by Putu Sayoga 04 September, 2015
Desa Kecil dalam Transisi Besar
Teks dan foto oleh Putu Sayoga
Di warung dekat rumah, seporsi bubuh tepeng hadir dengan loteng, keripik yang dibuat dari tepung dan kacang kedelai. Cara terbaik untuk menikmati bubur ini memang dengan loteng yang diremuk dan ditaburkan layaknya toping. Dari segi rasa, bolehlah saya mengutip istilah “maknyus” Bondan Winarno.
Rampung sarapan, saya berjalan-jalan menikmati pagi di sekitar rumah. Sawah membentang luas. Di kejauhan, Gunung Batukaru menjulang gagah, berdampingan dengan Gunung Sanghyang dan Pohen. Sejumlah petani mulai berangkat ke “kantor”: turun ke sawah, menumpuk jerami, menyabet rumput untuk pakan sapi.
Selamat datang di Desa Tunjuk, oasis kecil yang relatif terpisah dari hiruk-pikuk pariwisata. Sempat saya tinggalkan selama delapan tahun untuk studi di Yogyakarta, desa di Kabupaten Tabanan ini tak banyak berubah, kecuali pematang yang sering saya lewati untuk menuju pancuran (pemandian) kini sudah disemen dan bisa dilalui sepeda motor. Kata seorang kawan, dana konstruksinya bersumber dari bantuan pemerintah sewaktu musim Pilkada.
Melihat kampung saya tak banyak berubah memang menyenangkan, tapi di saat yang sama juga meresahkan. Tampak sekali regenerasi petani macet. Sawah digarap oleh orang yang itu-itu saja, tapi kini dengan tubuh yang sudah renta dimakan usia. Sawah kini lebih menyerupai panti jompo. Tapi, siapa memang yang mau jadi petani di zaman sekarang? Zaman ketika kantor lebih dihormati ketimbang sawah dan dasi lebih dihargai ketimbang cangkul.
Sejak roda bisnis pariwisata bergulir di Bali sekitar 40 tahun silam, perlahan tapi pasti turisme menggantikan pertanian sebagai tulang punggung perekonomian. Anak-anak muda mengadu nasib ke bidang jasa dan meninggalkan para orang tua mengurus sawah. Transisi zaman itu juga melanda Desa Tunjuk, tempat tinggal saya.
Masih basah dalam ingatan momen masa kecil kala saya dan teman-teman membantu menanam padi atau jagung. Sekadar menebar benih adalah aktivitas yang sangat menggembirakan, apalagi usai menerima imbalan berupa makanan dari si pemilik sawah. Sekarang, sulit sekali menemukan anak-anak yang sudi melakukannya.
Melibatkan warga dan tetangga dalam proses bertani sejatinya bagian dari metulungan, yakni tradisi gotong-royong saat menanam dan memanen. Tapi pemilik lahan sekarang lebih suka menyewa buruh tani yang biasanya berasal dari Jawa. Sawah yang tadinya ruang komunal pun bergeser menjadi obyek kerja profesional.
Di sawahnya, Wayan Larsa sibuk menumpuk jerami. Dengan rambut putih dan tubuh bungkuk, kakek berumur 70-an ini masih semangat bekerja. Melihat saya, beliau bergegas menyapa, lalu menanyakan alasan saya pulang ke kampung ini, seolah “pulang” adalah peristiwa tabu bagi seorang sarjana. Saya kemudian balik bertanya alasan beliau masih giat di usia pensiun. “Bertani adalah gairah saya,” jawabnya.
Akibat kondisi kesehatannya yang menurun, Wayan Larsa sebenarnya dilarang ke sawah oleh anaknya. Tapi petuah itu tak digubris. Andaikan sedang cuti dari sawah, dia pun tetap bekerja mencari kayu bakar untuk kebutuhan dapur. Tubuhnya seolah enggan dikurung usia. “Saya sudah bertani sejak kecil, awalnya membantu orang tua untuk menanam padi. Kalau dihitung mungkin saya sudah bertani selama 60 tahun,” jelasnya.
Saya lalu menanyakan pendapatnya tentang maraknya alih fungsi lahan menjadi bangunan. Wayan Larsa menarik napas panjang, lalu dengan tatapan gamang berkata: “Banyak orang sudah tidak mau menjadi petani. Semua lebih memilih kerja di hotel atau kapal pesiar, sehingga banyak sawah terbengkalai dan dijual.”
Di Bali saat ini, petani adalah profesi dengan masa depan yang suram. Tapi Wayan Larsa agaknya tak peduli. Baginya, bertani bukan semata pekerjaan, tapi juga hobi, rutinitas, bahkan mungkin cerminan jati diri. “Saya tetap akan ke sawah sampai saya tidak bisa lagi bekerja,” ujarnya. “Bagi saya bertani sudah seperti minum kopi. Kalau tidak ke sawah sehari saja, saya bisa sakit kepala.”
Detu Adi Wiryatama pulang dari sekolah, kemudian mengganti seragamnya dengan pakaian adat. Bersama kawannya, Koming Agung Triyamartha, dia hendak ke desa tetangga untuk berpartisipasi dalam pentas wayang atas undangan seorang dalang bernama Komang Adi Saputra. Komang Adi Saputra (35) sudah menghabiskan lebih dari separuh hidupnya menekuni wayang.
Semenjak duduk di bangku SD, dia sudah tertarik dengan dunia pewayangan, kemudian resmi menjadi dalang pada usia 16 tahun. Kini dia hendak menularkan rasa cintanya kepada kedua keponakannya. Detu Adi dan Koming Agung memulainya dengan menjadi pemain gamelan.
Menonton aksi Detu Adi dan Koming Agung, saya lagi-lagi terlempar ke masa kecil. Saya juga sempat bermain gamelan. Tapi Detu dan Koming lebih berbakat. Duet ini sanggup memainkan gender, instrumen yang berperan krusial dalam pementasan wayang, sementara karir saya mentok di klenang, perkusi yang paling mudah dimainkan dan berperan menjaga ritme lewat suara konstan “nang nang nang.”
Eksistensi seniman di desa sangat krusial dalam menyemai minat remaja terhadap seni. Berkat pelatihan mereka, bakat-bakat baru bermunculan. Interaksi lintas generasi ini amatlah penting. Darah seni memang mengalir di tubuh orang Bali, tapi tak otomatis semua orang bisa menjadi seniman. Kata kakek saya, buyut saya adalah seorang penari, dan saudaranya pernah berguru langsung dengan Ketut Marya, seniman legendaris yang menciptakan Tari Kebyar Duduk dan Oleg Tamulilingan. Kedua tari itu pernah saya saksikan dalam film dokumenter buatan Miguel Covarrubias, pelukis yang juga penulis The Island of Bali—primbon klasik bagi mereka yang ingin mengenal Bali.
Ketekunan Detu Adi dan Koming Agung membuat saya senang sekaligus bangga. Di tengah derasnya arus modernisasi, ternyata masih ada harapan bagi seni tradisional. Setidaknya regenerasi seniman lebih lancar ketimbang regenerasi petani. Tentu saja, masih ada kerikil dalam proses tersebut: banyak seniman belum mendapatkan apresiasi yang layak. Kisah-kisah miris masih kerap terdengar, misalnya tentang bayaran murah para seniman yang pentas di hotel-hotel, atau bagaimana mereka diangkut dengan truk layaknya ternak.
Rendahnya apresiasi itu berpotensi menyusutkan minat orang untuk berkarir sebagai seniman Itu mungkin sebabnya seniman “full-time” makin langka. Mayoritas menjalankannya sebagai hobi di waktu senggang. “Itu benar adanya,” ujar Komang Adi Saputra tentang rendahnya apresiasi terhadap seniman. “Sejak dulu pemerintah mewacanakan peningkatan kesejahteraan dan perlakuan manusiawi bagi seniman tradisional, tapi itu sebatas wacana.”
Sawah makin ramai oleh anak-anak yang bermain sepeda melalui jalur yang sudah disemen. Tampak pula orang-orang dewasa yang berlari sore sembari menikmati pemandangan sawah yang sudah dipanen. Sore ini, sawah di Desa Tunjuk kembali menjadi ruang komunal. Bersama beberapa keponakan, saya membuntut bapak saya mencari jamur di tengah tumpukan jerami. Jamur merang, atau oong somi dalam istilah lokal, merupakan makanan populer di musim panen. Tapi itu dulu. Sekarang cuma segelintir yang mau menyantapnya. Oong somi kini senasib dengan “menu” sawah lain seperti jubel (ulat sawah) dan belauk (larva capung) yang kian dilupakan. Bagi saya, perburuan jamur sore ini bak sebuah nostalgia: proses mengingat kembali akar saya sebagai manusia yang terlahir di lingkungan agraris.
Suara tabuhan mengalun merdu dari kejauhan, dan saya pun bergegas mengenakan pakaian adat, lalu menuju pura keluarga. Suara genta kini mulai terdengar, tanda upacara akan segera dimulai. Disambut semerbak dupa cendana, saya memasuki pura dan menemui pemedek (jemaah) yang sudah memenuhi sisi jeroan pura.
Dengan hati-hati saya membelah kerumunan dan mencari tempat kosong. Upacara ini ditujukan memperingati hari ilmu pengetahuan yang lazim dikenal dengan nama Hari Saraswati. Irama tabuhan sirna dan berganti rapalan mantra dari pendeta. Pemedek menguncupkan tangan dan berdoa dengan iringan mantra dan genta yang mengalun sinergis.
Ritual merupakan bagian dari kehidupan kampung di Bali. Hampir saban hari ada ritual. Tapi seiring pergeseran zaman, sejumlah aspek ritual pun ikut berubah. Dulu, semua ornamen bisa didapat dengan mudah di kebun, ladang, atau sawah. Kini, sebagian besar harus dibeli. Dulu juga, warga bisa lebih mudah meluangkan waktu untuk ritual berkat kesamaan profesi sebagai petani. Sekarang, ritual kerap berbenturan dengan jam kerja kantor.
Fenomena itu mengingatkan saya pada kata-kata Gde Dwitya, alumni Center for Religious and Cross-cultural Studies, perihal manusia Bali kontemporer. Menurutnya, orang Bali sedang berada di persimpangan jalan antara peradaban modern dan tradisional. Apakah kedua kutub itu akan berjalan beriringan atau malah berbenturan, hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Petani tua, remaja pencinta wayang, sawah dan jamur di musim panen, semua memang sedang berpacu melawan waktu. Tak jelas siapa yang bakal menang. Tapi, sore ini, saya hanya ingin mendengarkan kembali lirik syahdu dari Pink Floyd: “Home, home again. I like to be here when I can.”
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2015 (“Bali Kembali”)