Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Banda Selepas Kejayaan Pala

Kiri-Kanan: Vegetasi di pantai; Remaja lokal mencari ikan menaiki sampan.

Puas berkeliling dengan perahu, saya berkeliling daratan Banda. Persinggahan pertama, Rumah Budaya Banda Neira. Di interiornya, saya terpaku lama memperhatikan sebuah lukisan. Digambarkan, para eksekutor dari negeri samurai menebas kaum kaya Banda dengan katana. Pangkal masalahnya, konon, orang-orang kaya (julukan cendekiawan Banda) itu memberontak. Tanah yang harum aroma pala ini ternyata menyimpan catatan penuh darah. Amisnya seperti tidak kunjung hilang hingga hari ini.

Tak jauh dari museum terdapat benteng sepuh Belgica di mana lima meriam mengarahkan moncongnya ke pantai. Neira yang cantik, dengan pasir putih yang membingkai, dijaga dengan pedang terhunus. Dari atas Benteng Belgica, Banda Neira terlihat seperti gadis lugu dengan beberapa bekas luka sejarah yang telah mengering pada pipinya. Ia dulu jadi rebutan kaum pengembara Portugis, disusul bangsa-bangsa Eropa lainnya.

Berbagai pertempuran pecah hanya untuk satu alasan: pala, komoditas yang jauh lebih berharga dari emas pada masa itu. Belanda dan Inggris berseteru merebutkan Run, salah satu pulau kecil di Kepulauan Banda. Belanda sampai sudi menukar Manhattan dengan Run yang sebelumnya dikuasai Inggris. Run, menurut Des Alwi dalam buku Sejarah Banda Naira, adalah pulau terpenting di antara pulau-pulau lainnya di Banda. Pulau inilah yang menjadi awal sengketa antara VOC dan Portugis. Sengketa yang berlarut selama 60 tahun.

Kiri-Kanan: Istana yang arsitekturnya menyerupai Istana Negara di Jakarta; Gembok dan koin lawas yang dikumpulkan di sekitar Belgica dan dijajakan ke turis.

Saya berjalan mengitari benteng, melihat kebun-kebun pala dari kejauhan. Seorang turis asal Belanda menghampiri saya. Dia datang usai membaca catatan harian kakeknya. “Kami dulu pernah menguasai sebuah surga kecil di Timur yang berisi tumbuhan wangi,” tulis catatan itu, katanya. Kemudian dia mengeluh dalam bahasa Inggris yang agak janggal di telinga.

Memang butuh tenaga untuk sampai ke “surga kecil di Timur ini,” ujarnya. Seperti saya, dia terpaksa naik kapal tua penuh karat dari Ambon. Seorang lelaki usia 30-an datang menyalami si turis. Lelaki itu, Maga Fira, seorang guru honorer yang menyambi sebagai pemandu. Dari dalam tasnya yang lusuh, Maga mengeluarkan koin-koin VOC. Si turis memegangnya dengan mata terbelalak, kemudian menyampaikan keluhan yang sama pada Maga: transportasi ke Banda yang tidak terjadwal! “Sejak Pak Des tidak ada, pulau ini terisolasi,” kata Maga menjawab keluhan si turis. Des Alwi, anak angkat Sjahrir, memang terkenal di Banda.

Keduanya berlalu, menyusuri lorong-lorong benteng. Dulu, Belanda menguasai Banda. Sekarang, pria Banda menjadi pemandu untuk turis Belanda. Saya melihat keduanya berjalan bersisian: pribumi dengan turis, sebagaimana di masa lalu, hanya dalam sisi yang berbeda. Benar kata Maga, Banda merupakan surga yang tengah terisolasi. Penerbangan ke sini sudah ditutup, namun turis masih berdatangan dengan kapal yang tak terjadwal rapi, penuh sesak, dan senantiasa terseok-seok dihajar ombak. Apa yang hendak mereka cari di pulau-pulau kecil yang dikungkung lautan dalam ini?

Anak-anak setempat bermain menikmati sore.

“Mereka ingin menyelam,” jawab Yayu, wanita lokal berwajah eksotis. Dialah yang memperkenalkan saya kepada Alfan Daulau, guru SMP Tanah Rata. Alfan lalu mengajak saya ke sekolahnya untuk mengisi kelas, mengajar apa saja, dan saya memilih pelajaran mengarang.  Di Banda, hanya ada pala, cengkih, dan kenari. Tapi di lautnya, kapal-kapal menancapkan jangkar dan memanen tuna, komoditas unggulan pulau ini. Di hari yang lain, saya mengikuti seorang penambang mutiara. Katanya, di laut Banda terhampar karang warna-warni bak permadani yang disulam wanita-wanita Turki.

Di depan sebuah istana mini yang menatap laut, yang arsitekturnya nyaris sama dengan istana negara, saya menumpang perahu. Kira-kira 500 meter ke tengah, saya melihat cantiknya dasar laut. Saya memutuskan berenang, mengepung dengan alat selam seadanya. Betul saja, karpet elok Turki melapisi alas laut. Ikan-ikan aneka warna berseliweran. Semuanya bagai dunia lain, dunia yang jauh lebih damai. Saya memaksa menyelam tanpa pemberat dan menyaksikan kecantikan yang begitu menawan. Barangkali bom ikan belum sampai ke sini.

Arus kemudian memusing di tengah. Perahu yang mengantar saya raib entah ke mana. Segala ilmu selam dan ilmu berenang saya—yang saya anggap jempolan untuk standar orang pesisir Sumatera—ternyata sia-sia. Saya hampir kehilangan akal dan tenggelam. “Maut akan dekat ketika engkau tidak bisa menguasai diri,” kata seorang guru silat pada saya. Tapi saya tidak sedang bersilat, melainkan bertarung dengan arus. Kepanikan adalah jarak yang akan mendekatkan engkau dengan maut, kata-kata guru saya terngiang lagi.

Kiri-Kanan: Bagian dari Benteng Belgica warisan VOC; Lukisan Pieter van den Broecke, kepala kantor VOC di Banda.

Kaki saya mendadak setengah keram, sementara daratan masih sangat jauh. Saya tidak ingin berteriak meminta pertolongan. Selain sia-sia, berteriak juga tindakan yang memalukan bagi orang pesisir. Saya cuma ingin segera selamat dari pusaran arus yang tak menentu ini. Banda yang cantik ini ingin melamun saya dengan arus dan cintanya. Saya jadi ingat sebuah sajak yang ditulis Chairil Anwar pada 1940-an: sajak terakhir akan lahir dari dasar lautan. Tapi Chairil telah lama tiada, dan entah mengapa dalam keadaan begini genting saya harus mengingat sebuah sajak. Saya pun pasrah: membalikkan badan, menatap ke langit yang biru. Tubuh saya mengikuti arus hingga tepian. Saya buang ketakutan dan kesombongan. Laut ternyata tidak butuh penakluk, melainkan meminta kita mengalun bersama arusnya.

Di pantai, dalam lelah, saya menatap laut. Di belakang saya, Banda menggelontorkan warna hijau pucuk-pucuk pala. Besok saya akan pulang ke Sumatera. Hatta dan Sjahrir barangkali melakukan hal yang sama dulu, di sini, di pantai Banda ini: menengok laut, lalu menoleh pada Banda, melambai sejenak, kemudian dipulangkan pemerintah kolonial ke Batavia, meninggalkan tempat yang telah menyambut dengan tangan terbuka.

Kiri-Kanan: Aneka bahan masak di pasar; Nelayan dan hasil tangkapannya di sore hari.

PANDUAN
Rute
Bandara Banda Neira sempat berhenti beroperasi, tapi kemudian kembali berfungsi pada akhir 2014. Aviastar (021/862-6789; aviastar.biz) melayani tiga penerbangan per pekan dari Ambon ke Banda. Opsi lain untuk menjangkaunya adalah kapal milik Pelni (pelni.co.id), tapi jadwal keberangkatannya tidak menentu: kadang dua kali sepekan, kadang absen sebulan penuh bila badai menghadang. KM Ciremai, KM Tidar, dan KM Kelimutu bertolak dari Ambon ke Banda Neira dengan tarif Rp343.500. Pastikan Anda dua kali memeriksa jadwal untuk perubahan yang tak terduga. Waktu terbaik untuk berkunjung adalah April hingga November, terutama jika ingin menyelam. Dari Desember hingga Maret, musim angin barat, kapal-kapal enggan melaut ke Banda Neira.

Penginapan
Tidak perlu berpikir panjang untuk penginapan. Anda bisa menumpang di mana saja. Hotel pun banyak. Hotel Maulana (Jl. Maulana; 0910/21022; mulai dari Rp 250.000) adalah satu-satunya akomodasi yang menyewakan peralatan selam. Opsi lainnya adalah Mutiara Guesthouse (0813-3034-3377; abba@ banda-mutiara.com; mulai dari Rp300.000).

Aktivitas
Tawaran utamanya adalah bertualang ke berbagai pulau di Kepulauan Banda: Pulau Banda Besar yang ditumbuhi pala, Pulau Run, dan Pulau Hatta. Saban pagi tersedia kapal ke sana dari Banda Neira. Menyewa kapal bertarif Rp1.000.000, Anda bisa melakoni tur lintas pulau seharian. Laut umumnya bersih dan pantainya berpasir putih. Anda juga bisa mengunjungi Rumah Budaya (Jl. Gereja Tua), museum yang menyimpan beberapa peninggalan sejarah, seperti meriam, uang, peta, helm, lukisan bertema peperangan, serta diorama sejarah Banda. Ada pula Rumah Hatta dan Rumah Sjahrir yang menyimpan memorabilia dua tokoh bangsa. Istana Mini Neira, dulu kediaman Gubernur Jenderal Belanda, pernah ditinggali Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia. Di depannya teronggok meriam sisa perang. Jangan lupakan Benteng Nassau dan Benteng Belgica. Makan ikan asap yang gurih sembari berjalan mengitari benteng-benteng kolonial tak kalah menyenangkan. Pulau Gunung Api, pulau vulkanis setinggi 666 meter yang terakhir meletus pada 1988, bisa didaki puncaknya dengan durasi sekitar dua jam.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Februari 2015 (“Saga Pala”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5