by Yohanes Sandy 27 December, 2013
Mengulik Potensi Wisata Naypyidaw
“Jika Anda hendak mencari sesuatu yang aneh di Naypyidaw, Anda akan menemukannya,” jelas Nicholas Farrelly, seorang associate professor di Australian National University di Canberra. “Tapi masih banyak kreasi yang cukup menarik, misalnya mal, lapangan golf, pasar becek, dan tempat minum yang bising. Kota ini memiliki pola anehnya sendiri. Ia dihuni warga dari penjuru Myanmar yang berniat mencari pendapatan dan rasa aman.”
Jantung kota ini dihuni area komersial di sekitar Pasar Thabyaygone. Di sebuah bukit di sisi timur terdapat restoran Shan, Thailand, dan Cina, serta sejumlah “beer station” yang ceria. Saya mencari sarapan dengan menyusuri labirin, lalu singgah di sebuah warung teh di mana birokrat, pengusaha, dan wartawan duduk berdampingan sembari menikmati samosa, nasi dengan kacang polong rebus, dan teh manis. Tawaran yang mungkin kurang menyenangkan bisa ditemukan di Jalan Yazarhtani. Jalan ini begitu terkenal akan panti pijat dan bar karaokenya, sampai-sampai namanya dipelesetkan menjadi “Massage-htani.”
Berkendara 20 menit dari zona hotel, saya singgah di Pyinmana, daerah yang eksis jauh sebelum Naypyidaw berdiri, tapi kemudian diintegrasikan sebagai bagian kota baru ini. Pyinmana terkesan uzur dan autentik: menampilkan rumah-rumah kayu dan pohon-pohon asam yang menjulang. Ia bagai dunia yang terpisah dari Naypyidaw, kota yang dihuni patung-patung di bundaran, rumah bergaya McMansion, dan lapangan golf.
Dengan niat merasakan realitas hidup, bersama sekelompok teman, saya menenggak bir dan makan barbeku khas Cina di ruang terbuka. Ini pengalaman yang khas Myanmar. Tapi, di Naypyidaw, karya-karya modern para perancang kota seolah tak mau melepaskan kita. Dari jarak tiga kilometer, kubah terang Pagoda Uppatasanti yang dibangun pada 2009 sebagai pesaing Shwedagon di Yangon, membuat restoran saya terkubur dalam cahaya keemasan.
Berhubung Yangon kian sesak, mendirikan pusat pemerintahan yang jauh dari jantung ekonomi tentu memberikan banyak manfaat. Lima belas tahun lagi, menurut Farrelly, keputusan merelokasi kantor pemerintah ke Naypyidaw akan diakui sebagai ide yang visioner. Namun, untuk saat ini, Naypyidaw masih sulit mengalihkan perhatian turis dari candi-candi Bagan atau Danau Inle. Naypyidaw akan mengoleksi hampir 5.000 kamar hotel pada akhir 2013, tapi bandaranya yang berkapasitas 3,5 juta penumpang per tahun, hingga kini masih sering menganggur. Hanya 1.250 turis internasional yang mendarat langsung di sini pada 2012.
Mereka yang berkunjung mungkin akan mengalami perasaan dislokasi. Upaya para jenderal menciptakan obyek-obyek wisata (air mancur, museum batu mulia, dan kebun binatang) justru memperkuat citra artifisial kota. Tamu asing dikumpulkan di zona hotel, sedangkan PNS di pusat pemerintahan. Kaum kaya memiliki rumah di daerah kota, warga sisanya menyisi ke Pyinmana. Di luar buruh migran yang berkerumun di tepi jalan dan bundaran, tanda-tanda kehidupan terbilang minim, dan pastinya tak ada spontanitas. Fungsi kota ini, singkat kata, sesuai dengan khitahnya.
DETAIL
Naypyidaw
Rute
Penerbangan harian oleh Air Bagan (airbagan.com) menghubungkan Naypyidaw dengan Yangon. Tahun ini, AirAsia (airasia.com) berencana meluncurkan rute ke Naypyidaw dari Bangkok. Naypyidaw juga bisa disambangi dengan berkendara selama lima jam dari Yangon, tapi rute ini hanya untuk mereka yang berstamina kuat.
Penginapan
Aureum Palace Hotel & Resort (95-67/420-746; aureumpalacehotel.com; doubles mulai dari $59) memiliki pondokan-pondokan berlantai kayu jati di sekitar danau mungil yang didiami kawanan angsa.
Tempat Makan
Restoran sederhana Maw Kham Non, yang berdiri di bukit kecil yang menghadap Pasar Thabyaygone, adalah tempat ideal untuk mencicipi kuliner Shan.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2013 (Dispatches: “Burma Tanpa Enigma”)