Like Teen Spirit—seperti saya! Tapi ini bukan satu-satunya paket ziarah musik di Seattle. Hikayat musik kota ini terlalu tebal untuk dirangkum oleh hanya satu operator.
Selain Rock & Roll Tour, ada Grunge Redux yang dipandu Eric Magnuson. Contoh lainnya, napak tilas Kurt Cobain oleh Aberdeen Museum of History. Peserta diajak melawat rumah, sekolah, juga tempat sang vokalis Nirvana itu kongko bersama teman-temannya. Kurt memang figur yang menonjol dalam babad musik Seattle. Sejumlah penulis mendaulatnya sebagai juru bicara Generasi X, sebagaimana Bob Dylan pada 60-an atau John Lennon pada 70-an.
“Grunge populer di Indonesia?” tanya Charity, menyebut aliran musik khas Seattle. “Nirvana dan Pearl Jam punya banyak penggemar, tapi lagu-lagu Mother Love Bone belum sampai ke Indonesia,” jawab saya.
“Wajar,” timpalnya. “Andrew Wood, vokalisnya, tewas sebelum albumnya keluar. Padahal waktu itu mereka sudah dikontrak untuk membuka konser Aerosmith. Jika saja Andrew tidak tewas, Mother Love Bone pasti jadi band terbesar asal Seattle.”
Tur mendekati menit-menit terakhirnya. Mobil merapat ke The Central, bar yang pernah menanggap banyak pentas grup lokal. Di salah satu dindingnya, terpajang “tembok ratapan” berisi foto-foto musisi almarhum legendaris. “Jangan pakai heroin,” pesan Charity. “Lebih baik pakai mariyuana. Saat giting, saya jadi orang yang lebih baik. Ketika menyetir, saya selalu memantau dashboard dan pelang jalan. Saya rasa dunia akan lebih baik jika semua orang giting.”
Saya datang ke Seattle September silam. Kota ini bersemayam di barat laut Amerika, persis di bantaran Samudra Pasifik. Bagi banyak orang, Seattle dikenal sebagai kota industri. Starbucks lahir di sini. Pabrik Boeing, juga markas besar Microsoft dan Amazon, bercokol di sini. Di luar semua emblem itu, Seattle tentu saja juga tersohor sebagai kota musik. Dari Quincy Jones hingga Kurt Cobain, banyak musisi berpengaruh lahir atau ditempa di sini.
Seattle begitu rajin mencetak musisi seperti Yogyakarta mencetak seniman. Khusus di jagat rok, bahkan pernah ada masa ketika lagu-lagu dari kota ini menjadi bahasa musik dunia periode keemasan yang mengilhami tur nostalgia seperti yang ditawarkan oleh Charity.
Tapi saya sebenarnya datang saat musik Seattle telah meninggalkan masa jayanya. Berbeda dari mesin-mesin industrinya yang terus menggerakkan bumi, kota ini tak lagi mengekspor nada yang menggelegar di skena musik. Apa penyebabnya?
“Jika suka musik, Anda datang ke kota yang tepat,” jelas sopir hotel saya, seorang imigran asal Uganda. “Di sini ada banyak pertunjukan. Nanti malam ada Willow Smith. Saya sempat melihat dia di hotel, tapi tidak berani menyapa karena harus tetap bersikap profesional.”
Mobil membelah jantung kota, di mana hampir setiap tiang listrik dibalut poster promosi konser. Selain Willow Smith, penyanyi hip hop yang juga putri Will Smith, ada banyak pertunjukan pekan ini. Deep Purple dijadwalkan datang pada 11 September. Tiga hari berselang, ada Avril Lavigne, disusul oleh Incubus. “Sebenarnya saya belum pernah ke konser,” kata sopir saya lagi. “Hidup sekarang mencemaskan. Ada saja berita penembakan massal.”
Dengan predikat sentra industri yang makmur, Seattle senantiasa tertera dalam sirkuit konser. Warisan dari sejarah musiknya yang kaya, kota ini juga mengoleksi banyak gedung pertunjukan, mulai dari Paramount Theatre yang gigantik, hingga Neumos yang modern. Tapi pernah ada masa ketika Seattle tak cuma didatangi musisi, melainkan juga mencetak musisi. Dulu, banyak nama besar di belantika musik membangun reputasinya dari sini. Premis yang berlaku saat itu: nada yang diracik di Seattle tidak mendekam di Seattle.
Menengok sejarah, kisah harum itu bermula dari jazz. Paruh pertama abad ke-20, jazz adalah suara yang dominan di Seattle, dan sumber utamanya ialah seutas jalan bernama Jackson Street. Pada kurun 1937-1951, jalan ini dihuni lebih dari 30 kelab malam. Di sinilah publik pernah menyaksikan kepiawaian Duke Ellington dan Louis Armstrong. Di sini pula Ray Charles bertemu Quincy Jones, bakat genius yang kemudian menyabet 28 Grammy Awards.
Dalam buku Jackson Street After Hours: The Roots of Jazz in Seattle, Paul de Barros berargumen pertumbuhan jazz di Seattle tak lepas dari melambungnya magnet kota ini sebagai tanah rantau. Ribuan orang bermigrasi ke sini demi berburu pekerjaan di pabrik kayu dan galangan. Kelab jazz lahir dari balik geliat itu. Kaum buruh butuh tempat hiburan, dan tempat hiburan butuh musisi.
Seattle berkontribusi besar dalam memperkaya khazanah jazz, tapi jazz tidaklah diciptakan di sini. Memasuki paruh kedua abad ke-20, Seattle memutuskan menciptakan musiknya sendiri—sebuah revolusi yang dimulai dari “garasi.” Pada 1950-an, sebuah aliran absurd “garage rock” bersemai di Seattle. Tidak jelas siapa penemunya. Dalam buku Grunge Is Dead: The Oral History of Seattle Rock Music, Greg Prato mengklaim akarnya ialah The Sonics dan The Lewd. Terlepas dari debat sejarah, garage rock kemudian membuka jalan bagi kemunculan aliran orisinal Seattle yang kerap dirangkum dengan terminologi “grunge.”
Grunge, sebuah fusi antara melodi kelam heavy metal dan pemberontakan liar punk, mengusung lirik yang suram, nihilistik, dan depresif, karena itu sempat dijuluki “pain rock.” Banyak musisinya ialah remaja dari keluarga berantakan, rajin bolos sekolah, kadang berkubang heroin. Diukur dari standar moral yang muluk, grunge adalah musik yang salah dari orang yang salah. Tapi penggemarnya banyak.
Tonggak pertamanya ialah album kompilasi Sub Pop 200 keluaran label lokal Sub Pop Records pada 1988. Isinya antara lain Nirvana, Soundgarden, dan Mudhoney. Album ini meledak, dan musisinya terpantau radar major label. Awalnya, Soundgarden meneken kontrak, menggelar tur, membawa grunge merembes keluar tanah kelahirannya, menciptakan ribuan mualaf grunge sepanjang jalan. Setelah itu, giliran Nirvana. Albumnya, Nevermind, dalam tempo singkat menggeser Dangerous milik Michael Jackson dari puncak Top Albums Billboard. Dunia pun terperanjat. Remaja kumal dari kota kecil mampu melengserkan sang Raja Pop dari singgasananya.
Lewat grunge, Seattle mengguncang jagat musik, bahkan bertengger di pusat semestanya. Sejak itu, keduanya tak terpisahkan: Seattle adalah grunge, begitu pula sebaliknya. Pada 1992, majalah Rolling Stone menjulukinya “the new Liverpool,” sebuah isyarat betapa Nirvana dan kawan-kawan sudah menyamai popularitas The Beatles. Seattle bukan semata kota kopi atau pabrik pesawat. Ini ibu kota rok!
Pada 2011, kritikus musik Dave Whitaker mengkaji apakah, “grunge merupakan revolusi musik terakhir dari Amerika.” Pasalnya, dia melihat generasi pasca-grunge tidak menawarkan aliran orisinal yang mengubah skena musik secara radikal. Lalu kenapa demam grunge tidak berlanjut di Seattle? Ada banyak versi jawabannya. Konon, daya magis grunge luntur setelah musik ini masuk arus utama industri. Gaya hidup musisinya terus dikuliti wartawan gosip. Penampilan mereka, yang sejatinya memenuhi stereotip begundal, menjadi tren. Rambut kusut dan kemeja flannel menghiasi majalah glossy. Pada 1992, Marc Jacobs menuangkan gaya itu lewat koleksinya, hingga memberinya julukan “guru of grunge.” Di tahun yang sama, Hollywood melansir film grunge romantis, Singles.
Awalnya nada misterius dari kota pabrik, grunge berubah jadi subkultur, lalu mass culture. Semua itu memicu rasa jengah dari banyak orang. Di tanah asalnya sendiri, grunge seperti kata kotor yang hendak dibuang jauh-jauh. Banyak musisi setempat tak mau menyebut diri mereka, dan tidak sudi disebut, sebagai grunge. Bagi mereka, grunge merujuk pada sebuah era, bukan aliran, dan era itu sudah lewat. Grunge sudah mati!
Selain reaksi negatif itu, ada alasan “sosiologis” kenapa demam grunge sulit berlanjut. Dalam kolomnya di The Quietus pada 2011, produser John Calvert mengklaim problemnya terletak pada “momentum.” Krisis ekonomi, depresi remaja, dan kondisi khas Seattle era 90-an sudah lama lewat. Terlebih, para remaja Seattle saat itu tak semata menuangkan emosi batin dan rasa sakit. Mereka juga lihai meracik kegelisahan jadi nada yang membius telinga.
Apa pun teorinya, grunge sepertinya tak cuma menjadi revolusi musik terakhir di Amerika, tapi juga sumbangan besar terakhir Seattle bagi belantika musik dunia. Selepas era grunge, “Seattle Sound” meredup. Musik masih berbunyi di sini, tapi nada orisinal kota ini tak lagi bertaji. Penyebabnya beragam, tapi seperti yang saya temukan kemudian, ada satu kesimpulan yang menonjol: skena musik Seattle menjadi korban dari kemajuan kota ini sendiri. tapi seperti yang saya temukan kemudian, ada satu kesimpulan yang menonjol: skena musik Seattle menjadi korban dari kemajuan kota ini sendiri.
Sabtu malam, Jackson Street riuh oleh alunan musik. Jazz Walk, festival jazz tahunan, menanggap pertunjukan di tujuh titik sekaligus, mulai dari bar remang hingga kelab dansa yang benderang. Suara saksofon, bass, dan drum tumpah ke jalan, saling membajak nada, menyelinap di antara rintik hujan di awal musim gugur.
Di Wonder Bar, Lonnie Williams tampil semangat melewati jatah waktunya, larut menghibur penonton yang sepertinya juga belum ikhlas pulang. Berpindah ke studio Salsa N’ Seattle, Adriana Giordano Quarteto membawakan nomor-nomor Latin yang sensual. Belasan pengunjung berdiri membentuk lingkaran, bergoyang menghangatkan malam dingin tanpa bintang. “Semua musisi ini tidak dibayar,” jelas Maurice James, relawan Jazz Walk. “Mereka datang murni karena ingin tampil. Jackson Street adalah jalur jazz yang bersejarah.”
Jazz Walk adalah contoh kolaborasi lokal yang berikhtiar memelihara denyut musik Seattle. Dan ia tidak sendirian. Ada misalnya The Vera Project, lembaga pendidikan partikelir yang menawarkan beragam pelatihan musik bagi remaja, mulai dari kelas merekam lagu hingga tata cahaya panggung. Inisiatif lainnya ialah kompetisi band remaja Sound Off garapan Museum of Pop Culture (MoPOP).
Beragam terobosan itu beriktikad merawat musik sebagai bagian integral dari kehidupan kontemporer Seattle, bukan semata aset sejarahnya. Tapi tantangan kota saat ini mungkin terlampau kompleks untuk dijawab oleh para pelaku musik semata. Seattle sekarang ialah kota bagur yang dihuni korporasi kaya dan generasi geek. Banjir uang dari mereka mengakibatkan ongkos hidup kian mahal. Seiring itu, karier sebagai musisi terlihat sebagai pilihan yang kian tak menjanjikan.
“Ini perkembangan yang mengkhawatir kan,” kata Jacob McMurray, musisi merangkap kurator musik, yang pernah menangani pameran Nirvana dan Pearl Jam di MoPOP. “Akibat biaya hidup yang kian mahal, banyak musisi hengkang ke kota lain.”
Jacob, yang juga menulis buku Taking Punk to the Masses: From Nowhere to Nevermind, melihat Seattle seperti terlampau larut mengejar masa depan. “Seattle sedang berubah menjadi kota besar, mungkin akan seperti San Francisco,” katanya lagi. “Tapi apalah artinya sebuah kota tanpa seni dan musik?”
Upah minimum di Seattle $15 per jam, terbilang tinggi untuk standar Amerika. Tapi standar itu terus beradu cepat dengan biaya hidup. Tarif sewa apartemen di pusat kota ratarata $3.000 per bulan. Harga makanan berkisar $15 per porsi, sementara bir $7-9, kelewat mahal untuk kota yang membanggakan predikatnya sebagai pusat brewery.
Banyak orang menuding perusahaan teknologi sebagai biang keladinya. “Amazon telah mengambil alih kota ini,” begitu jawaban yang lazim saya dengar dari warga. (Penting dicatat: banyak orang memakai kata “Amazon” untuk merangkum semua perusahaan teknologi di Seattle). Jantung kota Seattle, di mana trio kubah Amazon berdiri mentereng, telah menyerupai Silicon Valley. Kaum geek berkeliaran. Tesla dan Prius berseliweran. Apartemen bonafide bermunculan, sebuah fenomena yang turut menciptakan gentrifikasi. Agustus 2019, The Guardian menulis populasi tunawisma di Seattle merupakan yang terbesar ketiga di Amerika setelah New York dan Los Angeles. Rapor yang menohok untuk kota yang dihuni korporasi milik orang terkaya sejagat.
Skyler Locatelli, pendiri indie label lokal Freakout Records, mencoba membaca peta masalahnya lebih berimbang. Dia sepakat kehadiran raksasa teknologi berkontribusi pada meroketnya biaya hidup, tapi yang lebih jadi soal ialah minimnya kontribusi mereka bagi dunia seni setempat. “Amazon tidak mau mengurusi skena musik lokal, dan ribuan pekerja teknologi yang pindah ke Seattle sangat jarang terkoneksi, atau bahkan tidak mengenal, komunitas musik lokal,” jelasnya.
Kendati begitu, Skyler juga merasa “Seattle Sound” masih berbunyi. Di tengah problem tekanan biaya dan gelombang eksodus musisi, konser-konser rutin digelar. Freakout Festival misalnya, memperlihatkan grafik yang positif dalam hal jumlah penonton: hampir 2.000 orang di 2018, naik 80 persen dari tahun sebelumnya. Walau tak lagi merajai tangga lagu, musisi lokal masih giat bergerilya. Reignwolf baru menuntaskan tur bersama The Who, sementara Thunderpussy meneken kontrak dengan Stardog Records. Di cabang elektronik, Seattle bersinar lewat Odesza dan Macklemore.
Argumen senada datang dari Tony Kiewel, Co-President Sub Pop Records. Menurutnya, meroketnya biaya membuat hidup musisi lebih berat, tapi tidak lantas membunuh musik di kota ini. Alasannya, Seattle masih memelihara ekosistem yang lengkap. “Seattle punya lebih banyak label dan studio rekaman dibandingkan kota-kota lain seukuran di Amerika,” jelas Tony. Dia juga menyebut stasiun radio KEXP sebagai aset berharga kota. Lewat studionya, grup-grup lokal mampu menjangkau khalayak global. “Jika musik bisa hidup di kota yang jauh lebih besar dan mahal seperti New York dan London, ada banyak alasan untuk percaya Seattle bisa keluar dari situasi sulit ini.”
Kata Tony, satu hal yang perlu dipahami dari skena musik kontemporer di Seattle ialah alirannya yang variatif. Rok bukan lagi suara yang dominan, sebab lanskapnya memang tak lagi menunjang. “Ini kota mahal yang dihuni banyak apartemen. Susah memproduksi musik rok jika tidak punya garasi. Apartemen lebih pas untuk hip hop—sesuatu yang bisa diracik sendiri dengan alat yang lebih simpel,” jelasnya.
Diserbu remaja Silicon Valley, Seattle barangkali masih “smells like teen spirit,” tapi aromanya kini lebih jinak. Nada suram dan kemeja flannel sudah ditanggalkan. Lirik-lirik depresi tak lagi dominan.
PANDUAN
Rute
Ada banyak maskapai melayani rute ke Seattle. Untuk durasi tercepat, Singapore Airlines (singaporeair.com) memiliki penerbangan nonstop Singapura-Seattle dengan frekuensi empat kali per pekan: Selasa, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Rute yang diluncurkan pada 3 September 2019 ini dilayani dengan armada A350-900.
Penginapan
Untuk pengalaman musik yang berkesan, Hotel Max (hotelmaxseattle.com) menaungi beberapa kamar dengan dekorasi bertema Sub Pop Records, label ikonis Seattle. Opsi lainnya, The Edgewater Hotel (edgewaterhotel.com) merayakan sejarah musik dan mantan tamunya lewat kamar bertema The Beatles dan Pearl Jam.
Informasi
Paket Rock & Roll Sightseeing Tour dari Stalking Seattle (stalkingseattletours.blogspot.com) menawarkan tur sejarah rok. Tur tiga jam ini dimulai dari pelataran Museum of Pop Culture (mopop.org), institusi yang memajang ribuan memorabilia musik. Konser bisa dinikmati di Neumos (neumos.com), Paramount Theatre (stgpresents.org), The Showbox (showboxpresents.com), dan The Crocodile (thecrocodile.com). Untuk suvenir bertema musik, label Sub Pop (subpop.com) memiliki toko di Bandara Tacoma. Untuk informasi wisata lainnya, kunjungi Visit Seattle (visitseattle.org).
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2020 (“Suara Seattle”)