by Yusuf Wahil 26 March, 2019
Perahu Tercepat Sedang Sekarat
Teks & foto oleh Yusuf Wahil
Mendengar kata Mandar, kita mungkin akan berpikir tentang sandek. Perahu layar bercadik. Perahu tercepat di Nusantara
Sandek (kadang ditulis sandeq) memang digunakan oleh warga Mandar, salah satu suku di Sulawesi. Komunitas pelaut ulung ini umumnya menghuni bagian barat daya pulau, persisnya di dusun-dusun yang bertaburan di Teluk Mandar.
Penduduk Mandar sangat membanggakan sandek, baik sebagai warisan sejarah, simbol tradisi, juga sumbangan pengetahuan lokal bagi dunia maritim. Itu pula sebabnya, sandek rutin dipertontonkan, salah satunya lewat lomba. Ajang perdananya, 1995, digagas oleh antropolog Jerman Horst H. Liebner bersama para nelayan Mandar.
Berkat reputasinya pula, sandek turut mengerek pamor Indonesia sebagai negara bahari. Perahu sprinter asal Sulawesi ini bahkan pernah menjadi semacam duta budaya nasional. Pada 2012 misalnya, sandek mewakili Indonesia menghadiri pergelaran kolosal Brest International Maritime Festival di Prancis.
Sayangnya, catatan-catatan harum itu tak lagi berlanjut. Alih-alih, pamor sandek seperti kian memudar. Dalam beberapa tahun belakangan, banyak nelayan Mandar meninggalkannya. Perahu layar yang telah memukau dunia lewat kecepatannya ini justru kehilangan popularitas di tanah kelahirannya sendiri. Kekhawatiran akan kondisi itu jugalah yang mendorong saya mendokumentasikan sandek sejak 2017.
Sedikit informasi tentang sandek, perahu ini merupakan bahtera paling terkenal dari Sulawesi selain pinisi. Dalam hal dimensi, sandek panjangnya antara tujuh hingga 13 meter; tinggi lambungnya berkisar satu meter; tinggi tiang layarnya 10 meter. Daya angkutnya antara tiga hingga empat ton.
Setidaknya ada tiga jenis sandek. Sandek pangaoli dipakai untuk memancing dengan kapasitas satu orang. Sandek pappasilumba ditujukan untuk lomba. Sandek parroppong didesain untuk berburu telur ikan terbang dan menangkap ikan di rumpon. Jenis yang terakhir inilah yang lazim dikendarai untuk mengarungi laut lepas selama dua hingga tiga minggu. Catatan mengagumkan yang kini sulit dilanjutkan.
Baca juga: Menelusuri Sejarah Sandek; 6 Kapal Tradisional Indonesia
Pada awal 2019, saya melawat Teluk Mandar dan menemui Sulle Gani, seorang nelayan tua yang terakhir kali mengarungi ombak di Selat Makassar pada 2016. Kini, sandek miliknya telah raib, dipotong-potong, diubah menjadi meja makan, meja televisi, kursi, serta lemari kecil tempat menyimpan rokok.
Kondisi serupa terlihat di rumah Ilyas Tafa, nelayan sepuh lainnya. Sandek miliknya sudah bersalin bentuk jadi ranjang. Sementara sandek keduanya dijual seharga Rp8 juta kepada seorang nelayan di Mamuju untuk dijadikan bagan.
Ada banyak faktor di balik transformasi sandek menjadi perabot. Salah satunya ialah tuntutan zaman. Meski mampu melaju lekas, sandek mesti bersandar pada angin, sementara ikan-ikan tuna hasil tangkapan tak bisa bersabar menanti layar tergerak jika ingin cepat mendarat di pasar dalam kondisi segarsupaya dihargai tinggi. Akibat keterbatasan itulah banyak nelayan beralih ke kapal motor.
Menyadari kondisi itu, pemerintah daerah sempat turun tangan mencari solusinya. Belum lama Gubernur Sulawesi Barat, Ali Baal Masdar, menyerahkan 20 perahu sandek beserta alat tangkap mesin ketinting dan rumpon kepada kelompok nelayan di empat kabupaten di Sulbar.
Baca juga: Ekspedisi Perpustakaan Terapung; Pesona Keindahan Alam dan Laut Togean
Tapi niat baik itu tidak sepenuhnya direspons positif. Menurut para nelayan, kualitas sandek sumbangan Pemprov kurang memenuhi standar. Khusus di Kabupaten Polewali Mandar, problemnya kian pelik lantaran nelayan tak lagi memiliki area parkir perahu. Pemkab membangun tanggul di sepanjang Pantai Pambusuang yang notabene merupakan sentra nelayan sandek. Akibatnya, banyak perahu rusak akibat terhantam ombak dan terbentur tembok tanggul. “Kalau air laut naik dan ombak besar, bisa-bisa perahu rusak kalau kena tanggul,” jelas Pua Pia, seorang nelayan yang rumahnya berjarak sekitar 10 meter dari bibir pantai.
Rumitnya melestarikan sandek pernah diulas oleh Muhammad Ridwan Alimuddin, pengelola Museum Maritim Nusa Pustaka di Desa Pambusuang, Sulbar. Dalam buku Sandeq, Perahu Tercepat Nusantara, dia menyisipkan satu bab yang khusus mengulas dan meratapi hilangnya banyak sandek.
Pada 2001, Ridwan, saat itu masih mahasiswa, melakukan penelitian dan menghitung jumlah sandek di empat desa. Dari datanya tercatat Desa Bala memiliki 23 buah sandek, Pambusuang 58 sandek, Sabang Subik delapan sandek, dan Galung Tulu 19 sandek.
Kini, kata Ridwan, sandek yang masih digunakan nelayan untuk melaut paling banyak hanya 15 unit, dan itupun terkonsentrasi di Desa Pambusuang. Sebenarnya masih ada sandek lainnya, tapi fungsinya bukan untuk melaut, melainkan lomba. Sandek jenis ini biasanya disimpan di samping atau kolong rumah.
Menurut antropolog Horst H. Liebner, upaya pelestarian sandek membutuhkan partisipasi luas dari publik, termasuk komunitas nelayan. Dia mempertanyakan alasan banyak nelayan Mandar berpaling ke kapal motor, karena sebenarnya sandek ukuran kecil masih bisa dipakai untuk pelayaran jarak dekat.
Horst, yang telah meneliti sandek sejak 1989, percaya sandek masih punya harapan di masa depan. Perahu ini lebih gampang dan lebih murah diurus ketimbang kapal motor. Dan dari segi kecepatan, sandek masih layak diandalkan. “Sandek terkenal sebagai perahu layar terlaju di kawasan Austronesia, dan dengan angin yang baik dapat mencapai sampai 15-20 knot, bahkan bisa melebihi itu selama ombak tidak terlalu tinggi,” tambahnya.
Nelayan mengangkat gabus, tempat penampungan ikan, dari sebuah kapal yang bersandar di dermaga Kecamatan Balanipa, Polman.
Yusuf Wahil
Usai bekerja untuk Harian Cakrawala dan Harian Fajar, Yusuf pada 2017 memutuskan menempuh jalur independen. Karya-karyanya pernah dimuat beragam media, termasuk The Telegraph, The Jakarta Post, dan The Wall Street Journal. Yusuf, pria asal Mamuju yang menetap di Makassar, pernah meraih juara kedua kategori daily life dalam Anugerah Pewarta Foto Indonesia 2016. @yusufwahil