Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kembali ke Masa Lalu di Cotswolds

Suasana musim gugur di Cotswolds.

Teks & foto oleh Natasha Dragun

Di perut Gereja St Mary, saya duduk di lorong yang mengular sejak abad ke-14. Langit-langitnya ditopang barisan batu dalam formasi melengkung. Atapnya ditindih oleh kumpulan buku yang tak ternilai harganya. Fungsi lorong sepuh ini telah berubah. Jika dulu menampung markas parlemen kampus, sekarang dihuni salah satu restoran paling memikat di Oxford: Vaults & Garden Café.

Mahasiswa dan turis kerap datang guna memesan menu andalan seperti buncis berbumbu pekat dan dal kelapa. Oxford memancarkan karakter tipikal kota kampus: sepeda lebih banyak dari mobil, bar teronggok di hampir setiap sudut, restoran bertaburan untuk menawarkan makanan berharga terjangkau.

Kita bisa menemukan banyak wadah untuk bersantai-santai selama mungkin, kecuali jika Anda mahasiswa tentu saja. Lanskapnya dihiasi gang-gang beralaskan batu, barisan menara yang menjulang, serta aula-aula megah. Saya mulai menyusun agenda tur sembari makan malam di Cherwell Boathouse, restoran merangkap dermaga berisi lebih dari 80 sampan kayu. Pramusaji menyuguhkan sepiring terrine ditemani acar buah bit dan biji cemara—sajian yang justru mengingatkan saya pada Cotswolds, daerah subur di dekat Oxford, di mana desa-desa cantik mengukir perbukitan dan rumah-rumah makan bersahaja meracik menu mengandalkan bahan-bahan segar dari kebun.

Kiri-kanan: Petunjuk arah di salah satu sudut Oxford; salah satu mobil kuno, Ford Model T, menyeberangi jembatan di Cotswolds.

Saya pun merevisi jadwal: segera beranjak ke Cotswolds dan melupakan keinginan menjelajahi Oxford lebih lama. Catherine, seorang pencinta kuliner sekaligus pemerhati selebriti, menemani saya dalam perjalanan ini. Cotswolds, kawasan menawan yang berlokasi 160 kilometer di barat London, menyuguhkan lanskap yang bergelombang, perbukitan yang diselimuti pepohonan, serta kebun-kebun yang membentang ratusan hektare. Pada 1960-an, pemerintah Inggris menobatkannya sebagai “Area of Outstanding Natural Beauty”—gelar yang merefleksikan realitas. Di sini terdapat banyak desa berparas elok, kendati beberapa namanya harus diakui terlalu sulit dicerna, sebut saja Chipping Sodbury dan Lower Slaughter. Berkat keindahannya pula, beberapa desa pernah dijadikan lokasi syuting film layar lebar dan acara televisi.

Kami menuju barat laut, memutar melalui Stratford-upon-Avon guna melihat rumah-rumah bergaya Tudor. Saban tahunnya, sekitar tiga juta penggemar sastra berkerumun di sini guna melakoni napak tilas di kampung halaman Shakespeare. Kondisi yang kontras tersaji di Stow-on-the-Wold, kurang lebih 40 menit dari jalan utama. Desa di atap bukit ini senantiasa sepi, seolah sudah lama terbengkalai. Tapi kondisi itu mungkin bakal segera berubah, pasalnya Stow-on-the-Wold sedang merekah sebagai kantong kuliner. Restoran marak bermunculan di ruang-ruang sempit, saling bersinggungan siku di antara bangunan bertubuh batu. Salah satunya bernama The Old Butchers. Di sini, Catherine memesan otak sapi muda yang ditemani caper dan lemon, sedangkan saya memilih brandade ikan kod yang disajikan dengan French bean dan poached egg yang melebur manis dengan irisan buah badam.>>

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5