by Wikana 05 March, 2018
Seni Berubah di Museum Macan
Teks oleh Wikana
Foto Toto Santiko Budi
Kanvas itu menampilkan hanya dua objek: penis merah yang tegak dan vagina hijau yang mengembang. Latar belakangnya: taburan huruf Arab pegon dan Jawa kuno.
Pada 1994, saat pertama kali dipamerkan di Oncor Studio, Jakarta, lukisan bertajuk Lingga-Yoni itu memicu “keresahan publik.” Sejumlah organisasi massa memintanya dicopot karena dianggap menghina agama. Sang perupa, Arahmaiani, menghadapi persekusi, hingga memilih kabur dari Ibu Kota, nomaden di sejumlah kota, kemudian menetap di Australia. “Karya tersebut lalu saya jual ke teman dari Thailand,” kenang Arahmaiani. Sejak itu, dia tak tahu lagi nasib karyanya.
Kini Lingga-Yoni bisa kembali disaksikan publik. Haryanto Adikoesoemo, seorang kolektor seni, berhasil membelinya dan membawanya pulang ke Jakarta. Bersama 800 karya pingitan lain yang dikumpulkannya selama 27 tahun, lukisan itu sekarang tersimpan di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Macan).
Memasuki ruang pamer yang didesain oleh MET Studio, pengunjung menyelami pergulatan seni rupa Indonesia yang bergerak senapas dengan seni rupa di belahan lain dunia. Lukisan kontroversial Arahmaiani berseling tiga lukisan dari mural buatan Jean-Michel Basquiat. Karya FX Harsono berhadapan dengan karya Ai Weiwei. Karya Raden Saleh bersisian dengan karya Miguel Covarrubias. Di Museum Macan, seniman Indonesia dan asing menempati “kasta” yang sama.
Museum Macan resmi membuka pintunya pada 4 November 2017. Dari segi ukuran, ini bukan museum seni terbesar di Indonesia. Tapi, melihat koleksinya, museum ini merupakan spesies baru yang sukses menggairahkan dunia seni Tanah Air sekaligus menyumbang aset baru bagi pariwisata Jakarta.
Asmudjo Jono Irianto, seniman dan kurator asal Bandung, mengaku terpukau oleh koleksi Museum Macan. “Saya sering melihat Murakami. Hanya belum pernah melihat seri ini,” ujarnya di hadapan Kaikai dan Kiki buatan Takashi Murakami asal Jepang.
Asmudjo kemudian tercenung di hadapan Ascending karya Cai Guo-Qiang, seniman asal Tiongkok yang bermukim di Amerika. Memakai teknik ledakan bubuk mesiu, Cai menyajikan figur manusia dan tangga penuh efek terbakar pada kertas berukuran 400 x 600 sentimeter. “Saya juga baru lihat karya Cai Guo-Qiang,” kata Asmudjo lagi.
Museum Macan melakoni debutnya lewat pameran bertajuk “Seni Berubah. Dunia Berubah.” Menurut Jim Supangkat, pengamat seni rupa, pameran yang memajang 90 karya ini berhasil menggambarkan kekayaan koleksi museum. “Sebagian besar merupakan tokoh kunci dari sejumlah gerakan seni,” ujar Jim.
Dari skena seni rupa Indonesia, karya pelopor dan maestro almarhum mendominasi. Salah satu yang penting ialah lukisan seekor singa yang menyerang penunggang kuda dari Raden Saleh. Magnet kuat pameran lainnya adalah tiga potret diri seniman Lekra yang sempat menguasai wacana seni rupa: Trubus, Hendra Gunawan, dan Sudjojono. Hendra kala itu masih melukis wajahnya dengan warna-warna yang cenderung gelap—identitas karyanya sebelum dibui oleh Orde Baru. Sementara potret diri Trubus sangat impresionis, dengan pencahayaan yang sempurna. Perupa kiri yang hilang saat huru-hara 1965 ini terlihat begitu menguasai teknik melukis.
Selain menampilkan aliran realisme dari perupa didikan Yogyakarta, tim kurator juga mengeksplorasi kutub estetika seni rupa Indonesia yang lain: mazhab Bandung. Kita bisa menyaksikan antara lain karya-karya dari But Muchtar, Abdul Djalil Pirous, Ahmad Sadali, dan Srihadi Soedarsono.
Beralih ke presentasi “tikungan kontemporer,” Nyoman Masriadi mendapatkan tempat khusus. Sang perupa memang pernah mengguncang pasar seni ketika lukisannya yang bertajuk The Man From Bantul (The Final Round) terlelang seharga Rp10 miliar—rekor bagi perupa kontemporer Indonesia. Di Museum Macan, tiga lukisan parodi Masriadi dipajang: Juling, Sofa, dan Run Until You Burn.
“Seni Berubah. Dunia Berubah” agaknya juga bisa disebut pameran “pop art” terbaik di Indonesia. Tokoh-tokoh utamanya terwakili. Dari Eropa, ada Sigmar Polke dan Gerhard Richter. Dari Amerika, ada James Rosenquist dan Robert Rauschenberg. Jim, yang mengaku telah melihat koleksi Haryanto yang belum dipamerkan, mengaku terpukau usai mendapati karya Andy Warhol yang dibuat pada 1968, saat aliran pop art baru merekah di Amerika. “Terasa ada pertimbangan seni yang kuat dan kerajinan mengunjungi balai lelang,” ujarnya.
Selebriti Damien Hirst juga punya tempat spesial di museum. Karyanya, Phendimetrazine, terinspirasi dari simbol bulat kalibrasi di kemasan obat. Sayang, mungkin karena secara visual kurang menggigit secara instan, karya ini kerap dilewatkan oleh pengunjung. Seni konseptual ala Hirst agaknya perlu diberi keterangan tambahan oleh pihak kurator. Museum ini juga memajang karya trimatra dari berbagai genre, mulai dari karya Jeff Koons, John Chamberlain, Antony Gormley, hingga Juan Munoz. Lagi-lagi, karya penting mereka tak disertai anotasi yang memadai. Tak ada tulisan yang menjelaskan mengapa misalnya karya Gormley menjadi ikon di berbagai kota.
Di luar koleksinya yang impresif (dan luar biasa mahal), Museum Macan berhasil mengisi kekosongan: menjadi ruang seni yang aktif merengkuh publik. Program-programnya berorientasi pada khalayak umum.
Dalam First Sight, ajang pemanasan menjelang pembukaan museum, Museum Macan memperkenalkan dirinya ke publik lewat seni pertunjukan yang renyah. Aaron Seeto, Direktur Museum Macan, mengajak sejumlah seniman mementaskan kembali nomor-nomor monumental yang pernah dibawakan di sejumlah galeri atau museum di mancanegara.
FX Harsono kembali mempertontonkan Menulis di Tengah Hujan yang merefleksikan identitas warga keturunan. Mella Jaarsma melantaskan lagi Dogwalk yang mengkritisi gaya hidup urban. Juga ada karya 1990-an Arahmaiani, Handle without Care, yang tetap aktual mengingat tubrukan budaya memang kian mengeras saat ini. “Pertunjukan-pertunjukan ini menjadi salah satu fondasi seni kontemporer Indonesia,” ujar Aaron.
Lewat ajang perkenalan itu, Museum Macan tak hanya membuka lapisan pertama koleksi pingitan Haryanto, tapi juga memperlihatkan model pengelolaan museum yang profesional. Pengunjung mendaftar, lalu menerima kartu untuk membuka pintu museum. Setelahnya ada relawan yang mendampingi dan menerangkan karya di ruang pamer. “Saya kaget. Ternyata yang datang sebanyak ini,” ujar Haryanto, yang menghadiri First Sight.
FX Harsono, seniman kawakan Indonesia, menyambut baik sejumlah program yang digagas Museum Macan. “Ini yang selama ini alpa dilakukan oleh museum yang dikelola oleh negara maupun swasta di Jakarta,” jelasnya.
Galeri Nasional ataupun Museum Seni Rupa dan Keramik, dua museum yang dikelola pemerintah, sebenarnya memiliki koleksi yang menarik, tapi program garapannya konvensional, kaku, dan terasa abai pada publik. Di kedua lembaga itu, kurator bukankah orang yang mudah ditemui, karena mereka bekerja paruh waktu di lembaga lain. Alhasil, pengunjung hanya mendapati karya-karya yang digelar begitu saja tanpa kuratorial yang segar. Karya dari Gerakan Seni Rupa Baru misalnya, dihidangkan mentah di Galeri Nasional. Padahal, di National Gallery Singapore, tema serupa berhasil ditampilkan menggugah berkat penataan yang rapi dan bingkai wacana yang gemebyar.
Pengalaman yang menyenangkan dalam menikmati seni memang bisa didapatkan di museum partikelir seperti Akili Museum, Ciputra Artpreneur Museum, dan Art:1 New Museum. Sayang, museum-museum ini cenderung memamerkan koleksi sesuai selera sang pemilik. Selain itu, mereka tak memiliki program publik yang cukup ekstensif. “Hanya Art1 yang memiliki program bagi publik,” tambah Harsono.
Museum Macan juga memanjakan pengunjung belia. Di ruang khusus anak, tamu-tamu cilik dipandu memahami karya dengan cara yang menyenangkan. Mereka bisa bermain di instalasi Taman Apung buatan Entang Wiharso atau mencari tokoh dalam lukisan Raden Saleh. Yang juga menarik, mereka diminta melacak semut-semut yang berkeliaran di antara 13 bendera yang dibentuk dari pasir warna. Instalasi bio-kinetik yang memakai semut spesies khusus ini dipesan langsung dari Yukinori Yanagi.
Untuk program edukasinya, Museum Macan menempuh strategi jemput bola: menjalin kerja sama dengan sekolah. Sudah 37 sekolah di Jakarta yang dikunjunginya. Pada 7 November, 50 siswa SDN Kebon Jeruk 15 Pagi diundang untuk menikmati museum secara gratis. Program edukasi museum lainnya ialah membentuk Forum Pendidik yang bertujuan mengasah wawasan seni bagi 37 guru dari 26 sekolah. “Museum ini ingin memulai sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda,” ujar Fenessa Adikoesoemo, putri Haryanto.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2018 (“Dispatches-Art Report: Museum Berubah”).