by Cristian Rahadiansyah 04 August, 2017
Secangkir Cerita (Pahit) Kopi Bali
“Harga sebenarnya sudah membaik tahun ini,” jelas Pak Mudarsana, petani kopi di Desa Lembean.“Dulu harga gelondongan Rp7.500 per kilogram, tapi sekarang naik jadi Rp8.300. ”Bersama tiga rekannya, Pak Mudarsana mengekspor kopi ke Amerika dan Australia melalui perusahaan rekanan di Bandung. Di tengah demam berpaling ke jeruk, dia memilih bertahan dengan kopi.Memakai rumus ekonomi sederhana, berkurangnya pasokan seharusnya memberi Pak Mudarsana posisi tawar yang lebih tinggi, tapi pasar rupanya selalu menemukan celah untuk memastikan potongan kue profit tak bertambah ke hulu. Keberatan dengan naiknya harga, mitranya di Bandung menyunat kuota belanja, kemudian berpaling ke petani di daerah lain.
Kadang saya menganalogikan petani laksana anak tiri dalam sebuah novel yang ditulis oleh pemilik modal. Mereka bekerja paling keras, berkeringat paling deras, dan berpakaian paling kucel, tapi hidup mereka tetap saja paling rentan.Dalam kondisi seperti itu, masihkah bisnis kopi menjanjikan? “Kopi lebih minim risiko,” jawab Pak Mudarsana. “Paling tidak saya bisa untung Rp500-1.000 per kilogram. Kalau jeruk beda. Sekarang untung Rp2.000 per kilo, tahun depan rugi Rp4.000.”
Pak Mudarsana menyuguhkan secangkir kopi panas. “Ini grade dua,” ujarnya.“Kopi ini diminum sendiri. Kalau grade satu untuk ekspor dan grade tiga dijual ke warga.” Di depan saya, karung-karung green bean ditumpuk di gudang. Pak Mudarsana memilih menimbunnya seraya menanti pembeli. Berbeda dari jeruk yang lekas membusuk, kopi memang punya waktu untuk bersabar. “Daripada rugi mending saya simpan dulu,” katanya.
Menyusuri Jalan Penelokan, mobil saya seperti dibuntuti lukisan Mooi Indie: panorama lembah, gunung, dan danau. Di sini, setiap pagi, kabut bergerombol seperti kapas yang jatuh dari angkasa. Saban sore, awan melayang rendah dan tersangkut di dahan-dahan. Restoran dan hotel berbaris di Penelokan untuk menjajakan pemandangan elok tersebut.
Meminjam rumus pariwisata versi pemerintah, Kintamani punya segalanya untuk menjadi destinasi wisata: akses, atraksi, dan amenitas. Kini hanya ada satu hal yang perlu dilakukannya: mencari wisatawan.
Pariwisata di sini merekah pada awal 1990-an, ketika Gunung Batur aktif memuntahkan lahar.Hotel dan restoran marak berdiri di periode itu. Tapi kini kita tahu, pariwisata semacam itu tidaklah langgeng. Setelah Batur membisu, Kintamani pun kembali menjadi perkampungan mengantuk di mana kehidupan berakhir pukul delapan malam. Menyusuri Jalan Penelokan, banyak restoran dan penginapan telah terbengkalai.
Tapi Kintamani sebenarnya masih punya asa: kopi. Berkat kopi, Kintamani punya tempat khusus dalam peta dunia. Berkat kopi pula, kawasan ini menjelma menjadi sentra agrowisata di Bali. Suatu kali saya sempat ke Desa Landih di mana seorang petani kopi luwak sukses menyabet kursi di parlemen bermodalkan semboyan “sampunang bersatutain kambing; ngiring bersatu, tain lubak” (“jangan tercerai-berai seperti feses kambing; jadilah kotoran luwak yang bersatu-padu”).
“Saya berniat mengembangkan kopi lagi,” ujar Nyoman Sudara, petani kopi yang mengelola restoran di Penelokan. Pak Nyoman, seperti banyak tetangganya, adalah korban “jebakan pariwisata. ”Tergoda janji muluk biro perjalanan untuk membawa banyak turis, dia mendirikan restoran megah berkapasitas puluhan tamu. Puluhan tamu yang kini tak lagi datang. Tapi dengan kopi, dia kini berniat membalik takdir. Mengandalkan kebun leluhur di kaki restorannya, Pak Nyoman memproduksi kopi giling dengan merek Dewata Coffee. “Saya peminum kopi.Orang tua saya juga petani kopi,” ujar Pak Nyoman tentang alasannya kembali melirik kopi.
Kata-katanya terdengar seperti nostalgia, tapi barangkali memang romantisme semacam itu yang dibutuhkan kopi Kintamani untuk bertahan. Saat harga rentan berubah dan pasar tak selalu ramah, emas hitam Bali ini hanya bisa bersandar pada kesetiaan dan harapan dari orang-orang yang lahir dan tumbuh di sekitarnya: warga Kintamani.
Saya kembali ke mobil dan kembali menyusuri jalan.Di Pasar Kayuambua, saya mampir di sebuah warung reyot untuk memesan kopi. Duduk menyempil di antara para kuli angkut dan sopir, saya mengamati seisi warung. Di terasnya, iklan kopi instan melintang.Di dapurnya, kopi saset aneka merek bergelayutan seperti jemuran. Entah siapa yang membelinya. Menawarkan kopi cepat saji ke warga Kintamani, pikir saya, mungkin ibarat menjual kipas angin ke orang yang sudah memiliki AC.
“Ini kopi asli Kintamani, tidak dicampur jagung,” ujar pemilik warung sembari menghidangkan secangkir kopi panas. “Kintamani terkenal sebagai penghasil kopi.
Rute
Kecamatan Kintamani terletak di Kabupaten Bangli, dataran tinggi di belahan utara Bali. Dari bandara, Anda bisa menjangkaunya dengan berkendara sejauh 70 kilometer melalui kawasan Ubud dan Tegalalang.
Penginapan
Kintamani mengoleksi hotel independen yang dikelola oleh warga lokal dan mayoritas berlokasi di Jalan Penelokan. Tiga hotel yang layak dipertimbangkan adalah The Ayu Kintamani (Jl. Puri Bening; 0366/522-22; theayu.com; mulai dari Rp3.000.000 untuk vila), Batur Mountain View (Jl. Culali; 0831-1452-3603; baturmountainview.com; mulai dari Rp500.000); dan Amerta Sari (Jl. Windu Sara, Penelokan; 0366/ 524-67; amertasari hotelbali.com; mulai dari Rp500.000).
Aktivitas
Menyaksikan (dan mendaki) Gunung Batur adalah alasan banyak turis berkunjung ke Kintamani. Aktivitas ini bisa digabungkan dengan tur ke Desa Trunyan dengan menaiki perahu. Gunung Batur dan area di sekitarnya telah ditetapkan sebagai Geopark (baturglobalgeopark.com). Kopi Kintamani disajikan banyak kedai, tapi mencicipinya ini di tanah kelahirannya menjanjikan sensasi berbeda. Empat desa penghasil kopi di sini adalah
Landih, Belantih, Catur, dan Lembean. Opsi lain untuk mencicipi kopi lokal adalah pusat agrowisata, salah satunya Bas (basagrotourism.com). Selain kopi, “produk” terkenal daerah ini adalah anjing Kintamani, dan tempat terbaik untuk melihatnya adalah Banjar Paketan di Desa Sukwana, markas kelompok pencinta anjing Sari Kembang. Bagi pencinta kuliner, cicipi menu ikonis ikan mujair asal Danau Batur yang disajikan dengan sup undis (kedelai hitam).
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2017 (“Secangkir Cerita”).