Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Koleksi Foto-Foto Wisata Kuno

Foto jalan menuju Palais Garnier dari arsip dinas ke Paris pada 1970-1980-an.

Memasuki periode 1980-an, foto perjalanan lebih variatif. Salah satu arsip yang menarik merekah jadi praktik umum, terutama setelah kamera banyak tersedia di pasar berkat kian terbukanya keran impor produk asing. Dari arsip yang terkumpul, foto bertema perjalanan cukup dominan. Sejak lama, fotografi memang berhubungan mesra dengan wisata. Menenteng kamera saat trip, mengabadikan pemandangan, serta mengumpulkan dokumentasi dalam album foto, adalah laku yang lumrah. Sebagaimana kini, motivasi masyarakat dulu untuk bepergian pun beragam, mulai dari piknik keluarga, ziarah, pertukaran pelajar, hingga kunjungan kerja. Arsip Unhistoried menunjukkan destinasi favorit keluarga Indonesia meliputi situs prasejarah, pesona alam, dan monumen penting. Tercakup dalam Tujuh Keajaiban Dunia, Candi Borobudur kerap terekam, mulai dari foto hitam putih buatan 1970-an hingga foto berwarna bertarikh 1980-an.

Pada beberapa lembar foto terlihat orang-orang yang berupaya menyentuh patung Buddha di dalam stupa Borobudur. Mitos semacam ini ternyata berjejak panjang. adalah seri foto trip panjang mengelilingi Eropa pada 1980. Tetirah berdurasi hampir sebulan ini diabadikan dalam slide positif dan disertai catatan-catatan hasil ketikan—sebuah kriya unik yang menggambarkan makna sentimental arsip foto saat itu. Kombinasi visual dan teks ini membentuk sebuah kaleidoskop perjalanan bertajuk “1980 European Holiday.”

Selanjutnya, berpindah ke dekade 90-an, foto perjalanan kian melimpah, baik perjalanan domestik maupun mancanegara. Unhistoried memiliki sebuah album milik keluarga yang didedikasikan untuk menampung foto wisata lintas negara. Di dalamnya terangkum foto-foto mereka di banyak negara, termasuk Singapura, Hong Kong, Jepang, Mesir, Belanda, Spanyol, Denmark, hingga Amerika Serikat. Kita bisa membaca kisah ini dari beragam sudut: simbol pertumbuhan (atau kesenjangan) ekonomi, peningkatan gairah wisata, atau perbaikan tingkat pendidikan dan penguasaan bahasa asing.

Kebiasaan merogoh arca di Borobudur terekam dalam foto 1970-an.

Dalam pengarsipan foto keluarga Indonesia, Unhistoried awalnya melakukan kategorisasi, katalogisasi, serta pemetaan tema-tema besar. Beberapa tema yang kerap muncul adalah foto liburan, dokumentasi pekerjaan, serta ritus, termasuk kelahiran, kedewasaan, pernikahan, dan kematian. Jika pengarsipan adalah proses merapikan ingatan, maka Unhistoried berusaha membuat ingatan itu lebih mudah dicerna.

Tahap berikutnya ialah memproduksi karya artistik dan riset. Sekarang Unhistoried fokus melihat bagaimana semangat dan sejarah nasional Indonesia pada era Orde Baru tecermin dalam foto keluarga. Dari sini, harapannya, akan lahir sebuah karya artistik yang menggunakan foto keluarga sebagai metode pembacaan sejarah, seraya di sisi lain memahami cara fotografi difungsikan oleh keluarga di Indonesia.

Salah satu tantangan Unhistoried ke depan ialah proliferasi kamera digital. Kamera jenis ini kian canggih, kian praktis, juga kian variatif harganya. Kita kini menyaksikan betapa kamera, terutama yang terpasang di telepon genggam, telah menjadi barang massal. Dokumentasi keluarga, termasuk momen personal dan wisata, bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Di titik ini, fotografi bisa dibilang telah merekah jadi “medium demokratis” yang melintasi kelas sosial.

Foto pemandangan pesisir Sumatra yang diambil dalam agenda perjalanan kerja pada 1980-an.

Problemnya kemudian ialah pengarsipan foto. Teknologi digital telah menggeser tradisi membuat album keluarga, termasuk di dalamnya proses afdruk, penataan foto, serta sentuhan kriya yang menjadi perilaku unik masyarakat terhadap fotografi. Alih-alih, banyak orang menyimpan foto dalam hard disk. Tak ada entitas fisik yang memberikan kesempatan penemuan foto kembali ketika ia hilang. Sebagian orang memilih menimbun foto di cloud atau memajangnya di media sosial—keputusan yang membuat foto rentan tersesat dalam laci- laci internet.

Fotografi, yang awalnya diciptakan untuk mengabadikan citra, kini menghadapi tantangan “kepunahan” baru: lepas dari bentuk fisiknya, ia utuh secara digital, namun ditelan kelimun data dalam gudang maya. Selama terkunci kata sandi pemiliknya, mereka tak akan menjadi foto yatim-piatu, tapi terancam menjadi foto yang telantar—dan tak ada pasar loak yang akan menjualnya.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Januari/Maret 2020 (“Kolase Kenangan”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5