Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ruang Seni Baru di Jakarta

Pameran “Sindikat Campursari” yang diselenggarakan oleh Japan Foundation Asia Center di GSE, Januari 2017.

Oleh Wikana
Foto oleh Dwianto Wibowo

Awalnya instalasi penyimpanan barang, Gudang Sarinah berubah jadi gelanggang yang menyalurkan geliat seniman muda. Beragam aliran seni disatukan di sini. Perupa muda Jakarta kini tak perlu lagi mondok di Yogyakarta atau Bandung demi mencari suasana berkesenian yang hidup.

Ruangrupa (Ruru) adalah motor sekaligus mandor bangunan yang dinamai Gudang Sarinah Ekosistem (GSE) tersebut. Selama 17 tahun, kelompok ini berikhtiar menjadikan Jakarta wadah yang nyaman bagi seniman muda. Sebelum ada GSE, mereka bergerak secara gerilya, berpindah-pindah, dari sepetak kamar di Pondok Labu, lalu ke rumah kontrakan di Pasar Minggu, kemudian bermigrasi ke Tebet.

Tapi GSE sebenarnya tak cuma melabuhkan Ruru. Gudang di Jakarta Selatan ini juga merekatkan aktivitas para eksponennya yang tercerai-berai. Di luar kelompok induknya, masing-masing tokoh Ruru memang membentuk komunitas yang mandiri.

Kiri-kanan: Ruru Shop yang menjajakan suvenir bertema seni; Indra Ameng, salah seorang Manajer Program GSE.

Ade Darmawan mengelola festival Jakarta 32oC. Hafiz Rancajale membentuk Forum Lenteng. Ronny Agustinus aktif di penerbitan Marjin Kiri, sementara Ugeng T Moetidjo ajek menulis telaah seni di Jurnal Karbon. Kini, seluruh watak dan mazhab itu seperti diaduk dalam satu kuali.

Berkunjung ke GSE, kita akan mendapati suasana bengkel kerja yang berdenyut sepanjang hari. Remaja sibuk membesut program pameran. Perupa giat berkarya di studio. Yang unik di sini, seniman tak serta-merta bisa berpameran hanya bermodalkan proposal. Ia harus sudi dapur kreatifnya dibuka dan dipertemukan dengan disiplin lain. Alhasil, produksi dan presentasi karya menjadi ajang berbagi ilmu. “Ini yang masih dicari formatnya. Kolaborasi kan harus bermanfaat bagi semua,” ujar Indra Ameng, punggawa Ruru.

GSE, tentu saja, bukan cuma untuk seniman. Publik diundang untuk menikmati letupan-letupan kreativitas yang beragam. Usai menonton film di bioskop Forum Sinema, kita bisa melihat presentasi oleh 69 Performance Club, membaca di perpustakaan, atau berbelanja suvenir di Ruru Shop. Program musik garapan Ruru Radio beberapa kali digelar live di sini dengan menghadirkan Efek Rumah Kaca, AriReda, hingga Shaggydog.

Salah satu karya grafiti Gardu House di tembok GSE.

Gudang ini ditemukan tanpa sengaja pada 2015. Syahdan, Ade Darmawan, yang saat itu menjabat Direktur Eksekutif Jakarta Biennale, menghubungi pengelola mal Sarinah untuk menjajaki peluang kerja sama. Sarinah adalah mal pertama di Jakarta dan Jakarta Biennale berniat menyoroti konsumerisme warga Ibu Kota. Pengelola mal lantas menawarkan kompleks gudang di daerah Pancoran untuk dijadikan lokasi acara. Usai melihat kondisi bangunan, Ade malah terpikat dan langsung mendaulatnya sebagai episentrum Biennale. Setelahnya, dia merelokasi seluruh kegiatan Ruru ke sini.

Yang kemudian jadi pertanyaan sang mandor: bagaimana cara menghidupi GSE? Untuk sewa bangunan, Ruru menggelontorkan Rp300 juta per bulan. Bantuan pendanaan memang ada, salah satunya dari Hivos, tapi tak cukup menutupi semua ongkos operasional.

Pentas kesenian tradisional Campursari pada malam pembukaan pameran “Sindikat Campursari.”
Kiri-kanan: Ruang kerja Grafis Huru Hara di GSE; bioskop Forum Sinema.

Guna menambal kekurangan, pengelola pun bersiasat: membagi antara program yang layak “dijual” dan yang sepenuhnya “idealis.” Selain menjala sponsor, mereka menjajakan tiket untuk sejumlah kegiatan, contohnya terlihat pada festival video musik MuVi Party yang mendulang sekitar 5.000 pengunjung.

Solusi bisnis lainnya adalah menanggap konser dan menggelar bazar bulanan Tumpah Ruah. “Lumayan bisa membantu, misalnya untuk mengecat bangunan atau membuat toilet,” ujar Andang Kelana, Manajer Program GSE.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2017 (“Gandrung Ruang”).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5