by Fatris MF 30 June, 2014
Sawahlunto Usai Kejayaan Batu Bara
Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli
Sirene berdengung dari menara kantor perusahaan tambang terbesar di Sumatera pada abad lalu. Jam tua di puncak menara menunjukkan pukul 13, waktu istirahat bagi para pekerja, yang jumlahnya kini cuma seratusan orang dari beribu-ribu banyaknya dulu. Lantunan panjang sirene juga berpendar ke seantero kota, menjalar ke pucuk-pucuk pinus di perbukitan, seperti hendak menjaga masa silam yang terkantuk-kantuk. Perbukitan berbaris dan mengepung sebuah kota kecil bentukan Belanda. Kota yang dulunya hanya hamparan sawah di tengah cekungan lembah yang dialiri Sungai Lunto.
Sudarma menekurkan kepala, seakan dengung sirene itu sebuah himne dari masa lalu yang datang mengusiknya. Perbincangan kami pun terhenti. Tidak berapa lama, azan zuhur dari menara masjid juga merambat. Masa lalu menghamburkan dirinya. Dulu, menara masjid itu adalah cerobong asap dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Listrik dari rahimnya menyirami Sawahlunto dengan cahaya. Setelah pembangkit pensiun, puncak cerobongnya disemati corong masjid raya.
Saya duduk bersama Sudarma di bangku lusuh toko kue Pek Sin Kek. Usia yang hampir 80 tahun bukanlah kendala bagi Sudarma untuk mengobrol berjam-jam. “Saya tidak akan bisa lari dari sini. Sawahlunto lebih dari kampung bagi saya. Istri saya lahir di sini, meninggal di sini, dimakamkan di sini. Saya menikahinya tanpa membawa apa-apa, sebagaimana adat di sini (adat matrilineal Minangkabau),” kenangnya.
Sudarma tinggal di rumah keluarga istrinya. Namanya rumah Pek Sin Kek, bangunan sepuh yang dilabeli cagar budaya oleh pemerintah. Pek Sin Kek, mertuanya, adalah saudagar Tiongkok yang datang untuk beternak sapi dan menjual susu ke meneer Belanda. Itu dulu, dulu sekali, ketika emas hitam masih dikeruk, ketika ribuan pekerja masih menggali batu dari lorong gelap.
Lebih dari satu abad Sawahlunto berlimpah kemewahan, bermandikan cahaya di tengah pedalaman Sumatera yang masih “purba.” Dari Cornell University, sebuah berkala terkenal, Indonesia, pernah menurunkan artikel bertema gaya hidup mewah di Sawahlunto. Dalam A Nederlander Woman’s Recollections of Colonial and Wartime Sumatra: From Sawahlunto to Bangkinang Internment Camp, Susan Rodgers menulis tentang kolam-kolam pemandian di Muaro Kalaban pada masa kolonial, mobil-mobil kaum kaya yang menyesaki jalan-jalan yang lapang, juga rumah-rumah tempat tuan-tuan Belanda menghibur diri. Keluarga Pek Sin Kek juga hidup dalam kemewahan itu. “Tak hanya orang Tionghoa. Orang Jawa, Sunda, Minang, semua penduduk hidup makmur di sini,” kenang Sudarma.
Namun, catatan tentang Sawahlunto yang multikultur tidak bermula dari kemewahan, melainkan dari rintihan para pesakitan, yakni orang-orang yang diangkut dan dipekerjakan secara paksa di lubang-lubang tambang. Dan jika ditarik lagi, kisah itu sebenarnya dibuka oleh dua insinyur Belanda.
C. de Groot menyusuri Singkarak pada pertengahan abad ke-19. Hampir dua dekade setelahnya, W. H. de Grave berakit di Sungai Ombilin, sungai di pinggiran Sawahlunto yang sekarang mengilap seperti emas. Hipotesis De Grave menggembirakan sekaligus mencengangkan: ratusan juta ton batu bara bersemayam di bumi Sawahlunto dan tidak akan habis ditambang selama berabad-abad. Keinginan mengeksploitasi timbul dari pemerintah kolonial Belanda, tapi memakai tenaga siapa?
Pada mulanya pekerja diangkut dari Penjara Muara Padang, bui kolonial yang menampung terpidana hukuman berat. Tapi kebutuhan akan pekerja tidak sebanding dengan jumlah tahanan di sana. Pemerintah Belanda kemudian mendatangkan narapidana dari sel Cipinang dan Glodok di Batavia. Beberapa yang dianggap berbahaya tangan dan kakinya dilingkari rantai besi. Pada 1896, lebih dari 1.000 kuli paksa dipekerjakan. Ahli sejarah menyebut mereka kettingganger atau “orang rantai.”
Hanya dalam beberapa dekade setelah itu, lorong-lorong galian tercipta. Mesin dan lori berdatangan. Rel kereta dibentangkan hingga Pelabuhan Emma Haven (Teluk Bayur) di barat Sumatera. Dari situ, entah ke mana barang tambang kemudian dikapalkan.
Dalam roman Sitti Nurbaya, Marah Rusli menggambarkan dengan sangat hidup sepotong kisah kedatangan para narapidana ke Sawahlunto. Di sebuah kapal di Teluk Bayur, tulisnya, ada seorang tahanan dengan tangan terikat rantai. Dengan wajah putus asa, pria itu melompat ke laut dan tenggelam. Syamsul Bahri, tokoh utama dalam roman karya Rusli, menyaksikan kejadian itu dengan jantung berdegup kencang. “Rupanya karena putus asa, lebih suka ia mati di dalam laut daripada menanggung kesengsaraan, kehinaan, dan malu. Kabarnya ia dipersalahkan membunuh orang, sebab itu dihukum buang dalam rantai 15 tahun lamanya ke Sawah Lunto,” tulis Marah Rusli mengutip kata-kata Syamsul Bahri.
Tapi pasokan pekerja itu tidak juga mencukupi. Lowongan kerja kemudian dibuka besar-besaran. Dengan sistem kontrak, para kuli diangkut dari Jawa, Bali, Madura, dan Sulawesi. Buruh Cina juga diimpor, sebagian melalui kongsi-kongsi tenaga kerja di Penang dan Singapura.
Di antara pekerja itu terdapat perempuan-perempuan yang berstatus penghibur, sebagai ronggeng atau penari tandak atau PSK tradisional. Ronggeng dan tandak dancer, tulis sejarawan Erwiza Erman, menghibur para penambang agar mereka betah menetap untuk jangka panjang. Para perempuan itu direkrut selama enam bulan pada suatu waktu, biasanya ketika kontrak kerja para kuli akan berakhir, sebagai “rayuan” agar para kuli sudi memperbarui kontraknya.
Sementara itu, dari Eropa berdatangan para ahli dan mandor—para tuan-tuan perusahaan tambang. Mereka membawa gaya hidup glamor Eropa ke pedalaman Minangkabau. Gala dan dansa digelar hampir saban pekan di gedung hiburan demi mengusir kejenuhan bekerja di medan-medan tambang.
Dalam kuali yang mempertemukan orang-orang dari berbagai kultur itu, Sawahlunto menciptakan stratifikasi kelas yang rasial. Ada para tuan, pialang, pedagang, hingga kelas paling rendah yang dihuni buruh. Di lembah aliran Sungai Lunto ini juga berkumpul hampir 11.000 pekerja dengan status yang berbeda-beda, baik sebagai pekerja paksa, kuli kontrak, ataupun buruh lepas. Dari retak tulang orang rantai, dari keringat asam para pekerja itulah Sawahlunto ada.
Dan Sawahlunto pun menjadi miniatur Indonesia yang plural. Kesadaran akan ke-Bhinneka-an tumbuh mempersatukan mereka: benih nasionalisme yang disemai oleh diskriminasi dan penindasan. Kesadaran itu juga yang barangkali menyulut api pemberontakan pada 1927 di Silungkang, nagari tua Minangkabau yang terletak di pinggiran Sawahlunto. Pembangkangan itu melibatkan orang-orang dari berbagai kultur. Beberapa pemimpinnya orang Minangkabau, Jawa, juga Batak. Para kuli sampai membunuh beberapa tuan Belanda dan menyerang Penjara Sawahlunto yang terkenal angker.
Tapi, dalam semangat perlawanan itu, perbedaan bukan cuma disisihkan, namun juga dilebur. Sebuah bahasa baru lahir. Sebuah produk pencampuran bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bali, Bugis, Batak, Cina, Minangkabau, Belanda, dan Melayu sebagai bahasa dasar. Bahasa Tansi, begitu bahasa baru itu disebut Elsa Putri ES dalam buku Menggali Bara, Menemu Bahasa. Bahasa Tansi lahir dari percakapan para kuli tambang. Kita masih bisa mendengarnya di Sawahlunto, menyembur fasih dari mulut-mulut warganya.
Setelah Indonesia merdeka, aktivitas tambang diteruskan. Pekerja ditambah, upah dinaikkan, perlakuan kasar dihapuskan. Di tengah pedalaman Sumatera yang purba, Sawahlunto tumbuh pesat dalam gemerlap. Di malam hari, tiap penjuru kota dimeriahkan pesta. Tiap awal bulan, gelanggangnya diramaikan pentas musik besar-besaran. Bahkan artis-artis kawakan ibu kota didatangkan. “Kami melihat langsung Bing Slamet bernyanyi,” kata Gusmarni mengenang masa remajanya di Sawahlunto.
Waktu berputar. Sawahlunto yang bahagia berubah muram. Pada 1995, pamor emas hitam mulai redup. Produksi batu bara Ombilin terus merosot. Ditambah lagi, harga komoditas itu anjlok di pasaran dunia. PT. Bukit Asam Unit Penambangan Ombilin terus merugi. Alhasil, PHK terjadi besar-besaran. Beberapa lokasi tambang ditutup.
Sawahlunto tak ubahnya kota mati dengan bangkai-bangkai besi penuh karat yang berserakan. Perekonomiannya nyaris lumpuh. “Tidak ada yang bisa diharap lagi. Di kota ini lebih banyak pedagang daripada pembeli,” Sudarma mengeluh di rumah cagar budaya Pek Sin Kek. “Pada saat itu, banyak yang stres, bahkan ada yang jatuh stroke,” tambah Kamsri Benty di Kampung Tansi Baru.
Kehidupan mewah terkikis oleh penyusutan tenaga kerja. Sawahlunto menjadi senyap, seperti saat didatangi dua insinyur Belanda pada abad ke-19 dulu. “Saya tak tahu kenapa saya menangis ketika melewati kota itu. Mungkin saya berlebihan. Kota yang dulu megah sekarang terasa menakutkan,” tambah Gusmarni mengenang lawatannya ke Sawalunto tiga bulan silam.
Saat reformasi pecah di Jakarta, beratus lubang-lubang tambang marak bermunculan—walau dalam skala kecil—di pinggiran Sawahlunto. Batu bara memang tidak pernah habis dikeruk dari kota ini, sesuai perkiraan dua abad silam. Tapi, kejayaan masa lalu tak seorang pun bisa mengembalikan.
Di awal abad ke-21, Sawahlunto menukar arah haluan: dari kota tambang yang menyerap buruh, menjadi kota wisata yang mengundang turis. Saya datang ke Sawahlunto di pengujung 2013 yang basah. Dari Kota Padang terentang jarak 115 kilometer yang melewati Pegunungan Sitinjau. Hutan berbaris di kanan-kiri. Kabut yang kerap turun menyamarkan pandangan.
Mobil acap berjalan bersisian dengan rel kereta yang membentang dari Teluk Bayur. Tak ubahnya bangkai sejarah, rel itu tidak lagi difungsikan.Saya lalu memasuki Solok, kabupaten yang menumbuhkan padi berharga selangit hingga penduduknya pun jarang makan hasil buminya sendiri. Mobil berjalan meliuk-liuk menyambut pagi yang murung, kadang terantuk rel.
Tak sampai dua jam, saya telah memasuki Silungkang, daerah kecil di pinggir Sawahlunto yang dicatat dengan tinta merah sebagai pusat pemberontakan kaum komunis. Orang-orang tambang pada masa itu pendukung komunis sejati, dan Silungkang adalah basis mereka. Di tempat ini pula tersebar pusat-pusat kerajinan yang terkenal hingga Eropa. Tenun lokal yang memiliki corak dan warna beragam seakan menggambarkan pluralitas masyarakatnya.
Dari Silungkang, mobil berbelok ke kiri di Lintas Sumatera. Hanya 10 menit berselang, Sawahlunto tampak dari jalan yang membelah perbukitan. Senyum Muhammad Yamin yang dipahat di tugu menyambut saya di persimpangan.
Lonceng gereja berdentang lambat, memecah sunyi pagi.Ini minggu kedua saya di sini. Koor rohani yang merdu terdengar lamat-lamat dari Gereja Santa Barbara di ujung pertokoan. Pada hari libur, detak jam bergerak pelan sekali di Sawahlunto. Sebelum matahari meninggi, kereta telah tiba di stasiun kota. Dengus gesekan roda besi mengeluarkan suara parau. Penumpang keluar dari gerbong dengan mata berbinar.
Tiap akhir pekan, kereta mendarat dengan membawa penumpang dari Solok. Di hari libur, sebagian besar pegawai kantor pemerintah mudik ke daerah asal di luar Sawahlunto. Tapi hari libur kali ini situasinya berbeda. Sawahlunto International Music Festival sedang bergulir. Pemusik dari Mali, Australia, Irlandia, dan Brasil ikut turba ke Sawahlunto. Dari pagi hingga sore, kota ini dipenuhi pergelaran, mulai dari kuda kepang hingga barongsai.
Di depan tiga buah silo, gudang batu bara setinggi 40 meter, saya duduk di bangku penonton sembari memejamkan mata, membiarkan angan dibawa lena alunan rebab grup Talago Buni dan lirih suara Irishwarpipes yang dipadukan akordeon pemusik Irlandia. Saya menghabiskan malam-malam dalam alunan musik yang memicu trans. Aly Keita dari Benua Hitam menabuh gendang-gendang kecil yang mengangkut nuansa gurun-gurun tandus Afrika. Saat embun dini hari mulai turun dan cuaca makin dingin, Tjupurru dari Negeri Kanguru melantunkan nada-nada absurd yang memabukkan. Orang-orang riang dalam pesta menyambut dini hari. Seperti inikah Sawahlunto di masa silam?
Dari Puncak Cemara, Sawahlunto terlihat jelas: rumah-rumah yang berjejer rapi, besi-besi raksasa yang menyangga lingkaran beton, pabrik-pabrik yang terbengkalai, juga pasar-pasar yang ramai. Di tempat saya berdiri ini, noni-noni Belanda dulu berselonjor melihat petang yang merekah dan langit yang jingga. Di bawah sana, para pekerja memindahkan berkilo-kilo batu bara, sedangkan lori dan sepur bolak-balik mengangkutnya.
Stasiun di kota ini telah disulap menjadi museum yang memajang foto-foto dan miniatur kereta api. Di sampingnya, sebuah gerbong dan lokomotif teronggok. Mak Itam namanya. Gerbong penyuplai bahan bakar yang menggerakkan mesin-mesin industri dunia ini lapuk digerogoti usia. Lima tahun silam, Mak Itam diangkut dari Ambarawa ke Sawahlunto, ke rumahnya, tempat ia dulu dioperasikan.
Puncak Poland adalah puncak tertinggi yang mengurung Sawahlunto. Di sinilah Arif dan beberapa rekannya akan melayang mengitari kota. “Di Indonesia, Sawahlunto satu-satunya lokasi paralayang yang terletak di atas kota,” kata Arif. Dia melayang-layang dengan parasut, mengangkangi gunung-gunung hijau, lalu mendarat di tengah kota.
Dari Puncak Poland, saya singgah di Paguyuban Seni. Di sebuah tubir bukit yang menghadap cekungan kota, anak-anak dan remaja tengah menari. “Kesenian Jawa tidak buat orang Jawa saja,” kata Surya yang sibuk membakar kemenyan. Di tengah tiupan angin bukit dan cahaya sore yang menembus asap kemenyan, tarian dipentaskan. Gamelan dan gendang ditabuh. Kembang beragam warna ditebar.
Tarian mereka menceritakan kesatria dan orang-orang sakti di tanah Jawa. Imajinasi saya melayang pada sosok Mbah Soero, tokoh sakti yang dulu dibawa dari Jawa untuk mengawasi para narapidana. Guna menghormatinya, sebuah lubang galian diberi nama Mbah Soero. Tapi tarian hari ini bukan untuk mengenangnya. “Ke jangan mode tu, wis tak kecek i, itu masa lalu kota kami, tak elok bila diingat lagi,” kata sesepuh Paguyuban Sapu Jagad dalam bahasa Indonesia setengah Tansi.
Saya pindah ke nagari lain di pinggir kota, menyusuri jalan yang dipenuhi spanduk warna-warni caleg dengan foto dan slogan yang tak kalah memabukkan. Di depan saya berdiri beberapa tetua Nagari Kubang, kampung kecil di lereng bukit. Pada malam dingin ini, mereka hendak menari. Saluang lalu ditiup. Alunan nada pentatonik dari bilah bambu terdengar sayup, bagai rintihan seorang ibu atas kematian anaknya di perantauan.
“Kesedihan hidup kami yang kami dagangkan,” kata seorang penyair. Mungkin bait sajak itu tepat untuk menggambarkan pertunjukan saluang. Para pendendang menyanyikan nomor-nomor sedih, tapi penonton menanggapinya dengan sorak-sorak. Memang, di Minangkabau, kesedihan tidak untuk ditangisi, melainkan dirayakan. Seolah-olah, kesedihan dan penderitaan hidup hanya dapat dilupakan dengan cara ditertawakan, ditepuk tangani.
Tak berapa lama, beberapa tetua kampung memasuki gelanggang. Gendang ditabuh, ditingkahi suara ketukan talempong dan alat tiup tanduk yang melengking-lengking. Mereka lalu melangkah pelan memasuki arena. Gerakannya penuh kehati-hatian, dengan piring di kedua tangan dan kepala setengah mendongak. Bisa ditebak, tarian ini mengungkapkan syukur pada dewa atas panen yang berlimpah. Dan panen memang berlimpah musim ini. “Tahun ini buah durian di kampung kami menjadi-jadi,” jawab Lia ketika saya tanya dari mana buah beralkohol itu diambil.
“Tapi, kenapa kau tak menari?” saya bertanya sekenanya. “Perempuan tidak menari di depan orang ramai,” ia berkata datar, sedatar tatapannya. Angin lembah berembus membawa dingin, mengibarkan ujung kerudung Lia. Sejak Islam masuk ke pedalaman Minangkabau dan Perang Padri berkobar pada abad ke-19, penari tidak lagi mempersembahkan gerakannya untuk memuja dewa, walau spiritnya masih terasa hingga kini.
“Datanglah besok siang, kau akan melihat bagaimana perempuan menari,” Lia berkata lebih datar dan pelan. Malam sudah cukup larut, tapi pesta belum memperlihatkan tanda akan rampung. Lia melirik saya sejenak, tersenyum kecil, kemudian berlalu meninggalkan saya dan randai tentang kasih tak sampai.
Saya terkurung kabut dan embun dini hari yang melata dari tubir perbukitan. Sawahlunto seperti ular yang sedang berganti kulit. Kulit lamanya adalah masa silam yang teronggok di mana-mana di kota ini; kulit barunya adalah warna-warni kehidupannya hari ini.
PANDUAN
Rute
Dari Bandara Minangkabau, Padang, butuh waktu tiga jam untuk mencapai Sawahlunto dengan taksi atau mobil sewaan yang mudah ditemukan di bandara. Penerbangan ke Padang dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dari Jakarta, Medan, dan Pekanbaru; Lion Air (lionair.co.id) dari Medan, Batam, dan Jakarta; serta Sriwijaya Air (sriwijayaair.co.id) dari Medan dan Jakarta.
Penginapan
Sawahlunto hanya memiliki dua hotel berbintang: Hotel Ombilin (Jl. M. Yamin, Pasar Remaja, LembahSegar; 0754/61184; doubles mulai dari Rp260.000) dan Hotel Parai (Jl. Bagindo Aziz Chan, Lembah Segar; 0754/62888; doubles mulai dari Rp484.000). Namun 53 buah homestay dengan total 116 kamar yang tersebar dari pusat kota hingga desa-desa layak dicoba. Sawahlunto pernah menjadi tuan rumah pertama ajang The International Homestay Promotional Fair dan ASEAN Workshop on Cultural Heritage Tourism. Dengan membayar tarif sekitar Rp300.000 per malam, kita bisa menginap di rumah penduduk, merasakan suasana kekeluargaan yang hangat dan servis yang ramah, serta menikmati fasilitas standar hotel.
Aktivitas
Berkat absennya pertukaran musim yang ekstrem, Sawahlunto bisa didatangi kapan saja. Pergelaran seperti Pacu Kuda dan Sawahlunto International Music Festival biasanya diadakan tiap Desember, namun tahun ini dinas pariwisata berencana menggelarnya di Agustus. Tak mudah tersesat ketika berjalan-jalan di kota kecil Sawahlunto. Dengan berjalan kaki, kita bisa menyusuri Lubang Mbah Soero, lubang tambang masa silam yang ratusan meter panjangnya, persis di bawah kota. Hanya 100 meter dari Lubang Mbah Soero terdapat Museum Gudang Ransoem, Museum Kereta Api, dan bangunan tua lainnya. Di sekitar Sawahlunto juga terdapat beberapa lokasi wisata menarik, contohnya Silungkang, sentra tenun dan kerajinan; serta Taman Satwa Kandi, kompleks rekreasi di perbukitan bekas area tambang.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Jun 2014 (“Lara Lunto”)