web analytics
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Secangkir Cerita (Pahit) Kopi Bali

Seorang buruh tani sedang memetik buah kopi arabica Kintamani.

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Johannes P. Christo

Ini kopi Kintamani,” jelas I Ketut Jati sembari menggenggam biji-biji kopi dari kebunnya.“Di luar ini, namanya kopi Bali.”

Udara sejuk berkesiur di Kintamani. Ladang-ladang mengukir lereng dan membungkam lembah dalam warna hijau. Di kejauhan, gunung-gunung menjulang perkasa, memperlihatkan guratan-guratan luka dari letusan di masa silam. Di alam elok yang menyimpan bencana inilah emas hitam Bali dihasilkan.

Kiri-kanan: Biji-biji kopi di pabrik Kelompok Subak Abian Tri Guna Karya di Desa Catur; I Ketut Jati, petani di Desa Catur.

Layaknya seorang barista, Pak Jati menuangkan biji-biji ke mesin, lalu menyeduh cairan hitam ke tabung French press. Di pabriknya, aroma harum kafein mengepul, bercampur dengan asap pedas keretek dari mulut para pekerja. “Ini namanya specialty coffee,” jelasnya seraya menyodorkan secangkir kopi. “Rasanya sedikit asam, khas Kintamani.”

Kintamani, sebuah kecamatan di Kabupaten Bangli, bersemayam di tepi kaldera purba yang terbentuk jauh sebelum manusia mengenal French press. Tempat ini dikangkangi gunung, digerayangi awan, dikepung dingin. Tak ada malam yang bisa dilewati tanpa meringkuk di balik selimut. “Kintamani berasal dari kata Cinta Mani,” ujar seorang pria lokal. “Udaranya dingin, jadi orang gemar bercinta.”

Sebenarnya tak cuma bercinta, tapi juga bertani. Gunung-gunung di sini dulu memuntahkan bencana, tapi kemudian meninggalkan karunia: tanah yang subur. Di banyak lereng dan lembah, warga menumbuhkan beragam buah dan sayur. Berhubung air tanah terlalu dalam untuk digapai pipa, mereka memakai sistem subak abian, yakni pertanian tanah kering yang mengandalkan hujan. Dengan sistem ini pula pohon kopi ditumbuhkan.

Di Desa Catur, musim panen tengah memasuki hari-hari terakhirnya dan pabrik Pak Jati terlihat seperti lautan kopi. Berulang kali saya terpaksa menginjak-injak biji karena tak tersisa tempat untuk berjalan. Usai dijemur, semua biji diolah, dipilah dan dipilih, dikarungkan dan dicap, kemudian dikapalkan ke Korea, Jepang, Taiwan, juga tentu saja, kedai-kedai di Indonesia.

Kiri-kanan: Seniman, kedai kopi yang beroperasi sejak 2010 di Ubud; Ivan, barista kedai Sensa, meracik kopi Kintamani dengan metode siphon.

“Pak Jati mau belajar, mau memahami ekspektasi kami, misalnya dalam hal proses fermentasi,” ujar I Kadek Edi, grader utusan kedai Seniman di Ubud, yang saya temui di pabrik milik Pak Jati. Saban bulannya, Seniman membeli 400-600 kilogram kopi dari tempat ini.“Mencari petani yang bisa menuruti permintaan grader tidak mudah,” kata Edi lagi.

Sebelum sampai ke tangan grader, kopi Kintamani mesti menempuh perjalanan panjang. Usai dipanen, bulir-bulir kopi merah yang disebut ceri itu dikuliti, dijemur, dicuci, difermentasi, lalu disortir secara manual. Sebuah proses padat karya yang menguras stamina. Di etape berikutnya, para pekerja menyeleksi biji-biji dengan saksama, memelototinya seperti seorang peneliti, berupaya melacak green bean berkualitas terbaik: specialty coffee. Di balik setiap teguk kopi sejatinya tersimpan jutaan tetesan keringat para petani.

Uniknya, para petani justru tidak meminum kopi kelas wahid dari kebun mereka sendiri. “Warga di sini tidak suka specialty coffee. Buat mereka, kopi harus pahit,” ujar Pak Jati sambil memperlihatkan biji-biji yang tidak lolos seleksi yang dijulukinya “kopi sisa ekspor. ”Olehnya, kopi kasta rendah ini tidak dibuang, melainkan dijual. “Hotel-hotel mau beli,” ujarnya. “Kopi yang mereka sajikan saat sarapan itu grade tiga, ha ha ha… Namanya kopi jitu: kopinya siji, jagungnya tilu.”

Kiri-kanan: Kopi Kintamani single origin yang disajikan di Sensa; bulir kopi merah yang masih berkulit.

Pak Jati adalah contoh sukses, seorang teladan di desanya. Pabriknya rutin disatroni grader. Akan tetapi, seperti kopi yang selalu menyimpan pahit, kehidupan petani kopi tak pernah luput dari pilu. Di luar Desa Catur, ribuan pohon kopi telah raib dan banyak ladang beralih fungsi. Saya datang saat kopi Kintamani berada di persimpangan jalan.

Kopi Kintamani sedang menikmati reputasi harum, seharum aromanya. Kopi spesies arabika ini tengah jadi idaman turis. Menyeruputnya adalah bagian integral dalam pengalaman kuliner di Bali, sebagaimana menyantap nasi campur atau ayam betutu.

Lihat saja bagaimana kedai-kedai menawarkannya. Di kedai Seniman, kopi Kintamani dihidangkan dalam cangkir porselen bersama sepotong jajanan pasar. Di kedai Sensa di Kuta, sebungkus kopi Kintamani dibanderol Rp96.000 per 250 gram. Sementara di Kopi Kami, kedai mungil di Denpasar, minuman ikonis Bali ini diperlakukan layaknya wine yang seyogianya diseruput tanpa gula.

Kedai-kedai itu turut andil dalam melambungkan pamor kopi Kintamani. Di sana, kopi-kopi yang dipetik para ibu berbaju kumal seakan memiliki kasta yang luhur. Kita tak cuma diundang untuk meminumnya, tapi juga memahaminya. Dunia merangkum mereka dengan istilah “third wave coffee movement,” sebuah gerakan puritan yang beriktikad membentuk budaya ngopi yang cerdas.

Kiri-kanan: Interior kedai Sensa di Kuta; Kesuma, pendiri Bas.

Third wave, yang dicetuskan pada 2002, adalah sebuah negasi terhadap industrialisasi kopi yang dimotori oleh raksasa waralaba semacam Starbucks. Kedai-kedai beraliran thirdwave umumnya bergerak independen dan membeli kopi langsung dari petani, hingga membuka pintu bagi transfer teknologi. Pak Jati memetik banyak manfaat dari tren itu, tapi ia sebenarnya sosok yang langka. Dalam empat tahun belakangan, kopi Kintamani sedang gundah. Penikmatnya bertambah, tapi petaninya justru menyusut. Apa yang salah?

“Sekarang pohon kopi tinggal sedikit,” ujar I Wayan Suartika di Dusun Manikliyu, sisi barat Kintamani. Pada 1980-an, dia memproduksi dua hingga tiga ton kopi per tahun memakai sistem tumpang sari: menanam pohon kopi di sela-sela lamtoro gung. Sayangnya, selepas 2010, harga kopi lokal melorot, bahkan sempat terjerembap ke level kritis pada 2012. “Setelah harga kopi jatuh, banyak pohon dibabat.”

Kiri-kanan: I Wayan Suartika, Kepala Dusun Manikliyu; karung-karung kopi milik Kelompok Tani Subak Abian Tri Guna Karya yang siap diekspor.

Demi bertahan hidup, Pak Wayan dan banyak tetangganya mengambil jurus darurat: berpaling ke jeruk. Dari tiap hektare kebun jeruk, dia bisa meraup sekitar Rp100 juta per tahun, jauh lebih menguntungkan ketimbang kopi yang cuma menghasilkan Rp30 juta.

“Masyarakat di sini sebenarnya bangga dengan kopi daerahnya, tapi biaya hidup kini lebih mahal,” lanjut Pak Wayan, pria berumur 50 tahun dengan tato Laskar Bali yang telah memudar di tangannya.

Indonesia merupakan eksportir kopi terbesar keempat di dunia, dan Kintamani adalah simpul penting dalam statistik itu. Sekitar 80 persen areal kopi di Bali bersemayam di kawasan ini. Karena itulah pertanian kopi di Kintamani terlalu berbahaya untuk kolaps, terlebih bagi Kabupaten Bangli. Sebagai satusatunya kabupaten di Bali yang tidak memiliki pantai, Bangli sangat mengandalkan hasil buminya guna memasok kas daerah.

Semenjak banyak pohon kopi ditebang, produksi kopi Bali menyusut ajek. Banyak petani yang saya temui umumnya tak tahu persis pangkal masalahnya.Sebagian orang menyalahkan fluktuasi dolar. Sebagian yang lain menunjuk hidung pemerintah dan tengkulak. Sepanjang sejarahnya, nasib petani memang selalu ditentukan oleh tangan-tangan tak terlihat yang mengontrol pergerakan harga.

Menaiki mobil, saya menjelajahi sudut-sudut Kintamani. Seperti karakter Ben dalam Filosofi Kopi, saya berburu kopi dengan merandai jalan-jalan cupet yang penuh tikungan di bibir lembah, kadang berhenti untuk bertanya arah menuju kebun kopi. Akan tetapi, berbeda dari Ben, saya tidak berambisi menemukan kopi terlezat, melainkan berniat mencari tahuapa yang sepatutnya kita pahami di balik kelezatan tiap cangkir kopi Kintamani.

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5