Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Desa Nelayan di Hong Kong Berubah Jadi Tempat Wisata

Kiri-kanan: Hasil laut menjadi sandaran utama bagi banyak warga Tai O; seorang nelayan menanti ikan yang kian jarang di Dermaga Tsai Po, tempat feri antar pulau bersandar.

Oleh Alex Frew McMillan

Di tepian barat Hong Kong, saat lampu-lampu kasino di Makau terlihat jelas dari seberang Pearl River Delta, desa nelayan Tai O terhampar kaku bagaikan benteng yang menghadang topan dari Laut Cina Selatan. Sebidang lahan di sudut Hong Kong ini nyaris dilupakan. Tai O berada di sisi tonjolan pulau, sekitar delapan kilometer dari bandara internasional dan belantara beton residensial. Meski jaraknya sangat dekat, Hong Kong yang modern seolah terpisah oleh jurang peradaban yang dalam dari Tai O, permukiman sibuk yang dirintis pada masa akhir kekuasaan Dinasti Qing.

Hari ini, jalan-jalan sempit Tai O dijejali barisan warung seafood, membuat udara dipenuhi aroma ikan asin, telur bebek, dan udang kering. Tidak ada mobil di sini. Perempuan-perempuan lokal kerap tampil mengenakan topi khas Hakka—baki lebar berbahan jerami yang dibalut tabir guna menangkal mentari yang kadang bersinar terik di teluk.

Di dekat kanal yang memisahkan daratan Lantau dari sebuah pulau bakau, rumah panggung (disebut pang uk dalam bahasa Kanton) bertaburan di atas air tenang. Beberapa berlantai dua dan tiga. Penduduk asli Tai O adalah kaum nelayan terapung yang hidup di sampan-sampan di sepanjang pesisir Hong Kong, lalu bermigrasi ke kantong-kantong semacam Po Toi dan Yau Ma Tei. Hanya di Tai O rumah-rumah panggung warisan mereka kini bisa ditemukan.

Tapi eksistensi para penghuninya sedang dalam posisi rentan. Memancing adalah aktivitas penyambung hidup yang utama selama beberapa generasi, namun kehadiran perahu bermesin dan jaring pukat nilon pada 1950-an telah mendatangkan bencana overfishing. Ikan yellow croaker yang dulu menyumbang hampir separuh dari total panen laut Tai O, telah merosot dari 546.000 kilogram pada 1954 menjadi sekitar 20.000 kilogram pada 1958. Walau belum lama ini larangan pukat harimau diterapkan, industri perikanan belum pulih sepenuhnya dan stok ikan masih minim.

Nasib serupa menimpa bisnis garam. Di masa jayanya, warga Tai O memanen garam dari tambak seluas 28 hektare, membersihkannya dari pasir dan air laut, lalu memproduksi ratusan ton garam siap jual per tahun. Setelah okupasi Jepang di Hong Kong berakhir pada 1945, industri garam lokal luluh lantak, lalu bangkrut total akibat pembangunan Jalan Tai O pada 1969—proyek yang berjasa membuka akses dunia ke desa, tapi di saat bersamaan memotong sistem pengairan di ladang garam. >>>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5