by Trinity 19 December, 2019
Ironi Tercantik di Dunia
Oleh Trinity
Lihatlah jendela di sebelah kanan Anda,” seru sang pilot ketika pesawat dari Islamabad memasuki langit kawasan Skardu. “Ada Nanga Parbat yang tingginya 8.126 meter di atas permukaan laut. Gunung tertinggi kesembilan di dunia!”
Baru kali ini saya melihat gunung yang tingginya melebihi tinggi jelajah terbang pesawat. Sosoknya mengingatkan pada Nanda Parbat, tempat Batman berlatih bela diri di Himalaya, yang ternyata berada di Pakistan!
Skardu, kota yang saya tuju, berada di Gilgit-Baltistan, kawasan di utara Pakistan yang ditumbuhi banyak gunung tinggi sebagian kelewat tinggi. Setidaknya 50 puncak di sini menjulang lebih dari 7.000 meter. Sebagai perbandingan, Jayawijaya, menara alam terjangkung di Indonesia, tingginya “hanya” 4.884 meter.
Lanskap semampai itulah yang membuat pengalaman terbang di sini terasa magis, walau kadang juga mencemaskan, seperti yang saya alami hari ini. Manuver pesawat saat menuju landasan memicu stres. Bandara Skardu terhampar di antara gundukan pasir putih. Di sekelilingnya, pegunungan bersalju menjulang bak tembok putih raksasa.
Pesawat akhirnya mendarat dengan selamat. Keluar dari pesawat, angin kering dan dingin menerpa di siang bolong, memaksa saya segera merapatkan jaket. Lima menit berselang, sebuah bus reyot datang untuk mengangkut penumpang menuju terminal. “Meski tidak tercatat, bandara ini memiliki landasan terpanjang di dunia, karena merangkap sebagai landasan Angkatan Udara Pakistan dengan pesawat-pesawat tempurnya. Maklum, di balik gunung itu adalah India,” jelas Hamid, pemandu saya.
Gilgit-Baltistan, yang luasnya setara Provinsi Sumatera Utara, terbagi dalam tiga zona utama: Gilgit, Baltistan, dan Diamer. Dataran tinggi berpopulasi 1,8 juta orang ini sudah lama tersohor akan keindahan alamnya. Di sini terdapat rantai pegunungan yang spektakuler, danau-danau indah berair pirus, serta gletser terbesar di dunia di luar kutub. Keajaiban natural lainnya tentu saja Cold Desert, hamparan gurun janggal yang sesuai namanya senantiasa dingin, bahkan tertutup salju sepanjang musim dingin.
Kendati begitu, hantu warisan masa silam membuat tanah cantik ini senantiasa dirundung murung. Gilgit-Baltistan, bagian dari Kashmir, berada di pusaran konflik teritorial antara Pakistan dan India. Dari balik gunung-gunung yang semampai, kedua negara bertetangga itu terus bersiaga, sigap menodongkan senjata, membuat hidup terasa genting dan tegang. Akibat sengketa pula, pesawat saya mesti sedikit memutar demi menghindari wilayah udara India.
Tiba di terminal bandara, saya langsung mendaftarkan diri di loket. Di sini, semua turis asing memang diwajibkan melakukan registrasi khusus. Pada selembar kartu, seorang petugas wanita yang ramah menuliskan nama, nomor paspor, tujuan, dan alamat penginapan saya. Dari bandara, saya kemudian berkendara selama setengah jam melewati jalan-jalan rusak menuju Skardu.
Usai check in, saya bertamu ke rumah keluarga Hamid, pemilik penginapan. Di tengah sesi makan siang, saya diperkenalkan dengan kakak tertuanya, Ghulam. Kami bertiga makan di lantai berlapis karpet di ruang keluarga, sementara istri Hamid beserta anak-cucunya bersantap di dapur. Sesuai adat setempat, memang hanya kaum pria yang boleh menjamu tamu.
“Saya lahir dan besar di desa Chulunka di Ladakh. Ada sekitar enam puluh rumah di desa itu,” Ghulam membuka topik panas saat kami melahap kari sapi, dhal, dan naan mirip makanan India, tapi bedanya di sini daging sapi halal dikonsumsi. “Pada 1971, tiba-tiba saja desa kami diduduki tentara India, sehingga kami semua lari ke Khaplu. Kami meninggalkan semuanya: rumah, ladang, ternak. Ah, situasi itu sangat menyakitkan!”
Mendengar ceritanya, makanan saya seperti dibumbui rasa duka. Kisah suram perebutan wilayah masih basah di ingatan banyak orang, dan banyak saksi dari konflik tragis itu masih hidup untuk menceritakannya. “Desa kami sangat indah,” lanjut Ghulam dengan nada getir. “Semua orang berbahagia. Kami sering berbagi makanan dan bermain polo bersama. Entah kapan saya bisa kembali ke Chulunka.”
Belum kering air mata Ghulam, Hamid menimpali dengan drama lirih lainnya. “Teman saya lebih sedih lagi ceritanya,” kenangnya. “Suatu hari saat berbelanja ke pasar, dia mendadak tidak bisa pulang lantaran desanya dibarikade tentara India. Saudara-saudaranya di rumah tidak bisa berbuat apa-apa. Tiga puluh tahun berselang, ibunya akhirnya bertemu salah seorang anaknya saat naik haji di Arab Saudi.
Bergidik dihujani kisah emosional, saya mengalihkan fokus pada paras keluarga Hamid yang berbeda dari orang Pakistan kebanyakan. Mereka bermata sipit dan berkulit terang. Setelah saya tanya silsilahnya, mereka mengaku sebagai orang Balti keturunan Tibet. Bahasanya pun mirip dengan bahasa Tibet. Dari sinilah saya tahu mengapa Baltistan dijuluki “Little Tibet,” sedangkan Ladakh di India dijuluki “Great Tibet.”
Sejenak membuka sejarah, konflik perbatasan di Kashmir berakar pada abad ke-19. Dulu, wilayah Kashmir dari Gilgit-Baltistan di sisi barat hingga Jammu-Kashmir di timur dikuasai oleh Dinasti Dogra yang tunduk di bawah pemerintahan kolonial Inggris di India. Selepas hengkangnya Inggris pada 1947, Pakistan dan India berpisah dengan menyisakan sejumlah problem tapal batas yang tak jelas ujungnya hingga kini.
Teritori Kashmir saat ini terbagi dalam tiga zona dengan tiga penguasa berbeda: 35 persen wilayahnya dikuasai oleh Pakistan yang membawahi Gilgit-Baltistan dan Azad Kashmir; 45 persen oleh India yang mencakup Jammu-Kashmir; sementara 20 persen sisanya oleh Tiongkok yang meliputi Aksai Chin dan Shaksgam Valley. Zona yang terakhir ini juga diperebutkan oleh India, membuat perseteruan geopolitik di sini kian runyam.
Mengunjungi daerah mana pun di Kashmir, isu perebutan wilayah adalah tema diskusi sehari-hari. Empat tahun lalu saya berkesempatan melawat Jammu-Kashmir di India. Suasana di sana jauh lebih mencekam. Di Bandara Leh, turis mesti mengisi formulir yang jauh lebih tebal dan rumit, juga melewati sesi wawancara intensif oleh aparat. Kendaraan militer dan bala tentara India terlihat di mana-mana, jauh lebih banyak jumlahnya daripada di Gilgit-Baltistan. (Bedanya, tentara India di Jammu-Kashmir lebih fokus meredam gerakan makar, sementara tentara Pakistan di Gilgit-Baltistan bersiaga menghadapi serangan India.)
Meski lanskapnya cantik dan fotogenik, Kashmir ternyata tak ubahnya tumpukan nestapa. Di tengah alam yang menyejukkan hati ini, manusia sangat gigih bertarung memperebutkan garis-garis di atas peta, bahkan sudi saling mengancam nyawa. Begitu panjang dan kompleks persoalannya sampaisampai Kashmir telah menjadi semacam epitome bagi konflik perbatasan warisan zaman penjajahan.
Semua orang, tak peduli kastanya, turut terkena dampak dari sengketa. Selagi di Baltistan, saya sempat diundang ke rumah Puteri Jiya, cucu dari Raja Fateh Ali Khan. Khaplu, kerajaan kakeknya di Baltistan, sudah dihapus oleh pemerintah Pakistan pada 1972, sementara istananya dialihfungsikan menjadi hotel mewah yang merangkap museum. Akan tetapi, walau sistem monarki sudah punah, keturunan raja masih dihormati oleh warga setempat.
Saya menikmati sesi minum teh bersama Abbas, suami dari Puteri Jiya. Topik diskusinya lagi-lagi tak lepas dari tragedi. “Ibu saya berasal dari Desa Tyakshi yang sekarang berada di India,” Abbas membuka obrolan. “Suatu hari pada 1971 dia dan sepupunya pergi ke Khaplu. Ketika kembali ke rumah, tiba-tiba jalan sudah dipagari oleh tentara India. Ibu saya menangis menjerit-jerit minta lewat tapi tidak dikasih, padahal jarak dari pagar ke rumah hanya sekitar tiga hingga empat kilometer. Dia meninggalkan suami dan dua anak.”
Selama di sini, hampir setiap orang yang saya temui menyimpan kenangan pilu yang ingin ditumpahkan: tentang istri yang berpisah dari suami, ibu yang kehilangan anak, tetangga yang tak lagi bersilaturahmi. Barangkali, Kashmir adalah kawasan yang paling mengagumkan sekaligus paling mengharukan di dunia. Ironis memang. Jika ada satu pengalaman berbeda saya dapatkan di sini, jawabannya ialah pertemuan dengan Raja Adeel Amacha. Alih-alih mengundang ke rumahnya untuk curhat, beliau mengajak saya menonton pertandingan polo, olahraga tua asal Persia yang ternyata populer di Gilgit-Baltistan. Tak menyangka saya menonton polo pertama kalinya di Lembah Shigar yang dikurung pegunungan bersalju. Melihat kerumunan di sekitar, ini juga pertama kalinya bagi saya menonton pertandingan olahraga sebagai satu-satunya perempuan di antara ratusan penonton pria lokal.
Dalam panggung politik Pakistan, Gilgit-Baltistan adalah isu sensitif yang terpaut kedaulatan negara. Akan tetapi, berhubung lokasinya jauh dari pusat kekuasaan di Islamabad, tempat ini mengalami problem khas daerah pinggiran: kurang perhatian. Hingga kini, Gilgit-Baltistan belum secara resmi diintegrasikan ke dalam negara Pakistan. Warga berharap wilayahnya ditetapkan sebagai provinsi kelima, tapi pemerintah pusat tak menggubrisnya.
Jika membayangkan diri saya sebagai penduduk Gilgit-Baltistan, saya akan menganggap Pakistan sebagai pacar yang buruk. Diminta putus, menolak. Ditantang naik ke jenjang berikutnya, malah diam saja. Pada 2009, Pakistan berkompromi dengan memberikan status otonomi. Di tengah hidupnya yang susah, Gilgit-Baltistan justru dipaksa mandiri. Pacar yang buruk dan pelit.
Tapi kondisi itu tak melulu buruk sebenarnya. Minimnya perhatian pemerintah pusat telah melahirkan semacam privilese untuk terbebas dari pajak. Warga setempat bisa menikmati penghasilan tanpa terkena PPh dan berbelanja tanpa membayar PPN. “Saya telah bekerja puluhan tahun di seluruh Pakistan dan di beberapa negara di luar negeri, tapi baru di sini saya merasakan nikmatnya gaji yang utuh tidak kena pajak,” jelas Robin, general manager sebuah hotel berbintang di Skardu.
Robin juga mengaku telah membeli mobil dengan harga sangat murah, walau dengan pelat khusus berwarna biru sebagai tanda mobilnya cuma bisa dikendarai di Gilgit-Baltistan. “Di masa pensiun begini,” tambah Robin, “saya sengaja mencari kerja di Gilgit Baltistan yang alamnya indah bak surga, plus bisa lebih banyak menabung.”
Satu perkembangan yang menarik, dalam beberapa tahun belakangan Gilgit-Baltistan mulai menikmati pembangunan infrastruktur yang cukup signifikan. Diabaikan oleh Islamabad, daerah ini justru dilirik oleh Beijing. Mengarungi Gilgit, Ibu Kota Gilgit-Baltistan, jalan-jalan membentang mulus. Saat bergeser ke sisi selatan, saya menyusuri Karakoram Highway yang melintang 1.300 kilometer, juga berulang kali menembus pegunungan berbatu. Di banyak titik terpampang pelang besar bertuliskan “China-Pakistan Friendship Highway.”
Ambisi Tiongkok melebarkan pengaruhnya telah menempatkan Gilgit-Baltistan sebagai titik strategis yang mesti dirangkul. Maklum, kawasan ini berada di jalur panjang yang terbentang dari Khunjerab di tepi utara hingga Pelabuhan Gwadar di ujung selatan Pakistan. Pejabat politbiro tentu ingin memastikan kargo dari Tiongkok lancar menjangkau pelabuhan Pakistan untuk kemudian diekspor ke kawasan Afrika dan Asia Barat.
Di bawah payung CPEC (China-Pakistan Economic Corridor), semacam Jalan Sutra abad ke-21, Tiongkok mengguyurkan dana untuk beragam proyek infrastruktur di Gilgit-Baltistan, termasuk membangun instalasi pembangkit listrik. Perbaikan infrastruktur ini secara tak langsung turut menunjang sektor pariwisata. Pelancong lebih mudah bergerak. Objek-objek wisata kian gampang dijangkau. Dan Gilgit-Baltistan mengoleksi objek wisata yang luar biasa banyak.
Salah satu tempat di sini yang sudah tersohor di kalangan petualang ialah Lembah Hunza, di mana gunung-gunung menjulang dengan kepala runcing mirip sayur okra. Objek lainnya yang juga memukau ialah Khunjerab Pass, perbatasan antarnegara tertinggi di dunia, yang dilengkapi mesin ATM tertinggi versi Guinness World Records.
Memang, setidaknya saat ini, Kashmir belum laris sebagai tujuan liburan. Mendengar namanya saja bisa membuat orang mengernyitkan dahi. Tapi satu pelajaran yang saya petik dari trip ini ialah berita-berita di media massa kerap kurang proporsional dalam merangkum realitas di lapangan. Kontras dari citranya yang suram, Gilgit-Baltistan menurut saya memiliki panorama alam yang paling indah di seantero Pakistan. Berjalan-jalan di sini juga terasa aman. Tingkat kriminalitasnya nol. Tidak ada pencurian, pemerkosaan, pembunuhan, maupun teror bom. Kata Hamid, pemandu saya, semua itu tak lepas dari keyakinan yang dianut masyarakatnya. “Kami mayoritas Muslim Syiah,” jelasnya. “Syiah pencinta damai. Kami tidak boleh membunuh manusia, meski atas nama jihad sekalipun.”
Tanah indah ini masih didera masalah, tapi warganya kini punya alasan untuk tak melulu berkabung. Pergeseran kekuatan ekonomi ke Tiongkok telah membuka harapan bagi perbaikan di masa depan.
PANDUAN
Rute
Belum ada penerbangan langsung dari Jakarta ke Islamabad. Untuk durasi tersingkat, pilih transit di Bangkok. Tapi jika wilayah udara India ditutup, rute tergampang adalah via Doha. Visa Pakistan bisa diperoleh secara daring melalui Pakistan Official Visa Portal (visa.nadra.gov.pk) dengan menyerahkan dokumen yang terdiri dari scan paspor, foto diri, bukti reservasi hotel, dan undangan dari operator tur di Pakistan. Menuju Gilgit-Baltistan, Anda bisa menempuh jalur darat selama 20-22 jam ke Skardu atau 12-14 jam ke Gilgit. Skardu dan Gilgit sebenarnya memiliki bandara, tapi penerbangan ke sini sangat rentan dipengaruhi cuaca.
Informasi
Untuk menjelajahi Gilgit-Baltistan, sebaiknya sewa mobil 4WD dari pemandu lokal, salah satunya Mountain Travel Pakistan (mountaintravels.com), yang merupakan operator tur pelopor di kawasan ini. Serena (serenahotels.com) adalah merek hotel yang kerap direkomendasikan kedutaan berkat standar keamanannya yang prima. Cabangnya terdapat di Gilgit, Shigar, dan Khaplu. Di beberapa kota, Serena merupakan satu-satunya hotel yang menyediakan listrik dan air panas 24 jam. Wanita asing tidak diwajibkan berjilbab di Pakistan. Turis, termasuk pria, hanya disarankan menutupi bagian kaki dan lengan.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Oktober/Desember 2019 (“Elegi Elok”)