Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Kamera Canggih Berbodi Klasik

Oleh Dwianto Wibowo

Desain kamera yang klasik menambah poin keunggulan Fujifilm X-E2.

Serasa diajak bernostalgia. Itu kesan pertama saya ketika menggenggam Fujifilm X-E2. Mengadopsi desain kamera rangefinder, tubuh X-E2 yang kokoh dan ramping terasa solid di genggaman. Ukurannya tidak terlalu kecil seperti kamera saku, tapi juga tidak terlalu gemuk seperti DSLR. Layaknya kamera analog, kamera digital mirrorless dengan interchangeable lens ini juga menyajikan piringan logam di atas bodinya untuk mengatur shutter speed dan exposure compensation. Sayangnya, jendela bidik optikal ditiadakan, keputusan yang justru mengingkari karakter rangefinder.

X-E2 menggunakan electronic viewfinder (EVF) dengan resolusi 2.360.000 dot OLED. Meski menghasilkan tampilan yang detail, mata saya terlalu lelah mengintip melalui EVF. Tapi setidaknya jendela bidik elektronik ini mendukung double-exposure (penggabungan dua foto dalam satu frame). Saat mencoba fitur ini, saya dapat melihat transparansi gambar pertama selama membidik gambar kedua di viewfinder, sehingga komposisi dan kombinasi warna kedua gambar dapat disesuaikan tanpa berpindah ke layar LCD.

Menyajikan kecepatan fokus hingga 0,08 detik (dengan 49 titik fokus), fokus X-E2 bekerja maksimum pada setiap titik. Hal ini terbukti ketika saya memotret di malam hari dengan fokus obyek di bagian bawah frame. Meski kecepatan fokusnya berkurang, hasilnya akurat.

ISO 6.400 paling pas untuk pengambilan gambar di malam hari.

Waktu startup yang singkat juga mengurangi risiko ketinggalan momen saat kondisi kamera off. Cukup aktifkan mode High Performance, saya dapat mengambil gambar 0,5 detik setelah kamera dinyalakan dengan fokus yang sangat responsif. Namun mode ini berfungsi hanya 24 menit sejak kamera dimatikan (sleep mode). Sejak menit ke-25, waktu startup kembali normal, 0,92 detik.

Kualitas Foto
Dibekali sensor X-Trans CMOS II 16,7 megapiksel, ukuran APS-C (sensor DSLR pada umumnya), X-E2 memiliki resolusi maksimum 4.896 x 3.264 piksel. Sensor yang digunakan menyajikan kepekaan cahaya (ISO) hingga 6.400 (disarankan pada mode auto) dan dapat dipaksakan hingga 25.600 (pengaturan manual).

Saya memotret di malam hari dengan ISO 6.400 dan hasilnya memuaskan: mumpuni untuk dicetak dalam ukuran 19R dengan detail yang apik dan bebas noise. Untuk ISO yang lebih tinggi, detail mulai menipis dan saturasi warna berkurang akibat reduksi noise yang berlebihan.

Selama uji coba, saya menggunakan lensa kit XF18-55mm F2.8-4 R LM OIS. Dengan crop factor pada sensor APS-C dan jangkauan focal length dinaikkan 1,5 kali menjadi 27-84mm, kamera ini cukup memadai untuk bermacam kebutuhan, seperti reportase, lanskap, dan portrait. Diafragma besar, F2.8, juga membantu fokus bekerja maksimal dalam kondisi minim cahaya.

Dengan semua teknologi itu, pengguna disarankan memiliki software yang mampu mengolah file mentah bawaan kamera. Fujifilm sebenarnya sudah menyertakan RAW File Converter untuk mengolah data X-E2, tapi perangkat lunak ini bagi saya sulit dioperasikan, ditambah lagi proses konversi file-nya relatif lambat.

Solusinya, bagi pengguna Photoshop, file RAW dapat dikonversi memakai Adobe Digital Negative Converter 8.3 yang kompatibel dengan Photoshop CS6 dan CC.

Detail yang dihasilkan oleh kamera ini sangat menakjubkan.

Menu & Fitur
Kendati dibekali mode otomatis seperti kamera sekelasnya, X-E2 tidak menyajikan akses langsung untuk mengaktifkan mode exposure seperti Aperture Priority (AV) dan Shutter Priority (TV). Semuanya mesti disetel secara manual.

Namun setidaknya penataan tombol X-E2 cukup memudahkan. Ada tombol “Q” yang dapat mengakses pengaturan kualitas foto—seperti file size, film simulation, dan dynamic range—tanpa masuk ke menu kamera. Sayangnya, kamera ini tidak dilengkapi tombol putar, sehingga untuk menjelajah menu kamera, saya harus menekan tombol panah berulang kali. Proses yang kurang efisien.

Di samping desain klasik dan ergonomis, X-E2 memantapkan karakter retro dengan menyematkan fitur digital split image. Teknik fokus lewat penggabungan irisan gambar di tengah frame yang popular pada era analog ini di-digitalisasi oleh X-E2. Teknik ini memudahkan penggunaan lensa manual dari segala jenis SLR untuk mendapatkan parameter fokus yang akurat. Silent Mode juga menjadi keunggulan. Saat mode ini diaktifkan, suara shutter nyaris bisu dan flash tidak berfungsi. Di sini, sifat rangefinder sebagai kamera “point and shoot” sangat terasa.

Seperti kamera digital mirorrless sekelasnya, X-E2 dilengkapi fitur wireless image transfer guna mengirimkan gambar dari kamera ke gajet lain via Wi-Fi. Saya mencobanya di ponsel Android, dengan terlebih dahulu mengunduh aplikasi gratis dari Fujifilm. Prosedur transfer ke gajet cukup simpel: aktifkan Wi-Fi dengan menekan tombol Fn. di dekat tombol shutter, dekatkan ponsel, lalu pilih file yang akan dipindahkan. Fasad X-E2 memang memicu nostalgia, tapi teknologinya mewadahi semangat masa kini.

SPESIFIKASI TEKNIS
Sensor: X-Trans CMOS II APS -C 16,7 megapiksel. ISO : 100-25.600. Monitor: LCD 3 inci. Dimensi: 129 x 74,9 x 37,2mm. Contoh fitur: Auto focus (kecepatan 0,08 detik, diklaim Fujifilm sebagai yang tercepat di dunia), digital split image (fokus manual dengan presisi tinggi untuk penggabungan irisan gambar di tengah frame), wireless image transfer (memindahkan foto ke gajet via Wi-Fi).

Informasi lebih lanjut, kunjungi Fujifilm Indonesia.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mar/Apr 2014 (“Revolusi Retro”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5