by Yohanes Sandy 30 October, 2015
Surga di Kaki Myanmar
Dalam perjalanan ke Desa Ma Kyone Galet, deretan rumah panggung reyot tampak berbaris di pesisir Pulau Bo Cho. Sebuah pagoda berdiri di sisi kiri desa, di bawah jalur rimbun menuju stupa emas. Di pagi kedua ini, Meta IV melepas jangkar dan penumpang bersiap menyambangi desa warga Moken. Saat kami hendak beranjak, AK menyarankan kami membawa sepatu. “Sampah ada di mana-mana. Maklum, ini daerah terpencil,” ujarnya. “Hati-hati saat berjalan-jalan di pantai.”
Peringatannya beralasan. Pecahan beling berserakan di pantai. Kami melangkah tertatih, lalu meniti jalan berpasir seraya membagikan camilan ke anak-anak, serta mengamati orang lokal yang sibuk mengamati kami. Dalam naungan rumah-rumah panggung, kaum perempuan dan anak-anak berteduh seraya menikmati embusan angin sejuk.
Hujan turun tiba-tiba dan kami beringsut ke sebuah kafe sederhana yang sedang menayangkan pertandingan sepak bola di negeri yang jauh. Orang-orang menyambut ramah, termasuk seorang perawat yang bertugas di desa ini. Katanya, penyakit malaria dan kardiovaskular adalah dua kasus paling jamak yang ditanganinya. Ada juga kasus luka akibat serangan pisau, katanya, sembari mempertontonkan gerakan menyayat leher dan telinga.
Di sebuah sekolah, kami menghabiskan setengah jam bermain dan memotret bersama siswa-siswa pemalu yang murah senyum. Untuk menjangkau tempat ini, kami mesti menyeberangi jembatan yang melintang di atas sungai yang difungsikan sebagai tempat penampungan sampah.
Kata AK, dari ratusan orang yang mendiami Desa Ma Kyone Galet, hanya 80 orang yang beretnis Moken dan mereka terkonsentrasi di sisi timur pulau. Mengapa mereka bermukim di sana? Kata AK, lokasi tersebut menghadap teluk dan menawarkan perlindungan dari badai. Namun The New York Times punya versi cerita yang berbeda: Moken terpaksa memisahkan diri atas paksaan junta militer pada akhir 1990-an.
Reportase Times juga mengulas perkembangan pariwisata di Mergui. Salah satu narasumbernya adalah Jacques Ivanoff, seorang etnolog terpandang yang pernah menghabiskan puluhan tahun meneliti kebudayaan Moken.“Biarpun saya tidak sepenuhnya setuju, jika turis asing datang dengan sopan dan tidak meminta warga Moken mementaskan seremoni tradisional, mungkin akan lebih banyak orang yang peduli,” kata Ivanoff kepada Times.
Sebelum merintis Burma Boating, Schwanitz sepakat dengan argumen Ivanoff. “Selain mempelajari kebudayaan Moken, misi utama Ivanoff adalah menangkal datangnya pariwisata, karena dia yakin efeknya hanya akan merusak,” jelas Schwanitz. “Namun kini Ivanoff mulai menyadari bahwa pariwisata yang dikelola baik, yakni pariwisata yang melibatkan warga, bisa jadi satu-satunya solusi bagi masa depan Moken. Tanpa terobosan, Moken hanya akan sepenuhnya terpinggirkan oleh pembangunan dan bisnis penebangan kayu.” Solusi tersebut kini mulai ditempuh. LSM Italia Istituto Oikos mendukung ekowisata yang terkontrol guna melindungi Mergui dan para penghuninya.
Kian diterimanya pariwisata membuat saya merasa sedikit lega saat memasuki desa Moken, walau tetap saja saya sulit mengabaikan kesenjangan yang mencolok—antara kapal mengilat Meta IV dengan perahu butut milik warga. Untungnya, dalam kebudayaan Moken, konsep kepemilikan harta sepertinya tidak diakui. Bahasa lokal tidak mengenal kata “ingin” atau “milikku.” >>