Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kobror, Tanah Pemburu Cenderawasih

Kiri-kanan: Seorang pria Kobror di teras rumahnya yang dirakit dari kayu hutan; Seekor biawak diikat di tiang dan siap dijual seharga Rp25.000 ke pengepul di kota Dobo.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Yoppy Pieter

Lebih dari 150 tahun silam, naturalis Inggris Alfred Russel Wallace datang ke Kobror dalam sebuah misi yang penting bagi dunia taksonomi: berbelanja cenderawasih. Di pulau yang dihuni orang-orang berkulit gelap dan berambut keriting ini, Wallace membeli beberapa ekor cenderawasih dengan harga murah.

Meski misinya tercapai, Wallace menyesal karena gagal menyaksikan langsung tarian sang burung di habitat aslinya. Dia memang datang pada momen yang keliru. Cenderawasih hanya menari pada musim kawin, ketika laut sedatar cermin dan kemarau panjang menggantang sekujur pulau. Sementara Wallace berkunjung pada musim Angin Barat, saat angin bertiup kencang, laut mengamuk, dan hujan mengguyur nyaris tanpa reda. Dia menyebut ekspedisinya itu “liar dan berbahaya.”

Saya datang ke Kobror bukan untuk membeli bird of paradise, melainkan semata dihanyutkan oleh rasa penasaran: seperti apa hidup di pulau yang seolah dinafikan dari peta ini? Saya datang bersama seorang tentara berpangkat sersan, Niko Lefumonai. Dia hendak mudik ke Pafakula, sebuah kampung di pinggir Kobror, di mana ribuan cenderawasih hidup dalam habitatnya. Kami berangkat dari sebuah pelabuhan di Dobo, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Aru, kota ramai yang disebut Wallace sebagai tempat bermukimnya para saudagar Bugis dan Cina. Waktu itu, jalur perdagangan Eropa belum menyentuh tempat ini.

Kiri-kanan: Rumah-rumah kayu di pesisir pantai Pulau Kobror; seorang anak memamerkan hasil memancing di dermaga.

Tugu jangkung Komodor Yos Sudarso berdiri tegak di pinggir jalan utama Dobo. Dia Laksamana yang meninggal di Laut Aru dalam sebuah pertempuran merebut Irian Barat. Di kota kecil yang dibingkai pesisir karang ini, lidah saya diajak berkenalan dengan beragam masakan “purba.” Ada sup dan bakso rusa, juga kue-kue berbahan ubi. Semua dijajakan di warung-warung kecil pinggir jalan dengan harga yang tak perlu dicemaskan.

Dari Dobo, saya dan Niko meluncur ke Desa Benjina, Ibu Kota Kecamatan Aru Tengah. Kami naik kapal kayu yang disesaki sekitar 30 penumpang, mayoritas berprofesi pedagang. Mereka yang datang dari Pulau Kobror membawa pisang ke Dobo, lalu kembali ke Kobror dengan membawa mi instan, rokok, garam, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Laut tenang sepanjang perjalanan, tapi kapal kayu yang kami tumpangi terus mengeluarkan suara derak yang mencemaskan. Butuh empat jam untuk menjangkau Benjina. Sampai di tujuan, kami berhenti untuk beberapa lama.

Kiri-kanan: Seorang perempuan bersiap menuju ladang di hutan yang berjarak sekitar 15 kilometer dari rumahnya; Kanguru, salah satu satwa buruan favorit dan sumber protein warga.

Tenaga kerja asal Thailand dan Myanmar berkeliaran di Benjina. Di lepas pantainya, kapal-kapal raksasa milik perusahaan penangkap ikan beroperasi mengeruk tuna-tuna gemuk dari perut Laut Aru. Di pelabuhan, musik berdentum siang dan malam, lampu-lampu suar bersaing dengan neon warna-warni pusat hiburan malam.

Perempuan-perempuan berkulit cerah, dengan buah dada yang dibiarkan separuh menyembul dan paha putih yang tersingkap hingga ke pangkal, menyelinap di antara pria berkulit gelap dengan sorot mata yang lelah tapi merah. Sementara itu, beberapa lelaki sipit dengan kulit yang lebih terang duduk berjejer di luar “diskotek,” berbincang dalam bahasa yang tak saya pahami, kadang diselingi patahan bahasa Melayu seadanya. Mereka bergoyang, menenggak arak, dalam buaian angin laut yang tak banyak bergerak.

Diskotek Benjina, begitu orang menyebutnya, hanyalah bangunan kayu di tepi barat Kobror. Tiang-tiang penyangganya menghunjam ke laut, sebagian dipancang ke karang. Inilah “red light district” bagi para awak kapal penangkap ikan. Mereka “berkantor” sekitar 1,5 kilometer di seberang pusat hiburan, persisnya di Pulau Maekor. Sebagaimana semut menyerbu stoples gula, perempuan-perempuan molek datang silih berganti dari pulau lain demi melayani para nakhoda dan kelasi.

Kiri-kanan: Hasil kebun dan beragam anak panah; Para perempuan menempuh 1-2 jam perjalanan menuju sumber air tawar.

Tapi tempat ini tak selalu semanis gula. Tingkat kematian begitu tinggi, setidaknya untuk standar sebuah ibu kota kecamatan. Hampir tiap minggu korban jatuh akibat perkelahian atau overdosis arak. “Bukan tiap minggu. Tapi tiap hari! Selalu ada yang mati di sini. Lihat, kuburan orang Thailand saja jauh lebih banyak daripada kuburan orang Aru sendiri,” ujar Elvis, pria Kobror berbadan tegap.

“Kita tidak akan menginap di sini,” kata Niko, yang kemudian mengajak saya ke kampungnya yang berada tak jauh dari Benjina. Tapi, sebelum berangkat, dia membawa saya berkeliling Kobror dengan perahu sewaan. Kami singgah di gerbang perusahaan pengolahan ikan, lalu dihadiahi tiga ekor tuna sepanjang satu meter. Untuk seorang sersan seperti Niko, mendapatkan “kado” semacam itu bukanlah perkara sulit.

Kami melompat ke perahu bermesin tempel berkapasitas empat orang, lalu meluncur ke Desa Pafakula, tanah kelahiran Niko. Di atas perairan yang kalem, perahu melesat mulus bagaikan tuna membelah laut. Cahaya bulan berpendar jauh. Tak sampai dua jam, kami mendarat di Pafakula. Saya akhirnya singgah di tanah para pemanah, kaum yang hidup dari berburu.

Kiri-kanan: Ibadah Minggu di gereja Katolik; Kakatua, salah satu ‘komoditas’ investasi yang kerap digadaikan di kala susah.

Dermaganya ramai oleh anak-anak. Gerbang Pafakula sangat simpel: dibentuk oleh kayu yang bersusun sepanjang belasan meter. Beberapa wanita menyambut kami, membantu mengangkat barang bawaan kami, termasuk tiga ekor tuna. Malam turun di Kobror. Malam yang berarti kegelapan yang nyaris sempurna. Hanya dua-tiga rumah yang dilengkapi lampu bertenaga diesel, sebab kabel PLN terlalu pendek untuk menjangkau tempat terpencil yang terapung di antara Papua dan NTT ini.

Bertepatan dengan kedatangan kami, beberapa perahu terlihat hendak berangkat ke Benjina. “Suntuk, kami berangkat dulu,” kata seorang lelaki seraya menyulut mesin tempel. Benjina adalah jawaban segala keluh kesah, bukan hanya bagi awak kapal ikan, tapi juga penduduk lokal.

Di rumah tanpa jendela yang didiami 15 anggota keluarga Niko, beberapa laki-laki datang silih berganti, masuk ke ruang tamu, menyalami saya. “Saya ingin melihat cenderawasih menari,” kata saya seadanya. Hanya itu jawaban saya saat pertanyaan berikut meluncur: apa yang engkau cari?

“Tepat, tepat sekali. Kau datang tepat pada musimnya,” ujar seorang kakek dengan punggung yang nyaris bungkuk. Sayid Lefumonai menyalami saya untuk kedua kalinya. “Memangnya, tadi di Benjina tidak lihat itu cenderawasih? Di sana lebih mudah menangkapnya, to?” Semua orang di rumah ini tertawa mendengarnya. Sayid tua berkelakar dengan lelucon yang jauh lebih muda dari umurnya.

“Mereka sudah susah dicari,” kata Sayid lagi, setelah suara tawa mereda. “Harus masuk ke hutan dulu,” Niko berbisik pada saya, menyadari kebingungan saya akan lompatan pembicaraan Sayid. Kata Niko, “mereka” yang kini dimaksud Sayid adalah cenderawasih sebenarnya, bukan perempuan-perempuan pemantik berahi di Benjina.

“Kalau hanya itu alasanmu ke sini, saya masih menyimpannya, masih baru,” tutur lelaki lain, Minggu, yang berbadan tegap dengan otot liat di sekujur tubuhnya. Namanya Minggu karena dia memang terlahir pada hari Minggu. Dia muncul dengan empat ekor cenderawasih. “Tapi yang ini sudah tidak lagi bisa menari,” kata seorang lain meningkahi, dan semua orang kembali tertawa.

Kiri-kanan: Senapan angin sudah tersedia, tapi peran busur belum tergantikan; Cenderawasih berdansa di antara dedaunan.

Empat ekor cenderawasih dengan bulu menjuntai telah diawetkan. Minggu akan menjualnya ke Dobo, di mana “burung surgawi” itu akan dihargai Rp400-600 ribu per ekornya oleh cukong. Dari perdagangan aviator eksotis ini, Minggu mampu membiayai sekolah keempat anaknya.

Semua lelaki di Kobror sepertinya sadar, mereka terlahir sebagai pemburu. Dalam tubuh mereka mengalir darah pemanah-pemanah ulung di masa lalu. Senapan angin memang telah beredar, tapi belum sepenuhnya menggantikan peran busur dan anak panah. “Dulu, dalam sepekan, saya bisa menangkap hingga 30 ekor,” kenang Sayid. “Sekarang saya sudah tidak lagi berburu. Buat apa? Anak saya tidak ada lagi yang sekolah.”

Orang-orang Kobror tidak hanya membidik burung, tapi juga rusa, kasuari, serta hewan berkantong seperti kuskus dan kanguru. Nyaris semua fauna yang hidup di pulau ini diburu. “Dua tahun lalu, saya butuh uang banyak sekali. Adik saya ingin kuliah. Anak saya secara serempak akan masuk sekolah. Saya terpaksa berburu hingga ke Papua sana,” kata Minggu berapi-api.

Kiri-kanan: Sayid dan Minggu, dua pemburu dari dua generasi di belantara Kobror; Burung nuri, salah satu satwa buruan warga.

Di Kobror, menjadi pemburu bagaikan takdir profesi. Anak-anak telah bermain busur bahkan ketika masih dalam perut ibunya, kata anekdot setempat. Namun tak semua burung dibunuh dan dijual; beberapa dirawat sebagai hewan peliharaan. Jika pria di Jawa gemar “bermain” merpati, orang di sini menyukai kakatua raja, kakatua biru, dan kakatua putih. Satwa menawan ini dipelihara tanpa sangkar. Pada siang hari, mereka akan melayang ke hutan, lalu kembali pada sorenya. Tapi, kenapa tidak ada yang memelihara cenderawasih?

Pertanyaan saya membuat Sayid terpingkal. Giginya tinggal empat buah dan gusinya menghitam dibakar bara tembakau. Fanean atau cenderawasih digolongkan sebagai burung mangar, burung dari kayangan yang diturunkan Tuhan ke bumi. Dalam mitologi masyarakat Gwanabai—masyarakat yang hidup di Kobror—ada dua pusaka yang diturunkan Tuhan: fanean dan em (mutiara). Kedua mainan para bidadari itu turun ke bumi untuk menemani Adam dan Hawa yang terusir dari firdaus.

Ada lagi alasan cenderawasih tidak ditangkarkan. Masyarakat Kobror percaya, nenek moyang mereka berasal dari cenderawasih. Memeliharanya berarti membunuhnya secara perlahan. “Tidak ada yang lebih cerdas dari cenderawasih,” kata Sayid. “Jangankan untuk dipelihara; belum seorang pun menemukan di mana ia bertelur.”

Kiri-kanan: Sayid, pemburu senior di Kobror; Burung-burung melayang di atas rimba Kobror.

Hidup di Kobror pada musim Angin Timur adalah hidup dalam ketiadaan air. Musim panas yang panjang tengah melanda tanpa ampun. Perempuan-perempuan berjalan hingga belasan kilometer demi mencapai sumber air, kadang tanpa mendapatkan air bersih. Tapi pada musim inilah perburuan cenderawasih digelar.

Suatu pagi, mesin tempel perahu telah menderu. Elvis, yang telah kembali dari Benjina, menstarternya. Obet dan beberapa lelaki mengekang senapan angin. Perempuan-perempuan masuk ke perahu. Semuanya menanti saya.. Tapi kami tidak hendak berburu cenderawasih. Kami akan “berburu” air. Belasan kilometer jauhnya. Air tidak lagi dicari di tengah pulau, sebab pasokannya sudah kering, jadi kami akan merantau ke pulau lain.

Perjalanan mencari air seperti liburan keluarga. Semua anak-anak ikut. Tampaknya mencari air jauh lebih penting daripada mencari guru. Tiap desa di Kobror memiliki satu SD, sementara SMP hanya ada di ibu kota kecamatan—Benjina. Jadwal sekolah pun tidak menentu. Bila ada guru, anak-anak bersekolah. Bila musim berburu datang (berburu cenderawasih ataupun air) sekolah diliburkan. Pendidikan formal bukanlah kebutuhan penting di sini.

Kiri-kanan: Cenderawasih rata-rata dijual Rp500.000 per ekor kepada pengusaha taksidermi; Sayid menembus hutan dengan membawa senapan berburu.

Di musim hujan, orang-orang berburu rusa. Di musim kemarau, mereka berburu burung dan kepiting besar—juga berburu air seperti sekarang—walau anak-anak lebih suka menangkap biawak, yang kemudian dititipkan pada seseorang yang hendak pergi ke Dobo untuk dijual.

Di Kobror, orang menyantap apa saja demi mengisi perut: kepiting rebus, kasuari bakar, sup kanguru, gulai kuskus, babi, kakatua, nuri, rusa. Tidak ada padi. Tidak ada beras. Yang ada sayuran hijau, sagu, serta kasbi atau ubi.

Seretnya air memaksa saya tidak mandi berhari-hari. Air hanya untuk diminum, dan saya tidak tega memakainya untuk membasuh tubuh, sekalipun Obet dan istrinya berkali-kali dan hampir nyinyir mempersilakan saya menggunakan air di rumah untuk keperluan apa saja.

Perburuan air bersih menyita waktu seharian, sejak pagi hingga senja. Dalam ekspedisi yang melelahkan ini, rombongan saya masih sempat memeriksa jerat yang dipasang pada hari-hari sebelumnya. Dua ekor burung nuri dan seekor kanguru terperangkap. Saya pun mulai membayangkan menu malam ini. Perahu yang menampung air dan 10 penumpang membawa kami kembali ke Pafakula. Desa ini kembali ramai oleh canda dan tawa anak-anak.

Kiri-kanan: Gua Guanabai, situs sakral di Kobror; Daging kuskus dan burung cekakak hasil buruan.

Malam ini, Obet meracau tak keruan. Anjing peliharaannya, Burik, menggigit seorang anak. Si korban akan segera dibawa berobat ke Benjina, tempat satu-satunya di sini yang memiliki rumah sakit. Sekarang Obet mengutuki anjing tersebut, dan beberapa remaja sedari tadi berkeliaran dengan parang dan tombak untuk menghukum si pelaku.

Malam datang membawa gelap. Kegelapan dalam artian yang sebenarnya. Tapi, di Benjina sana, lautan akan dipenuhi cahaya, kata Obet. “Seperti di Hong Kong, kapal-kapal akan menyalakan lampu penangkap tuna. Semua terang, bahkan bayi tuna pun bisa kau lihat dari atas kapal,” kata Obet lagi, mengalihkan pembicaraan dari anjingnya yang bersembunyi di hutan. Obet terus menenggak arak dan meracau. Sesekali lolongan anjingnya terdengar dari kejauhan. Kantuk membunuh saya lebih cepat.

Lonceng gereja berdentang pelan di Minggu pagi. Dengan mata yang masih merah, Obet menyisir rapi rambutnya. Sisa mabuk semalam masih berbekas. Rika, anaknya, telah mandi dan berdandan, mengoleskan gincu, mengenakan baju merah menyala. Mereka menggenggam Alkitab, kemudian berangkat ke gereja yang berjarak hanya 10 meter dari rumah.

Di desa yang populasinya tak sampai 1.000 jiwa ini, Kristen dan Islam hidup berdampingan. Niko seorang Protestan, sedangkan Sayid, adik kandung bapaknya, menganut Islam. Ketika kor di gereja bergema ke seantero kampung, Sayid menemui saya, “Besok pagi kita ke hutan!”

Kiri-kanan: Keluarga petani yang sedang menetap di pesisir Kobror; Anak-anak berenang di perairan tepi desa.

Waktu bergerak secepat rusa berlari. Pagi-pagi sekali, perahu telah disiapkan. Sayid ingin ikut berburu. Menantunya, Minggu, hanya tersenyum melihat Sayid meregangkan busur. Dengan tubuh renta, Sayid seakan tidak kuat lagi menariknya, tapi matanya berkaca-kaca terbakar semangat seorang pemburu gaek dari masa silam. Menaiki perahu bermesin tempel, kami menelusuri kanal-kanal sempit, menusuk rawa dan hutan bakau yang didiami buaya.

Turun dari perahu, kami berjalan menerabas ladang-ladang penduduk. Usai seharian berjalan, kami tiba di sebuah pondok di tengah ladang. Kami disambut Romanus Faturara. Faturara merupakan nama klan yang disegani di tanah Gwanabai. “Saya telah mengetahui kedatangan Anda. Anda orang baik yang datang dari Barat,” katanya membuka perbincangan. Saya seperti sedang menonton film silat. Futurara, pria yang tidak pernah beranjak dari hutan Aru, bisa menerawang jauh hingga Sumatera.

Saat malam turun lagi, kami menikmati seekor ayam hutan yang diburu Minggu, juga burung maleo hitam dan seekor nuri yang dijatuhkan oleh bidikan Niko. Pagi muncul kembali dan kami terus berjalan, kadang rehat di pondok-pondok yang ditinggal peladang, kemudian berjalan lagi hingga malam kembali datang.

Berbeda dari hari-hari sebelumnya, Sayid tua lebih banyak diam. Tapi kakek 70 tahun ini akan menjadi penentu perburuan malam ini. Anak dan menantunya, Niko dan Minggu, telah menghabiskan berjam-jam tanpa hasil.

Kiri-kanan: Sepak bola, hiburan yang menyatukan komunitas; Rumah-rumah kayu berdiri di dataran miring berbatu karang.

Purnama bersinar terang, momen yang buruk untuk berburu, padahal semua bekal telah sirna. Minggu dan Niko menyerah. Tak seekor pun mangsa didapat. Rasa lapar kian menyiksa perut. Kembali ke Desa Pafakula bukanlah pilihan. Jaraknya terlampau jauh. “Seorang pemburu tidak akan kelaparan di tengah hutan!” Sayid berusaha memompa semangat. Dia keluar dari pondok, meraba busur yang tergantung, lalu memasang talinya. Tapi tangannya gemetar. Tubuhnya setengah bergoyang. Barangkali badannya terlalu sepuh. Dia kemudian berpaling pada selaras senapan yang tergolek di samping tungku, kemudian raib di balik rapatnya pepohonan.

Tak sampai hitungan jam, Sayid kembali dengan seekor kuskus yang digantung di ujung senapan. Binatang marsupial yang hidup bergelayutan di pohon itu masih meneteskan darah segar dari hidungnya. Di kantongnya, ada bayi yang masih putih dan belum berbulu. Harapan untuk menambal lapar tersaji di depan mata. Tapi rasa iba menyergap Yoppy, fotografer saya. Kuskus itu terlalu imut dan bayinya terlampau menggemaskan.

Ini tangkapan pertama Sayid setelah hampir 10 tahun cuti berburu. Dia membuktikan, kepiawaiannya di masa muda bukan isapan jempol. Baginya, tak ada pohon yang terlalu tinggi, tak ada rimba yang terlalu gelap. “Segala yang terbang akan saya tangkap,” katanya tegas. Dia pemburu lihai di zamannya. Dan, kelihaian itu coba dipelajari hari ini oleh menantu dan anaknya.

Niko membedah perut kuskus, membakarnya, membumbuinya seadanya. Sang koki hutan meracik menu makan malam kami: daging kuskus dengan taburan garam dan cabai. Dagingnya empuk, lebih liat dan amis dari daging sapi. Seratnya halus dan membuat badan panas. Kami bersantap di bawah purnama yang begitu terang.

Di ujung senja, para petani kembali dari ladang dan melabuhkan sampan di pesisir.

Pagi-pagi sekali, kami terjaga oleh nyanyian cenderawasih. Saudagar-saudagar Melayu di masa lalu menyebutnya “manuk dewata.” Cenderawasih di Aru lebih besar dari yang terdapat di Papua. Ekornya juga lebih panjang. Bulunya yang cerah menyeruak dari bawah kedua sayapnya, membentuk rangkaian yang menyerupai kipas. Sementara bulu tengah pada ekornya menjadi semacam dawai yang terpilin. Wallace mencatat, “tidak ada yang melampaui keindahan cenderawasih!”

Mereka hinggap pada sebuah pohon besar. Lima ekor cenderawasih bertengger dan saling merentangkan sayap, membentuk formasi, siap menari, persis saat matahari baru akan muncul. Sambil menunjuk ke atas, Sayid berbisik, “tujuan kedatanganmu telah tercapai, bukan?”

Saya tidak meresponsnya. Mata saya tersedot pada lima ekor pejantan yang sedang mengibaskan sayap dan mengepak-ngepakkan ekor. Bulu di kepala, punggung, dan bahu mereka berkilauan diterpa sinar surya yang masih lindap. Mereka melantunkan suara secara serempak, berkoak setengah parau, kemudian menyurukkan kepala ke dalam bulunya dalam-dalam, berputar-putar seperti gasing, kemudian kembali mengibaskan bulu-bulu. Di akhir resital itu, sang betina memilih seekor jantan, kemudian pasangan baru itu pun pindah ke cabang lainnya untuk berbulan madu.

Sayid mencoba membidik seekor di antaranya, tapi urung, entah kenapa. Barangkali baginya, berburu mesti dilandasi alasan yang kuat.

Matahari telah tinggi. Kami kembali berjalan membelah belantara rimbun. Di tengah perjalanan, saya melihat dua ekor kanguru. Di sisi rimba yang lain, saya mendapati ayam hutan dan kasuari berlarian di dekat kami. Kobror seperti taman safari raksasa dengan penghuni yang berlimpah dan beragam. Mungkin karena itulah, berabad-abad lalu, Wallace sudi datang jauh-jauh ke sini, menggelontorkan biaya besar untuk ekspedisinya yang termasyhur itu. Tetapi, seperti juga Wallace, saya kini harus pulang.

PANDUAN
Rute
Jangan membayangkan pantai berpasir putih yang terhampar lapang di sini. Lanskap Kobror rata-rata terdiri dari pulau karang dengan tepian yang didominasi rawa dan bakau. Untuk menjangkaunya, Anda harus terbang ke Ambon menaiki Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) atau Batik Air (batikair.com), lalu menaiki Trigana Air (trigana-air.com) menuju Dobo, Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Aru. Dari Dobo, Anda bisa menyewa perahu bertarif Rp1.000.000 menuju Benjina, Ibu Kota Kecamatan Aru Tengah, lalu ke Desa Pafakula di pinggir Kobror. Untuk berkeliling pulau, perahu bisa disewa dengan tarif Rp2.500.000 per hari.

Penginapan
Jumlah penginapan di Dobo bisa dihitung dengan jari. Kamar termewah hanya dilengkapi AC dan TV. Dua opsi yang bisa dipilih adalah Hotel Mazda (Jl. Cenderawasih; 0917/21217) dan Penginapan Suasana Baru (Jl. Ali Moertopo; 0917/21940) dengan tarif berkisar Rp200.00-400.000. Di desa-desa di Kobror, Anda hanya bisa menginap di rumah penduduk. Tapi karena situasi sering memanas akibat pembukaan kebun tebu oleh PT. Menara Group dua tahun silam, sebaiknya menginap di rumah warga lokal. Mon Tamsi (0813-3271-1568) atau Gusti (0823-9852-8564) bisa memandu Anda untuk mencarinya.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2015 (“Tanah Nisbi Gwanabai”)

Show CommentsClose Comments

3 Comments

Leave a comment

0.0/5