by Wikana 21 June, 2019
Ibu Kota Gamelan Dunia
Oleh Wikana
Foto Maulana Surya
Jika mau berhasil, kamu harus keluar dari Solo.”
Maestro gamelan Rahayu Supanggah masih ingat betul petuah dari kritikus musik Suka Hardjana itu. Saat itu, periode 1970-an, Panggah tengah berjuang menembus orbit nasional lewat jalur musik tradisional Jawa.
Bagi mereka yang berkecimpung di bidang musik, perkataan Suka ibarat fatwa. Kritiknya di media massa bisa menentukan nasib seorang musisi. Dari 1979-1985, Suka mengasuh forum bergengsi Pekan Komponis Muda. Dia juga membidani kelahiran Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (cikal bakal Institut Kesenian Jakarta) dan mengurus Dewan Kesenian Jakarta.
Namun Panggah memilih mengabaikan anjuran Suka. Saat banyak rekan seprofesinya hijrah ke Jakarta, termasuk penari Sardono W. Kusumo, Panggah bersikukuh menetap di Solo, mesti harus menanggung risiko lambat dikenal lantaran berjarak jauh dari pusat pemberitaan. “Saya merasa belum siap dengan lingkungan kreatif di Jakarta,” begitu alasan Panggah.
Sekarang, keputusannya itu terbukti jitu. Panggah merupakan salah satu bintang paling terang di belantika musik Indonesia, bahkan mungkin di dunia. Dari Solo, dia pernah bermitra dengan banyak sutradara terpandang internasional, mulai dari Peter Brook, Robert Wilson, hingga Garin Nugroho.
Nama-nama itu sangat dihormati, juga disegani. Robert Wilson, misalnya, pernah masuk nominasi Pulitzer Prize di kategori drama. Sementara Peter Brook beberapa kali meraih Tony dan Emmy Award. Bersama Panggah, pada 1985, Brook membesut Mahabharata, yang sukses menuai banyak pujian karena berhasil menyulap epos India itu layaknya milik dunia.
Dari Solo pula, Panggah menyelusup ke beragam disiplin. Musiknya mengiringi peragaan busana Anne Avantie, tarian Sardono, dan karya perupa Indonesia di Venice Biennale. Sebagian kita mungkin ingat, Panggah juga pernah berkolaborasi dengan ensambel musik papan atas sekaliber Kronos Quartet.
Ketika saya mengunjungi kantor Panggah di gedung rektorat Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, pada pintunya terpampang papan berisi jadwal lawatan Panggah ke banyak negara sepanjang tahun. Hampir saban bulan mantan rektor ISI Surakarta ini meninggalkan Tanah Air untuk pertunjukan dan mengajar.
Usai dua hari menunggu, saya akhirnya berhasil menemuinya di rumahnya di Dusun Benowo. “Teknologi membuat semuanya jadi mudah,” jawabnya saat ditanya soal resep berkolaborasi dengan seniman mancanegara. Dia mencontohkan komposisi untuk Setan Jawa yang dipentaskan di Melbourne pada 2017. Panggah mengerjakannya dari jarak jauh. Iain Grandage, komponis Melbourne Symphony Orchestra, mengirimkan musik versinya ke Panggah, yang kemudian meresponsnya balik. “Prosesnya begitu berulang-ulang,” kenangnya.
Mengevaluasi perjalanannya sebagai seniman, Panggah menilai keputusannya bertahan di Solo berdampak panjang. Baginya, kota ini memiliki semua syarat yang diperlukan untuk perkembangan kreativitas seniman gamelan. “Ekosistemnya lengkap,” simpulnya.
Salah satu komponen penting dalam ekosistem itu ialah besalen (bengkel pembuat gamelan). Tempat ini bertaburan di Solo. Mayoritas besalen dipimpin empu yang tak cuma lihai meracik instrumen, tapi juga piawai memainkannya, karena itu bisa mengetes langsung mutu akustik produknya. Di Kampung Semanggi misalnya, ada sebuah besalen legendaris warisan empu Tentrem. Di sinilah gamelan-gamelan keraton ditempa.
Besalen juga bisa ditemukan di luar batas kota. Di Desa Wirun, enam kilometer dari pusat kota, bercokol lebih dari 10 besalen. Di sini, gamelan dirakit di studio rumahan yang juga mencetak empu-empu terkenal, sebut saja Saroyo dan Joko Darmono. Sejumlah sanggar di Bali berbelanja gamelannya di sini.
Menurut kritikus musik Joko S. Gombloh, keunggulan skena gamelan Solo tak lepas dari dukungan Wali Kota F.X. Hadi Rudyatmo. Pemkot giat menanggap festival yang menampilkan gamelan layaknya konser musik modern. Selain Konser Gamelan Akbar yang dipandu Gombloh, ada ajang Bukan Musik Biasa, International Gamelan Festival, serta Solo International Ethnic Music.
Dukungan itu juga mengalir ke luar panggung. Pemkot membeli banyak gamelan memakai APBD, lalu membagikannya ke desa-desa. Lewat skema “gamelanisasi” itu, banyak kelurahan kini memiliki gamelan. “Itu gamelan standar yang harganya di atas 200 juta rupiah,” jelas Gombloh. Kabarnya, Pemkot kini berencana membayar pelatih gamelan untuk berkeliling kampung.
Eksositem kota ini juga ditunjang oleh banyaknya klenengan (orkes karawitan memakai gamelan). Hanya di Solo kita bisa menonton klenengan hampir setiap hari. Dua kelompok yang paling aktif ialah Karawitan Kutha Gunung di Taman Budaya Jawa Tengah dan Klenengan Selasa Legen di Balai Soedjatmoko. Saat saya menyambangi Taman Budaya, ada dua perangkat gamelan yang dimainkan oleh puluhan niyaga (penabuh gamelan) sepanjang hari. Saat itu sedang digelar Temu Dalang Bocah Nusantara yang diikuti 187 dalang cilik.
Klenengan juga rutin ditampilkan di penginapan yang tersebar di sepanjang Jalan Slamet Riyadi. Ketika menginap di Hotel Cakra, saya mendapati dua set gamelan. Salah satunya ditempatkan di muka hotel untuk dimainkan oleh penabuh dari Kampung Kauman. Selama menginap, saya kerap mendengar gending dimainkan iseng oleh tamu pada malam hari.
Ekosistem gamelan yang lengkap itu tak cuma memanjakan warga dan pemusik lokal. Solo juga telah lama memikat “pemain asing.” Sosok yang paling menonjol ialah Kitsie Emerson. Di Desa Klodran, Karanganyar, Kitsie sudah 18 tahun mengelola klenengan Pujangga Laras. Setiap bulannya, wanita asal Amerika Serikat ini mengundang puluhan niyaga untuk memainkan gending klasik di rumahnya.
Mengandalkan jaringan ekspatriat, Kitsie juga menghimpun dana untuk “sangu” para maestro yang datang ke Pujangga Laras. Para pendonor yang tengah melancong ke Indonesia menyaksikan orkes secara langsung, sementara mereka yang berada di rumah menonton lewat media sosial. “Awalnya untuk melestarikan gending-gending klasik yang terancam hilang saat maestro sepi orderan,” jelas Kitsie yang juga mengajar di Jakarta International School.
Kisah cinta Kitsie dengan gamelan bermula pada 1991 saat dia menerima beasiswa untuk memperdalam gamelan di ISI Surakarta. Diantar Wakidi Dwidjomartono, seorang pemain kendang terkenal, Kitsie sowan ke Panggah yang saat itu mengisi kursi rektor. Melihat kedekatannya dengan Wakidi, Panggah justru meminta Kitsie mengikuti Wakidi dan belajar langsung dari sanggar-sanggar karawitan. “Pak Panggah meminta saya belajar langsung dari para empu,” kenang Kitsie.
Kitsie akhirnya memilih berguru pada keluarga dalang Sutino Hardokocarito di Wonogiri. Setiap pagi, dia berangkat ke sana dari indekosnya di Solo. Tiap rampung kursus, dia merekam gending-gending klasik, lalu menyimaknya di indekos. Demi memperlancar tabuhan, Kitsie juga rajin mengunjungi berbagai grup klenengan di seantero kota. “Saya hafal jadwalnya. Setiap Selasa ada kelompok ibu-ibu di Plumbon. Minggu sore ada kelompok dharma wanita di Benowo. Ada juga kelompok bapak-bapak di Palur,” jelasnya.
Belajar langsung di banyak sanggar berhasil mengatrol kemampuannya. Tanpa jarak, Kitsie bermain bersama para maestro lokal yang royal ilmu dan jeli mengoreksi setiap kesalahan. Tak sampai dua tahun, dia sudah mahir bermain gender dalam pertunjukan wayang. Bersama puluhan penggending, Kitsie blusukan ke berbagai desa di Jawa Tengah dan begadang menabuh gender.
Awalnya sekadar niat belajar gender, Kitsie kini menguasai instrumen yang menantang seperti kendang dan rebab. “Kini pekendang terbaik di Solo jadi suami saya,” ujar Kitsie yang akhirnya menikah dengan gurunya, Wakidi.
Dalam skena gamelan nasional, tidak ada daerah yang penjelajahan kreatifnya semeriah Solo. Selain lembaga keraton yang setia melestarikan gending klasik untuk upacara, ada sanggar-sanggar rural yang mengembangkan karawitan dengan cita rasanya sendiri. Kedua kutub ini saling melengkapi, sekaligus menjadikan Solo wadah ideal untuk berlatih gamelan.
Di desa-desa di Klaten, sanggar-sanggar karawitan memainkan gending Narto Sabdo dengan lirik dan tema populer. Di Sragen, ratusan sanggar mengembangkan gaya campur sari ala kendang koplo dengan tokohnya Karno KD. Di luar mereka, ada karawitan langgam Boyolali, Pengging, serta Gombang.
Selain poros “seni istana” dan “seni rakyat” itu, ada satu lembaga yang berperan layaknya jembatan di antara keduanya—ISI Surakarta. Selain tekun merawat dan mendalami gending klasik, kampus yang dulu bernama Akademi Seni Karawitan Indonesia ini aktif mendukung eksplorasi modern gamelan.
Saat saya mengunjungi ISI Surakarta, komponis Aloysius Suwardi sedang duduk melipat kakinya di antara delapan gender yang dibariskan membelah ruang kelas. Dia mengamati para mahasiswa yang lincah menabuh gender sambil menatap notasi pada papan. Beberapa kali repertoar mengalun lancar.
Suwardi berulang kali meminta mahasiswa tak hanya terpaku pada notasi, tapi berkonsentrasi pada cara memukul gender. Dia lalu memperagakan sejumlah teknik yang cukup sulit dikuasai mahasiswa tingkat dasar, salah satunya teknik pathet. “Ingat, kita membunyikan, juga sekaligus menghentikan suaranya,” petuahnya seraya menabuh.
Keluar kelas, saya menyusuri gedung di sisi belakang kampus. Tempat ini sangat riuh. Puluhan mahasiswa, termasuk dari luar negeri, seketika berlarian memasuki kelas ketika melihat Rusdiyantoro, pengampu mata kuliah Karawitan Surakarta, mendekati gedung. Tak lama, kelasnya begitu bising oleh tabuhan beragam instrumen.
Sejak 1964, ISI Surakarta tekun mengembangkan karawitan sekaligus menjadikannya cabang ilmu yang berwibawa: karawitanologi. Saban tahunnya, peminat studi ini bertambah. Kini, dari 500-an pendaftar, hanya sekitar 100 orang yang diterima. “Zaman saya 10 saja sudah bagus,” kenang Suwardi.
Awalnya, pengajar karawitanologi adalah abdi dalem keraton semacam Mlayareksaka, Warsodiningrat, dan Pontjopangrawit. Mereka hafal di luar kepala ratusan repertoar kanon, seperti Gending Pakurmatan, Gending Wayang, serta Gending Bedhaya-srimpi.
Terbiasa menangani beragam pertunjukan seni di keraton, para empu itu jugalah mentor yang serbabisa. Mereka mengajar tari, wayang kulit, pendalangan, serta karawitan sekaligus. Keahlian mereka mengagumkan. Pontjopangrawit misalnya, luwes memainkan gambang dari belakang punggungnya. Meski tidak kidal, dia terbiasa menggesek rebab dengan tangan kiri, demi memudahkan mahasiswa mempelajari cara memukul yang tepat.
Bermodalkan barisan dosen sakti itu, ISI Surakarta pada 1970-an mencetak banyak musisi dan pendidik andal yang kemudian meroketkan gamelan sebagai bahasa musik dunia. Alumninya antara lain Martopangrawit, pakar gending klasik; Sumarsam, profesor musik di Universitas Wesleyan, Connecticut; serta Vincent McDermott, pendiri program gamelan di William & Mary College, Virginia.
Tak hanya di masa lalu, ISI Surakarta hingga kini ajek menjaga roh gamelan melalui serangkaian inovasi dan eksperimen. Jika dulu orang datang dengan iktikad menjadi guru gamelan “siap pakai,” sekarang kampus ini diminati oleh penggemar jurusan “baru” seperti komponis.
Di kelas-kelas komponis, Suwardi mengeksplorasi gamelan sebebas-bebasnya. Sang dosen mengajarkan teknik membunyikan gamelan dengan cara menggesek dengan biola atau memukul kenong yang diposisikan terbalik. “Setelah belajar struktur karawitan di tingkat dasar,” katanya, “mahasiswa jadi siap menafsirkan gamelan sesuai minatnya.”
Contoh eksperimen lainnya diperagakan oleh mendiang I Wayan Sadra. Salah satu karya agungnya, Gong Dekonstruksi, menampilkan gamelan yang diinjak dan diseret. Saya bahkan pernah menyaksikan gong besar yang dilempari telur di Gedung Kesenian Jakarta. Padahal, gong dalam tradisi karawitan Jawa dianggap sakral, karena itu diberi nama spesial dan ditempatkan di tengah ensambel.
Pendobrakan tradisi itu membawa gamelan berevolusi. Dengan itu pula, ISI Surakarta rajin mencetak komponis dengan tawaran segar. Banyak musisi yang kini malang melintang di forum world music adalah didikan ISI Surakarta, termasuk sosok-sosok muda seperti Dedek Wahyudi, Gondrong Gunarto, dan Joko Porong.
Puluhan niyaga berbaju batik bersila di depan seperangkat gamelan pada pembukaan International Gamelan Festival (IGF) 2018 di Benteng Vastenburg, Solo. Di hadapan mereka berdiri Cathy Eastburn, pesinden andalan Southbank Gamelan Players, London. Dalam bahasa Inggris, Cathy menerangkan komposisi yang akan dibawakan grupnya: Full Fathom Five, adaptasi dari The Tempest karya Shakespeare.
Prolog Cathy itu dengan susah payah diterjemahkan oleh John Pawson, koordinator Southbank yang pernah nyantri di ISI Surakarta. “Menceritakan kesedihan Pangeran Ferdinand akibat kepergian ayahnya,” jelas Pawson. Sesaat kemudian, bunyi gending lamat-lamat ditingkahi sindenan yang menyuarakan rasa berkabung Pangeran Ferdinand.
Sepanjang repertoar, grup karawitan yang bermarkas di London itu membuktikan gamelan bisa dipakai untuk mengungkapkan duka dan tawa yang terkandung dalam karya sastra modern Inggris. Saat Southbank tampil, 1.500 kursi penonton tampak terisi penuh.
IGF menjadi testimoni status Solo sebagai ibu kota gamelan dunia. Selama sepekan di awal Agustus 2018, pencinta gamelan global “menziarahi” kota ini. Hotel-hotel dijejali oleh para anggota 19 kelompok gamelan dari mancanegara, termasuk Irlandia, Hungaria, Jepang, dan Australia. Di luar mereka, ada 30 grup dari berbagai wilayah di Indonesia.
Warga Solo pun menyambut hangat “kepulangan” diaspora gamelan. Penonton bebas memilih orkes sesuai selera. Ada grup yang setia pada pakem klasik. Ada pula yang menghidangkan tafsir kontemporer. Seluruh tempat IGF, seperti Balai Kota dan Taman Budaya, penuh sesak. “Pameran seni rupa soal gamelan saja bisa didatangi 2.000 pengunjung,” klaim Gombloh, salah seorang kurator IGF.
Momen yang mengharukan adalah ketika melihat duta-duta gamelan global bertamu ke kampung. Di Dusun Mathuk misalnya, secara spontan para bule itu mengajak para niyaga cilik menggelar semacam jam session. “Mereka seperti melihat native gamelan. Mungkin rasanya seperti orang Islam saat naik haji ke Makah,” tambah Gombloh.
Menengok sejarah, diaspora gamelan awalnya dipicu oleh kebijakan kolonial Belanda. Profesor Sumarsam dari Universitas Wesleyan menyebut dua pameran World Fair berjasa memperkenalkan gamelan ke dunia Barat, yakni Paris Exposition Universelle 1889 dan Chicago Columbian Exposition 1893.
Di Paris 1889, gamelan dimainkan di Paviliun Belanda. Selama enam bulan, grup Sari Oneng mengiringi empat penari utusan Istana Mangkunegaran, Solo. Tulis buku Saling Silang Indonesia-Eropa karya Joss Wibisono, penampilan Sari Oneng memukau ratusan ribu warga Prancis. Di antara mereka, ada komponis Claude Debussy, yang kemudian terpengaruh oleh musik pentatonik khas gamelan.
Selepas penjajahan, penetrasi internasional gamelan turut terbantu oleh kebijakan Orde Baru yang cenderung “Jawa sentris.” Saat itu, pemerintah mengirimkan gamelan ke seluruh kedutaan besar dan konsulat Indonesia. Sementara di sektor pendidikan, pemerintah membagikan beasiswa kepada mahasiswa asing yang ingin mempelajari budaya Indonesia. Khusus studi gamelan, mereka galibnya memilih Solo dan Yogyakarta.
Tapi jika ada satu hal yang paling berperan dalam melembagakan gamelan sebagai bahasa musik dunia, jawabannya ialah dibukanya jurusan etnomusikologi di kampus-kampus ternama di luar negeri. Musisi Belanda Jaap Kunst memulainya di Universitas Amsterdam pada 1940-an. Sebelumnya, Jaap bersama grup Trio Senar berkeliling Jawa untuk mempelajari gamelan, mengumpulkan arsip, serta merekam pertunjukan gamelan.
Dari Universitas Amsterdam itu jugalah kemudian lahir banyak musisi dan kritikus musik. Salah seorang murid Jaap, Mantle Hood, mendirikan Institute for Ethnomusicology di UCLA pada 1960. Dari sinilah terjadi ledakan teori dan karya gamelan dari Amerika Serikat. Kini ada lebih dari 200 grup gamelan yang aktif menggelar klenengan di negeri Paman Sam.
Di Eropa, diaspora gamelan pun kian mapan. Contohnya di Inggris. Jika 20 tahun lalu hanya ada sekitar lima kelompok gamelan, kini ada lebih dari 100 kelompok. Mereka tersebar hingga ke kota-kota “sekunder” seperti Manchester dan Liverpool. Fakta ini mungkin sulit dicerna, tapi gamelan kini cukup populer di kota yang telah memberi kita The Beatles.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi April/Juni 2019 (“Ibu Kota Gamelan”).