by Christina Setyanti 07 June, 2024
Kenapa Sekarang Turbulensi Jadi Lebih Sering Terjadi?
Sejak beberapa waktu lalu, dunia dikejutkan dengan peristiwa turbulensi parah yang dialami maskapai Singapore Airlines.
Para penumpang menggambarkan kejadian tersebut sangat dramatis dan kacau balau. Penerbangan pesawat SQ321 yang membawa 229 penumpang dan awak itu, awalnya berjalan normal.
Namun tiba-tiba, pesawat yang tengah terbang dari London ke Singapura ini menukik tajam dari ketinggian pada ketinggian 37.000 kaki dari London ke Singapura.
Selain SQ, beberapa hari kemudian, Qatar Airways juga mengalami turbulensi. Penerbangan QR017 dengan Boeing 787 Dreamliner ini terbang dari Doha ke Dublin dan berhasil mendarat dengan selamat.
Baca Juga: 10 Rute Penerbangan dengan Turbulensi Terhebat di Dunia
Apa itu turbulensi?
Umumnya, turbulensi terjadi karena pertemuan udara pada temperatur, tekanan, atau kecepatan yng berbeda satu sama lain.
Selain itu, fenomena guncangan di pesawat juga bisa terjadi karena faktor cuaca dan geografis, misalnya saat pesawat melintasi badai petir, awan, dan pegunungan.
Meski biasanya faktor cuaca buruk jadi penyebab paling umum untuk turbulensi, di tengah cuaca cerah gangguan ini juga bisa terjadi.
Dan Bubb, mantan pilot yang kini menjadi ahli sejarah penerbangan di University of Nevada mengungkapkan, fenomena ini disebut sebagai clear-air turbulence.
Kepada Mashable, dia menyebut, clear-air turbulence disebabkan oleh ketidakstabilan udara akibat pesawat komersil yang terkadang terbang di altitude yang lebih tinggi.
Sesuai namanya, clear-air turbulence ini terjadi di cuaca yang cerah maka ‘bahaya’ ini tak terlihat dari kokpit dan bahkan tak terdeteksi di radar cuaca di pesawat.
Marco Chan, mantan pilot komersial dan dosen penerbangan di Buckinghamshire New University mengungkapkan bahwa melintasi beberapa area juga bisa menyebabkan fenomena ini, misalnya melintas di atas Teluk Benggala.
“Insiden Singapore Airlines terjadi di zona konvergensi antartropis, di mana badai petir lebih sering terjadi.”
“Badainya sendiri muncul di navigasi pilot, tapi seringkali tidak mungkin bisa sepenuhnya menghindari gugus badai yang bisa membentang lebih dari 50 mil di atas laut,” katanya dikutip dari Guardian.
Baca Juga: Daftar 50 Restoran Terbaik di Dunia 2024
Krisis Iklim Global
Lebih jauh dari penyebab alam seperti cuaca buruk, peneliti dari University of Reading menyebut bahwa saat ini krisis iklim global menjadi penyebab banyaknya turbulensi.
Dalam jurnal Nature, Paul Williams, sang peneliti menyebut bahwa temperatur bumi yang semakin memanas karena global warming akan berkontribusi pada peningkatan turbulensi pesawat.
Mengutip Smithsonian, dalam studi yang dimuat di Advancing Earth and Space Sciences pada 2023, menyebut ada 55 persen peningkatan kasus turbulensi sejak 1979-2020.
Baca Juga: Marriott Buka Resor Baru di Lampung
“Saya hanya bilang, jika Anda merasakan 10 menit turbulensi di masa lalu, maka bisa jadi meningkat 20-30 menit di masa depan,” katanya.
Williams mengatakan bahwa peningkatan frekuensi kasus ini hampir pasti terjadi karena pengaruh perubahan iklim yang memperkuat jet stream (aliran angin yang bergerak sangat cepat dan berkelok seperti sungai) yang menyebabkan turbulensi.
Di atmosfer, udara yang lebih hangat akan menampung banyak uap air. Ini akan menyebabkan suhu jadi lebih panas dan perbedaan suhu udara makin tinggi.
Udara yang lebih hangat kini meningkatkan jumlah pergeseran angin, perbedaan kecepatan angin pada ketinggian yang berbeda di dalam jet stream.
Ketika pesawat berada di dekat jet stream maka risiko turbulensi akan terjadi.
Para peneliti juga memperkirakan bahwa turbulensi parah akan meningkat dibanding frekuensi ringan dan sedang di masa mendatang.
Sejak beberapa waktu lalu, dunia dikejutkan dengan peristiwa turbulensi parah yang dialami maskapai Singapore Airlines.
Para penumpang menggambarkan kejadian tersebut sangat dramatis dan kacau balau. Penerbangan pesawat SQ321 yang membawa 229 penumpang dan awak itu, awalnya berjalan normal.
Namun tiba-tiba, pesawat yang tengah terbang dari London ke Singapura ini menukik tajam dari ketinggian pada ketinggian 37.000 kaki dari London ke Singapura.
Selain SQ, beberapa hari kemudian, Qatar Airways juga mengalami turbulensi. Penerbangan QR017 dengan Boeing 787 Dreamliner ini terbang dari Doha ke Dublin dan berhasil mendarat dengan selamat.
Baca Juga: 10 Rute Penerbangan dengan Turbulensi Terhebat di Dunia
Apa itu turbulensi?
Umumnya, turbulensi terjadi karena pertemuan udara pada temperatur, tekanan, atau kecepatan yng berbeda satu sama lain.
Selain itu, fenomena guncangan di pesawat juga bisa terjadi karena faktor cuaca dan geografis, misalnya saat pesawat melintasi badai petir, awan, dan pegunungan.
Meski biasanya faktor cuaca buruk jadi penyebab paling umum untuk turbulensi, di tengah cuaca cerah gangguan ini juga bisa terjadi.
Dan Bubb, mantan pilot yang kini menjadi ahli sejarah penerbangan di University of Nevada mengungkapkan, fenomena ini disebut sebagai clear-air turbulence.
Kepada Mashable, dia menyebut, clear-air turbulence disebabkan oleh ketidakstabilan udara akibat pesawat komersil yang terkadang terbang di altitude yang lebih tinggi.
Sesuai namanya, clear-air turbulence ini terjadi di cuaca yang cerah maka ‘bahaya’ ini tak terlihat dari kokpit dan bahkan tak terdeteksi di radar cuaca di pesawat.
Marco Chan, mantan pilot komersial dan dosen penerbangan di Buckinghamshire New University mengungkapkan bahwa melintasi beberapa area juga bisa menyebabkan fenomena ini, misalnya melintas di atas Teluk Benggala.
“Insiden Singapore Airlines terjadi di zona konvergensi antartropis, di mana badai petir lebih sering terjadi.”
“Badainya sendiri muncul di navigasi pilot, tapi seringkali tidak mungkin bisa sepenuhnya menghindari gugus badai yang bisa membentang lebih dari 50 mil di atas laut,” katanya dikutip dari Guardian.
Baca Juga: Daftar 50 Restoran Terbaik di Dunia 2024
Krisis Iklim Global
Lebih jauh dari penyebab alam seperti cuaca buruk, peneliti dari University of Reading menyebut bahwa saat ini krisis iklim global menjadi penyebab banyaknya turbulensi.
Dalam jurnal Nature, Paul Williams, sang peneliti menyebut bahwa temperatur bumi yang semakin memanas karena global warming akan berkontribusi pada peningkatan turbulensi pesawat.
Mengutip Smithsonian, dalam studi yang dimuat di Advancing Earth and Space Sciences pada 2023, menyebut ada 55 persen peningkatan kasus turbulensi sejak 1979-2020.
Baca Juga: Marriott Buka Resor Baru di Lampung
“Saya hanya bilang, jika Anda merasakan 10 menit turbulensi di masa lalu, maka bisa jadi meningkat 20-30 menit di masa depan,” katanya.
Williams mengatakan bahwa peningkatan frekuensi kasus ini hampir pasti terjadi karena pengaruh perubahan iklim yang memperkuat jet stream (aliran angin yang bergerak sangat cepat dan berkelok seperti sungai) yang menyebabkan turbulensi.
Di atmosfer, udara yang lebih hangat akan menampung banyak uap air. Ini akan menyebabkan suhu jadi lebih panas dan perbedaan suhu udara makin tinggi.
Udara yang lebih hangat akan meningkatkan jumlah pergeseran angin, perbedaan kecepatan angin pada ketinggian yang berbeda di dalam jet stream.
Ketika pesawat berada di dekat jet stream maka risiko turbulensi akan terjadi.
Para peneliti juga memperkirakan bahwa turbulensi parah akan meningkat dibanding frekuensi ringan dan sedang di masa mendatang.