by Fatris MF 31 January, 2017
Penjelajahan di Mamasa
Dua hari lagi Arjein berangkat kuliah ke Makassar. Dua hari lagi Simon diantar ke tongkonan. Kaki adalah alat transportasi yang paling efektif di Mamasa. Saya berjalan menyusuri kampung-kampung yang dikurung bukit, meniti lereng yang licin, melewati sawah yang berjenjang. Beberapa kali saya dikejar anjing. Tiap rumah di sini dikawal anjing, dan biasanya bukan cuma seekor.
Di sebuah rumah panggung yang beratap melengkung dan bertatahkan ukiran, Indok Langik sedang duduk di pinggir tungku kayu. Dia menyambut saya dengan tatapan curiga. Menurut cucunya, Jos Dettumanan, sang nenek sering salah paham dengan setiap orang yang datang ke rumahnya. Salah paham?
“Saya tidak akan berpindah dari Aluk To Matua, ajaran moyang saya,” ujar Langik. “Mereka sebut saya tomalillin [penganut keyakinan gelap], mereka perintah saya masuk agama. Tapi, ayam, anjing, ukiran jendela rumah saya yang sudah ada sejak bapak saya hidup, kini hilang diambil oleh orang-orang beragama. Begitu perilaku orang yang beragama?” Si nenek menyeruput kopi.
Kabut saling berkejaran dengan dingin. Kampung Tondok Bakaru mulai hening. Tungku di hadapan Langik mengepulkan asap, menghangatkan seisi ruangan. Usai mengetahui saya bukan misionaris, Langik tersenyum ramah, lalu menyuguhi saya kopi kental—kopi yang datang dari kebun-kebun luas di Mamasa yang luas.
“Saya susah memercayai agama. Penganutnya kebanyakan pendusta dan pencuri,” lanjut Langik. “Untuk apa saya mengubah cara saya menyembah, to saya tidak mencuri dan menyakiti orang lain.” Ujung kalimatnya kerap disudahi guyonan yang tidak saya pahami.
Agama-agama langit telah lama berkembang di Mamasa, namun guyonan penganut ajaran lama terhadap mereka berkembang tak kalah pesat. Seorang penganut Aluk To Dolo pernah bercerita begini: “Diam-diam saya mengintip mereka bersembahyang di gereja. Ada yang tertawa, ada yang bicara, ada yang melihat telepon, padahal pendeta mereka sedang memimpin doa. Saya saja tidak suka melihat mereka sembahyang, apalagi Tuhan. Dan satu kali saya pernah ke masjid. Suara dari masjid merdu saya dengar. Saya lihat tidak ada orang. Hanya ada tape yang beri pengeras suara. Apa mereka menyembah tape?”
Sebelum kitab-kitab samawi mendarat di lembah kasih ini, orang-orang hidup di bawah payung ajaran lama yang memiliki banyak nama: Aluk Ta, Aluk To Yolo, Aluk To Dolo, Adak Mappurondo, Pemali Appa’ Randanna, atau Aluk To Matua. Menurut Kees Buijs, agama-agama tua itu punya akar yang panjang, bahkan sudah eksis sebelum Hindu masuk Indonesia. Penganutnya menyembah Debata Tometampa atau Tuhan Yang Maha Esa, begitu tulis Kees dalam Powers of Blessing from the Wilderness and from Heaven: Structure and Transformations in the Religion of the Toraja in the Mamasa Area of South Sulawesi.
Ajaran lama menerapkan banyak pantangan yang disebut pemali. Keyakinan ini menuntut selibat, mengharuskan pemeluknya berlaku baik pada alam, sebab semua di semesta memiliki roh. Bila Anda menginginkan air, Anda harus meminta bersungguh-sungguh. Sebelum menebang pohon, Anda harus memohon kerelaan roh di dalam kayu.
Ajaran lama juga menuntut pengorbanan, berupa babi atau kerbau. Setiap pria mesti disunat. Berdusta dan membunuh dilarang. Jangankan mencuri, berhasrat memiliki apa yang dipunyai orang lain saja diharamkan.
Memahami ajaran leluhur ini cukup rumit bagi saya yang hidup di kota yang dinodai kedengkian dan kesombongan. Lihat misalnya bagaimana petani Mamasa mengurus sawah. Bila padi mulai merunduk dan segerombolan tikus bersarang di pematang, orang-orang akan ke sawah dengan membawa sisa makanan untuk disuguhkan kepada hewan-hewan pengerat itu. Hasilnya: tikus terbiasa dengan makanan rumahan dan melupakan bulir-bulir padi yang menguning.
Siasat arif serupa diterapkan pada burung. Warga bakal ke sawah dengan membawa alang-alang dan gabah, sehingga burung-burung pun tak lagi membutuhkan daun padi guna merangkai sarang. Tak ada yang perlu diracuni. Tak ada yang mesti dibasmi.
Meninggalkan rumah Indok Langik, saya kembali menyusuri jalan licin yang diselimuti gelap. Angin dari lembah membawa dingin yang mencucuk tulang. Anak-anak muda bergerombol di lepau-lepau kayu seraya menenggak ballok. Di salah satu lepau, saya bertemu Demianus. Matanya lindap dan memerah.
“Tidak seperti dulu, memang. Dari tahun ke tahun wisatawan menyusut,” Demi membuka obrolan sembari menawarkan ballok. Alumni sekolah pariwisata di Bali ini sudah bertahun-tahun berprofesi sebagai pemandu. Hampir tiap destinasi wisata di kawasan Indonesia Timur pernah dimasukinya. Bermodalkan pengalaman dan kecakapannya berbahasa asing, Demi mudik ke Mamasa pada 2014 untuk meneruskan kariernya. “Harapan di Mamasa sangat besar,” katanya lagi. “Hanya saja, pariwisata di sini dikelola dengan cara keliru. Bukankah Mamasa adalah lumbung padi, juga lumbung kopi? Di alam seindah ini, siapa bilang tidak ada harapan?”
Saya tiba di Kecamatan Balla suatu siang. Di sebuah bangunan tanpa dinding, 11 patung kerbau seukuran kerbau berjejer, dengan perut berisi tulang-tulang manusia. Inilah tempat wisata yang disebut Tedong Tedong Minanga, kompleks makam bangsawan Mamasa di masa lampau. Berbeda dari situs makam di Toraja, tempat ini tidak mengenakan tiket masuk. “Ini kuburan moyang saya,” kata sang kuncen, Petrus Pius. Patung-patung kerbau tempat moyang Petrus dikubur dibuat dari kayu uru dan pulid, dua kayu perkasa yang hampir punah di Mamasa.
Di buku kunjungan Petrus tercatat nama 14 turis yang datang berziarah pada 2016. Jumlah pada tahun sebelumnya tak jauh berselisih. “Bom Bali, itu awalnya,” kata Petrus tentang pangkal penyebab seretnya arus pelancong. Banyak orang masih menyalahkan tragedi serangan teroris di Bali atas terpukulnya sektor pariwisata, padahal Bali sendiri justru telah bertahun-tahun pulih.
Di seberang lembah, berjarak dua ceruk dari makam moyang Petrus, sesosok figur putih seperti sedang mengawasi saya. Tangannya terentang, seakan hendak memeluk lembah-lembah penuh kasih yang berjejal dan berlekuk hijau bagaikan sapuan kuas Mooi Indie. Inilah patung Bunda Maria yang diklaim tertinggi di Asia Tenggara. Sebuah patung licin dan mahal yang sayangnya lemah dalam aspek detail. Di sekelilingnya berdiri patung-patung lain yang menuturkan prosesi penyaliban Yesus.
Angin lembah bertiup lagi membawa dingin. Meninggalkan patung Bunda Maria, saya meluncur ke kolam air panas di Rambusaratu dan membayangkan Indok Langik tengah menyeduh kopi kental untuk saya.
Panduan
Rute
Mamasa bisa dijangkau dari Toraja dan Mamuju dengan menaiki mobil off-road. Namun akibat kerusakan jalan yang kian parah di kedua jalur ini, jadwal perjalanan tidak menentu. Hanya jalur Polewali-Mamasa yang hingga kini masih ditempuh. Opsi lainnya adalah jalur udara. Awalnya dilayani oleh Aviastar, penerbangan ke Mamasa mulai tahun ini dilayani oleh Susi Air (susiair.com) dari Makassar dengan frekuensi satu hingga dua kali per minggu. Penerbangan ke Makassar dioperasikan oleh semua maskapai nasional.
Penginapan
Sejumlah penginapan terus bertahan di tengah seretnya arus turis. Berikut dua yang bisa dipilih: Matana Lodge (Jl. Emmy Saelan 1; 0852-9945-2281; doubles mulai dari Rp250.000); serta Hotel Rajawali (Jl. Pembangunan; 0813-5465-1392; doubles mulai dari Rp100.000). Di kampung-kampung adat, Anda bisa menginap di rumah warga.
Informasi
Mamasa belum memiliki jasa penyewaan kendaraan, jadi sebaiknya menyewa mobil di Makassar. Ojek tersedia, tapi tarifnya tergolong yang termahal di Indonesia. Perjalanan di Mamasa tidak menjanjikan kenyamanan. Untuk menjelajahi lembah-lembah hijau yang penuh kasih, Anda akan melewati aspal kuning yang liat dan lembek seperti bubur lem yang tumpah dari kuali raksasa. Lancar berbahasa asing dan berpengalaman sebagai pemandu, Demianus (0813-5476-5574) bisa menuntun Anda ke kampung-kampung penganut ajaran lama di Mambi dan Nosu, mendaki Gunung Mambulillin, serta melacak tempat-tempat pemandian air panas di Rambusaratu. Datanglah di Agustus saat curah hujan rendah dan warga menggelar banyak ritual, salah satunya Mangngaro di mana jenazah dikeluarkan dari tebing untuk kemudian dijemur dan diganti pakaiannya.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016 (“Asa Mamasa”).