by Cristian Rahadiansyah 08 April, 2013
Glokalisasi Tanah Datar
Jimmy Gunawan awalnya hanya ingin membangun sebuah vila sebagai sarana retret di Kuta. Seorang pelancong asal Jerman lalu singgah dan menyewanya. Vila kedua didirikan dengan niat yang sama, tapi kembali disewa oleh turis asing. Pengalaman itu menyadarkan Jimmy: permintaan vila di Bali cukup tinggi. Di 2002, dia menciptakan Villa de daun, kompleks premium berisi 12 vila. Empat tahun sebelumnya, 35 kilometer di utara, Koman W. Suteja menangkap peluang serupa: para kolektor seni langganan galeri miliknya membutuhkan penginapan. Bermodal kocek pribadi, dia melahirkan Komaneka at Monkey Forest.
Terjun ke bisnis hotel secara instingtif jelas rentan risiko, apalagi tanpa pengalaman yang mumpuni. Di masa-masa awal, Villa de daun kurang terurus. Rumput di halamannya bahkan sempat tumbuh liar dan menghalangi pemandangan. Sang pemilik kemudian membenahinya secara bertahap. Jimmy rajin melakukan inspeksi ke hotel lain dan menyimak buku-buku bertema hotel. “Saya mencoba melihat segalanya dari sudut pandang tamu. Dari situ, saya tahu apa yang mereka butuhkan,” kenangnya.
Koman juga belajar secara autodidak. Bermodal pengetahuan atas seni dan budaya Bali, ditambah bekal ilmu bisnis dari kampus, putra pemilik Neka Gallery ini merancang sendiri hotelnya, baik dari segi eksterior, interior, maupun servis. Sukses dengan Komaneka at Monkey Forest, dia mengerek tiga properti tambahan di Ubud. Properti kelima kini sedang dikonstruksi di Pantai Keramas.
Jimmy dan Koman percaya, kesuk-sesan mereka tak lepas dari konsep hotel yang mengangkat karakter lokal. Hotel tidak dilihat sebagai bisnis penyewaan kamar semata, tapi juga kediaman yang menawarkan pengalaman autentik Bali. Di Villa de daun, suaka damai yang terkungkung atmosfer “liar” Legian, salam hormat khas Bali, panganjali, senantiasa dilayangkan kepada tamu. Di Komaneka, tamu diajak melebur dengan lingkungan rindang Ubud. “Konsep hotel saya terinspirasi kebudayaan Bali,” ujar Koman. “Saat menawarkan Komaneka, saya tidak menjanjikan hotel, melainkan rumah.”
Santrian, grup yang membawahi tiga properti, adalah contoh ekstrem penyuntikan budaya lokal dalam atmosfer hotel. Seragam karyawan, cara staf memberi salam, tata ruang, aksesori bangunan, hingga makanan, mengakomodasi adat setempat. Furnitur hotel bahkan tidak dibeli dari sembarang gerai, melainkan dipesan khusus ke perajin agar cocok dengan DNA merek hotel. Dan agar pendekatan tersebut berjalan konsisten, 80 persen pegawai direkrut dari kawasan sekitar. Menurut sang pemilik, “gesture khas Bali” lebih mudah diterapkan oleh orang-orang yang biasa mempraktikkannya. “Konsep Santrian tidak lepas dari alasan turis ke Bali, yakni mengalami Bali yang eksotis dan kaya budaya. Kami ingin memenuhi ekspektasi tersebut,” kata I.B. Gede Sidharta, pemilik Grup Santrian. Mematuhi konvensi adat mungkin bukan kewajiban bagi hotel internasional, tapi Grup Santrian melihatnya sebagai standar prosedur baku.
Sulit divalidasi apakah pendekatan tersebut semata taktik bisnis atau murni kesadaran budaya. Yang jelas, konsep mereka disambut positif oleh pasar. Enam puluh persen tamu di Santrian berstatus tamu reguler. Loyalty program Komaneka menaungi lebih dari 4.000 anggota. Sukses dengan Villa de daun, Jimmy merintis hotel bed & breakfast bernama Tanaya, lalu berekspansi ke Ubud dengan mendirikan Alaya, akomodasi yang dirancang Grounds Kent Architects—biro yang kini menggarap Jumeirah Bali.
Ketiga pemilik tersebut bukan hanya terlibat penuh dalam merumuskan identitas hotel, tapi juga bertindak layaknya jagawana harian yang memastikan roh hotel terpelihara. Sangat lumrah jika kita melihat mereka berkeliaran di hotel, memantau staf, memeriksa kondisi furnitur, hingga menyambut tamu. Kadar campur tangan pemilik yang tinggi adalah ciri lain yang membedakan hotel lokal dari mayoritas hotel internasional.
Identitas merek yang kuat juga krusial dalam lanskap persaingan hotel yang ketat. Merujuk data pemerintah, pada 2011, Bali disambangi sekitar 2,7 juta wisatawan asing dan 3,7 juta wisatawan domestik. Itu artinya, terdapat 17.500 tamu per hari, jauh di bawah jumlah kamar yang mencapai 45.000 unit. Gap itu bakal kian timpang sebab penambahan kamar jauh lebih cepat ketimbang peningkatan turis. Tahun lalu saja ada 33 penginapan baru yang diresmikan di Bali. Lembaga Knight Frank juga pernah mengungkapkan, hingga 2014, pasokan kamar baru di Bali mencapai 10.466 unit dari 60 proyek yang saat ini berlangsung. Kamar tumbuh agresif, arus turis merangkak pelan.
Dengan perbandingan pasokan dan permintaan yang jomplang, wajar jika banyak investor memilih solusi pragmatis: membangun hotel berdesain simpel di lahan sempit. Harapannya, biaya konstruksi lebih murah dan ROI lebih cepat digapai. Gelombang penginapan “city hotel” itu membuat hotel-hotel semacam Santrian dan Komaneka yang mempraktikkan prinsip “peka budaya”—misalnya dalam wujud bangunan berpostur pendek dan alokasi 40 persen lahan bagi ruang hijau—terlihat idiosinkratik, walau tidak otomatis terancam. Sebuah diferensiasi justru tercipta dan segregasi segmen makin tedas.
Kesetiaan pada kearifan lokal membuat Santrian dan hotel sejenis memiliki magnet, terutama bagi wisatawan yang ingin mencicipi karakter khas Bali. Tak heran, mayoritas tamu mereka berasal dari luar negeri. Kekuatan merek juga menjadikan hotel-hotel ini sangat percaya diri untuk bergerak mandiri. “Hampir tiap tahun Santrian berhasil mencapai okupansi 90 persen, kenapa harus menyewa manajemen asing?” jelas Gede Sidharta.
Dan buah yang dipetik tak cuma direfleksikan oleh tingkat okupansi, tapi juga pengakuan publik. Villa de daun menyabet gelar Best Boutique Hotel Spa dalam Crystal Awards Asia Pacific 2011; Komaneka at Monkey Forest menembus daftar Top 10 Luxury Hotels in Asia 2011 dari Trip Advisor; Santrian mengoleksi 13 Tri Hita Karana Award, penghargaan bagi properti yang memperhatikan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Portofolio impresif mereka menggoda pemain-pemain lokal lain menempuh pendekatan serupa, contohnya Sudamala.