by Yohanes Sandy 14 April, 2013
Orang di Tikungan Alam
Modernisasi dan kota. Kepadanya dunia bergerak dan manusia berkiblat. Tapi fotografer Bruno Zanzottera menemukan sejumlah insan yang menolak arus. Orang-orang ini bertahan, baik atas dasar keterpaksaan maupun kesadaran, di tempat-tempat ekstrem, di mana hidup berarti perjuangan dan embusan napas adalah berkah yang patut disyukuri setiap detik.
Pada 2009, jumlah populasi penduduk urban telah mengalahkan penduduk rural. Meski tren ini tampaknya sulit terbendung, masih banyak orang bersikukuh tinggal di medan berat dengan bersandar pada kemampuan menjaga keseimbangan dengan alam. Tentu saja, pendulum keseimbangan ini rentan goyah akibat terpengaruh oleh pertarungan mendapatkan makanan dan air—antara kebutuhan primer dan vital.
Frasa “medan ekstrem” memiliki dua makna: sebuah perlambang atas aktivitas manusia dalam bertahan hidup, dan sebuah representasi atas tuntutan adaptasi dengan lingkungan.
Medan ekstrem terkait erat dengan budaya, tradisi, serta raga penghuninya. Ia menyuguhkan alam yang keras dan menguras stamina, meski pada saat yang bersamaan memicu kreativitas, kecerdikan, dan keluwesan. Komunitas-komunitas gigih yang menetap di sini mengubah “ekstrem” menjadi “normal”. Merekalah alasan mengapa drama tentang penaklukan alam terus mengalir.
Foto-foto koleksi Bruno Zanzottera ini dibuat di tempat-tempat ekstrem yang didiami manusia, baik atas dasar pilihan sadar atau terpaksa. Di Danakil, orang-orang Afar berhasil mengelola sumber daya di tempat yang tak mengenal ampun bagi sikap cengeng. Di Sahara, petani garam asal Bilma dan pengendara unta yang mengangkut hasil panen ke Agadez, terpaksa berkolaborasi agar bisa melewati kekeringan dan terik.
Dokumentasi fotografer kelahiran Monza ini juga mencakup danau di Great Rift Valley, muara bagi kaum Turkana, Samburu, El Molo, Rendille, dan Maasai, sekaligus ruang bagi pembentukan identitas kultural dan persaingan tribal. Ada pula Pegunungan Altai di Mongolia Barat di mana penggembala asal Kazakhstan berburu bersama elang demi menyambung hidup di dataran tinggi.
Tempat-tempat spektakuler lainnya masih banyak, mulai dari Himalaya, atap bumi yang mengubah struktur fisik manusia di hadapan awan; Lembah Zanskar, suaka terpencil di mana warga mesti meniti sungai beku selama berminggu-minggu untuk sekadar menjaga kontak dengan dunia luar;
Papua Barat, belantara purba yang diwarnai tradisi perang antarsuku; hingga Patagonia, pesisir yang didiami keluarga pemburu emas asal Chiloé. Upaya menguak sudut-sudut planet mewajibkan kita meletakkan fokus pada lingkungan. Hanya dengan cara itu kamera bisa menangkap strategi manusia dalam bertahan hidup, misalnya lewat pertanian, peternakan, atau berburu.
Terlepas dari tantangan yang dihadirkannya, medan ekstrem bisa menjadi tempat hidup, baik secara simbolis maupun evokatif, di mana aktivitas manusia dan skenario lingkungan bersua, bertabrakan, serta melahirkan tradisi-tradisi baru.
Dipublikasikan perdana di DestinAsian Indonesia edisi Maret-April 2013 (“Orang di Tikungan Alam”).
1 Comment
by adfa
engga
Comments are closed.