by Karina Anandya 19 November, 2019
Mencoba Rute Nonstop Jarak Jauh Terbaru Singapore Airlines
Meluncurkan penerbangan nonstop ke Seattle, Singapore Airlines (SIA) resmi menjadi maskapai asal Asia Tenggara dengan koneksi paling cepat dan lengkap ke belahan barat Amerika Serikat. Sebelumnya, maskapai ini telah melayani rute ke San Francisco dan Los Angeles.
Penerbangan perdana Singapura-Seattle lepas landas pada 3 September 2019. Dari Bandara Changi, pesawat meluncur ke arah timur laut, melipir tepian Laut Cina Selatan, melewati Jepang, lalu melintasi Samudra Pasifik. Mendarat di tujuan, timur menjadi barat, dan penumpang berada di hari yang sama dan jam yang hampir sama dengan waktu keberangkatan. Untuk rute nonstop baru ini, SIA menggunakan armada Airbus A350-900 dengan konfigurasi 42 kursi kelas bisnis, 24 ekonomi premium, serta 187 ekonomi.
Kabin bisnis ditata dalam formasi 1-2-1. Kursinya megah, khas SIA. Masing-masingnya dilengkapi lorong kaki yang diposisikan di arah jam 11. Jika tinggi badan minimum 180 sentimeter, Anda bisa selonjor, tapi dengan kaki agak serong. Monitornya, yang berukuran 18 inci, tidak dilapisi layar sentuh, melainkan dikendalikan lewat remote, dengan begitu bisa mencegah gangguan punggung andai penumpang di belakang kelewat semangat memencet tombol layar.
Kursi bisnis bisa dibentangkan menjadi tempat tidur secara manual: menurunkan sandaran punggung ke depan, lalu membuka lipatan matras. Cukup menekan tombol inovatif “Do Not Disturb,” penumpang akan terlelap tanpa interupsi tergantung kondisi angina selama 14 jam 10 menit hingga Bandara Tacoma. Tapi jika memilih terjaga hingga tujuan, tersedia aneka hidangan yang dikonsep oleh delapan koki dan tiga wine connoisseur. Untuk rute ke Seattle, koki kondang Georges Blanc menyiapkan antara lain smoked salmon dan lobster roulade. Di rute pulang, ada roasted baby leek dan oven roasted lamb loin kreasi Suzanne Goin.
Di belakang kelas bisnis, ada kabin ekonomi premium, disusul oleh kabin ekonomi. Dari segi desain, keduanya agak mirip, kecuali dalam hal formasi, jarak kursi, dan ruang kaki perbedaan minor yang berdampak besar pada kadar kenyamanan di rute sejauh 13.351 kilometer. Membaca daftar menu, perbedaan kedua kelas cukup tipis. Contohnya: penumpang ekonomi premium menerima kroasan dan mentega, sementara jatah kelas ekonomi ialah bread roll dan spread.
Dalam siaran persnya, CEO SIA Goh Choon Phong mengatakan, rute nonstop ke Seattle merupakan bagian dari “komitmen SIA memperluas layanan operasi pada pasar penting di Amerika.” Seattle adalah kota kelima AS dalam jaringan SIA, dan keempat yang dilayani nonstop dari Singapura. Rute ini awalnya beroperasi tiga kali per pekan, lalu ditingkatkan jadi empat kali mulai Oktober 2019.
Pilihan destinasi Seattle dilatari kalkulasi yang masuk akal. Kota ini punya tempat penting dalam peta bisnis. Di sini bercokol markas besar Amazon, Microsoft, serta Starbucks. SIA kini menjadi jembatan udara paling efisien antara mereka dengan Asia Tenggara. “Dengan rute baru ini, kami juga bisa menawarkan koneksi lebih cepat bagi penumpang Australia menuju Amerika,” kata James Boyd, Vice President Public Relations SIA.
Membaca statistik wisata, Seattle juga menawarkan prospek okupansi kursi yang menjanjikan. Pada 2018, Seattle membukukan 21, 3 juta turis. Sebagian datang bukan sekadar untuk menjelajahi kota, melainkan transit. Sejak 1990- an, Seattle menyaingi Vancouver sebagai basis terlaris untuk tur pesiar ke Alaska. “Belum ada data resmi tentang alasan orang ke Seattle,” jelas Marcus Carney, Tourism Manager Visit Seattle, “tapi tiga alasan yang utama ialah eksistensi perusahaan-perusahaan teknologi, kemudian pendidikan dan pesiar.”
Di luar semua kalkulasi bisnis, rute ke Seattle merupakan bagian dari demam penerbangan nonstop jarak jauh di industri aviasi. Rute jenis ini terus bermunculan. Emirates misalnya, mengoperasikan Dubai-Auckland yang berdurasi lebih dari 16 jam, selisih sejam dari Doha-Auckland oleh Qatar Airways. Tahun ini, Qantas mengetes trayek Sydney-London yang kelak menjadi rute nonstop terjauh di dunia.
Lahirnya rute-rute itu dimungkinkan oleh perkembangan teknologi. Boeing dan Airbus berhasil memproduksi armada yang lebih ringan, lebih besar kapasitasnya, juga lebih hemat avtur. A350-900 misalnya, dirakit dari serat karbon ringan dan digerakkan hanya oleh dua mesin. Bagi pihak operator, itu artinya ongkos operasional yang lebih rendah. Sementara bagi lingkungan, langit berpotensi lebih “hijau.” Mesin-mesin mutakhir, misalnya Rolls-Royce Trent XWB, membuang lebih sedikit emisi karbon. “Kami ingin memastikan maskapai ikut peduli dengan isu lingkungan,” jelas Campbell Wilson, Senior Vice President Sales & Marketing SIA, tentang pemilihan A350-900 di rute Seattle.
Baca juga: Lagu Spesial dari Singapore Airlines; Singapore Airlines Sajikan Ramen di Pesawat
Dari sudut pandang penumpang, teknologi juga berkontribusi menjadikan penerbangan panjang lebih nyaman. Tekanan kabin berhasil disunat signifikan demi meminimalisasi jetlag, sementara kelembapan udara lebih mudah dijaga untuk mereduksi dehidrasi. Atas nama kenyamanan pula, langit-langit interior dibuat lebih tinggi dan jendela diperbesar.
Kendati demikian, rute nonstop menghadirkan tantangan baru dalam manajemen SDM maskapai, contohnya dalam fatigue management kru. Menurut Aloysius Wee, Deputy Chief Pilot SIA untuk A350, pilot diwajibkan melewati minimum 48 jam waktu rehat di darat jika akan terbang lebih dari 11 jam. Perubahan juga berlaku di ruang kokpit. Untuk penerbangan antara delapan hingga 11 jam, SIA mengutus dua pilot dan satu kopilot. Untuk durasi yang lebih lama, komposisinya dua pilot dan dua kopilot. “Kami tidur bergantian, pada dua jam pertama, empat jam berikutnya, dan seterusnya,” tambah Aloysius, yang juga memimpin penerbangan perdana Singapura-Seattle.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2019 (“Hubungan Jarak Jauh”)