by Ahmad Ridho Er Putra 19 March, 2018
Sentra Kain Pantai Tanpa Pantai
Oleh Ahmad Ridho Er Putra
Dari 16-19 Januari 2018, Indonesia berpartisipasi dalam Intermoda Expo 2018, sebuah pameran busana berskala internasional yang digelar di kota Guadalajara, Meksiko. Di antara kriya yang dibawa kontingen Indonesia terdapat kain pantai buatan Kecamatan Mojolaban.
Dibandingkan kain tenun Flores atau songket Palembang, kain pantai Mojolaban mungkin masih asing di telinga banyak orang. Kerajinan tekstil ini memang belum menjadi produk andalan ekspor Indonesia. Kendati demikian, popularitasnya mulai merangkak naik, bukan hanya kualitasnya, tapi juga proses produksinya yang memikat.
Mojolaban berjarak sekitar tujuh kilometer arah tenggara Solo. Kecamatan ini bersemayam belahan utara Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Mojolaban telah lama dikenal sebagai kawasan yang ulet dan produktif. Selain kain pantai, warganya menghasilkan gamelan, alkohol, dan batik kalengan.
Mojolaban menghasilkan rata-rata 2.000 meter kain pantai setiap harinya, kecuali di musim hujan ketika proses pengeringan berlangsung lebih lama hingga volume produksi pun menyusut. Di kalangan pelaku UKM, kain ini umumnya dibuat terbatas dan berukuran pendek. Sementara di pabrik-pabrik, kain berukuran panjang diproduksi dalam partai besar.
Kain pantai, kadang disebut kain jumput, dibuat dari proses yang cukup panjang: mewarnai, menyablon, mencuci, dan menjemur. Berkunjung ke Mojolaban, kita akan mendapati proses padat karya itu berlangsung di banyak desa. Lihat misalnya Desa Gadingan, sebuah permukiman di tepi Sungai Bengawan Solo, di mana hampir setiap rumah memiliki halaman untuk menjemur kain pantai.
Di rumah-rumah warga, proses produksi kain pantai masih didominasi metode manual, mulai dari pewarnaan hingga penjemuran. Di pabrik-pabrik, pekerjanya didominasi kaum pria. Tapi untuk proses pewarnaan dan penjemuran, wanita lebih berperan. Menurut para produsennya, kain pantai Mojolaban telah dipasarkan ke sejumlah daerah, di antaranya Yogyakarta dan Bali. Beberapa perusahaan berhasil menembus pasar ekspor.
Oleh pembeli dan pemborong, kain-kain tersebut lazimnya dipotong, lalu dikirim ke perusahaan-perusahaan untuk dijadikan bahan baku pembuatan busana dan celana. Khusus untuk sarung pantai, kain yang dipakai adalah rayon putih jenis janger dengan lebar antara 115-120 sentimeter dan panjang 170-200 sentimeter. Motif dan ukuran menentukan harga jualnya, umumnya antara Rp15.000-30.000 per potong.
Tidak jelas betul kapan sebenarnya Mojolaban merintis usaha kain pantai. Salah seorang pekerja mengatakan usaha ini telah eksis sejak 20 tahun silam. Yang jelas, banyak keluarga di Mojolaban bersandar pada usaha kain pantai.
Seiring naiknya pamor kain pantai, Mojolaban pun mulai bersinar sebagai destinasi wisata. Turis domestik dan mancanegara mulai berdatangan, tak cuma untuk berbelanja, tapi juga menonton proses produksi kain yang atraktif, terutama tahap penjemurannya. Di desa-desa produsen kain pantai, misalnya Gadingan, Wirun, dan Laban, warga membentangkan dan menjemur kain berwarna cerah di padang-padang rumput, hingga membuat Mojolaban terlihat sureal layaknya kanvas lukisan raksasa.
Warga menjemur kain pantai setelah diwarnai. proses penjemuran ini adalah tahap akhir agar warna melekat pada kainnya.
Ahmad Ridho Er Putra
Remaja kelahiran Jakarta ini menekuni fotografi saat di duduk bangku kuliah. Ahmad pernah mengikuti lokakarya Panna Mentorship 2017 yang diselenggarakan oleh Pannafoto Institute. Hobinya adalah berkelana sekaligus mengabadikan apa yang dilihatnya @dhoy_ridho.