Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Krakatau, 130 Tahun Pasca-Erupsi

Sesi matahari terbit di dermaga Sebesi.

Oleh R. Heru Hendarto

Pulau yang menjulang 813 meter ke langit itu menggelegar dahsyat dan memuntahkan seluruh isi perutnya. Langit kelam diselimuti abu tebal. Petir mencakar-cakar bumi. Gelombang setinggi pohon kelapa menyapu pesisir. Gaung letusan merambat jauh dan terdengar hingga Australia dan India. Getarannya tercatat di Bogota dan Washington. Tubuh-tubuh tak bernyawa ditemukan bergelimpangan di pesisir Zanzibar. Hari durjana itu, 27 Agustus 1883, dikenang oleh penulis Simon Winchester sebagai “hari di saat bumi meledak.”

Apa yang terjadi setelah itu tak kalah menakutkan: debu menyebar ke delapan penjuru mata angin dan menghalangi sinar mentari, siklus musim bergeser, sampar mewabah. Erupsi Krakatau dikenang dunia bukan sebagai tragedi alam semata, tapi juga sebuah rem kejut bagi peradaban modern yang saat itu melaju kencang. Krakatau juga menginformasikan kepada warga planet akan eksistensi sebuah kepulauan cincin api di sekitar garis khatulistiwa.

Kiri-kanan: Perahu membawa para wisatawan mendekati Pulau Anak Krakatau; Menambatkan tali di Lagoon Cabe untuk menghindari kerusakan terumbu karang. Di sini turis bisa melakukan snorkeling.

Hari ini, 130 tahun pasca-erupsi, saya berdiri di atas atap perahu kayu dan meluncur ke sumber petaka, melewati laut yang dulu mengirimkan tsunami setinggi 30 meter dan merenggut hampir 40 ribu nyawa. Perahu ditambatkan di dekat pulau yang terus mengepulkan asap dari atapnya, lalu para penumpang dengan semangat melompat dari perahu dan menginjakkan kakinya di pantai berpasir kasar dan gelap.

Horor letusan sudah lama berlalu. Alam telah menyembuhkan dirinya. Laut tampak tenang. Burung bersahut-sahutan di kejauhan. Angin sejuk membelai pipi dan menggoyang batang-batang pinus.

Gunung Anak Krakatau dari dekat.

Keperkasaan masa silam vulkan ini tak banyak membekas. Mega-letusan pada 1883 telah memorak-porandakan wadahnya dan membelahnya menjadi beberapa pulau kecil. Saya kini berhadapan dengan Anak Krakatau, gunung yang muncul di atas permukaan air 86 tahun lalu dan terus tumbuh hingga mencapai ketinggian 230 meter. Dunia dibuat was-was, bertanya-tanya apakah sang anak akan segalak ibunya.

Kawasan Krakatau telah ditetapkan sebagai area konservasi sejak zaman penjajahan. Pada 1919, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda mengeluarkan memo yang mengatur perlindungan geologis terhadap pulau-pulau sisa erupsi. Aturan itu dilanjutkan setelah Indonesia merdeka. Kementerian Kehutanan bahkan memperluas cakupan zona cagar alam hingga ke perairan seluas 11.200 hektare di sekitar Anak Krakatau. Bersama Taman Nasional Ujung Kulon di seberang laut, kawasan labil ini juga telah dinobatkan sebagai World Heritage Site oleh UNESCO pada 1991.

Punggungan Patok Sembilan, tempat terjauh yang diperbolehkan dikunjungi wisatawan.

Anak Krakatau telah menjadi destinasi wisata yang populer di antara Sumatera dan Jawa. Gunung ini umumnya dijangkau melalui dua cara. Pertama,  menaiki kapal kayu sewaan dari Dermaga Canti di Rajabasa, dengan waktu tempuh tiga hingga empat jam. Cara kedua, menyewa speedboat dari Pantai Anyer atau Pantai Carita. Memakai metode yang terakhir ini, durasi perjalanan memang lebih singkat, hanya dua jam, tapi ongkosnya jauh lebih mahal.

Saya mulai menjelajahi interior pulau, melompati beberapa batang kayu yang terbaring di atas pasir yang mengeras. Sepuluh menit kemudian, rute jauh lebih menantang: lereng curam 40 derajat dan medan berpasir gembur yang memicu frustasi. Sebenarnya lebih mudah berjalan tanpa alas kaki. Tapi manusia normal hanya sanggup melakukannya selama beberapa detik. Berjalan di sini layaknya melakoni atraksi debus. Baru lima langkah, kaki saya seperti terbakar.

Kiri-kanan: Jalur pendakian mendekati Patok Sembilan dengan latar belakang Pulau Rakata; menembus rerimbunan pohon pinus menuju puncak.

Matahari hampir di ujung kepala. Awan tipis membuat udara sangat panas dan lembap. Termometer di pergelangan tangan menunjukkan suhu 35,5 derajat celsius. Suhu di bawah sepatu saya pastinya lebih tinggi. Seorang jagawana cagar alam menyemangati para penumpang untuk terus mendaki. Dari permukaan yang lebih tinggi, saya menyaksikan tiga pulau—Rakata, Panjang, dan Sertung—yang membentuk formasi melingkari gunung. Sulit membayangkan ketiganya berasal dari rahim yang sama.

Di lereng sisi atas, patok sembilan adalah titik terjauh pendakian yang diizinkan oleh Balai Cagar Alam. Ini dalam kondisi normal. Saat gunung sedang batuk, sekadar mendarat di tepian pulau pun diharamkan. Material gunung api seperti lava pijar atau bebatuan panas dapat terlontar hingga radius satu kilometer dari pusat letusan.

Lereng curam Krakatau dengan pasir yang gembur.

Di area patok sembilan, saya bernostalgia ke pelajaran sekolah tentang jenis-jenis bebatuan. Absurd bagaikan ekosistem yang dilahirkan oleh sebuah luka, lanskap di sini menampilkan kombinasi warna gelap dan terang yang dihasilkan oleh pencampuran beragam tipe magma, serta batu-batu dengan tekstur penuh lubang yang disebabkan oleh lepasnya gas dalam proses pendinginan. Banyak bebatuan memiliki diameter lebih dari rentangan tangan orang dewasa—sebuah tanda patok sembilan adalah daerah yang rentan. Mendaki ke level yang lebih tinggi, pengunjung berisiko terkena lontaran material magma dan semburan gas dari sela-sela bebatuan.

Pengunjung kini menuruni lereng, lalu berenang di tepian pulau. Air mendinginkan kulit yang perih akibat diterpa atmosfer ekstrem gunung. Di sisi timur Pulau Rakata, setengah jam berperahu dari Anak Krakatau, terdapat titik snorkeling yang cukup menawan: Lagoon Cabe. Dasar lautnya ditinggali bermacam karang warna-warni. Dari dua speedboat yang berlabuh di laut tenang, para turis asing melompat ke air, kemudian berenang hilir-mudik di antara kawanan ubur-ubur bertubuh ungu. Di dekat pusat bencana yang dulu mengguncang planet dan merenggut banyak nyawa, bisnis pariwisata kini merekah subur.

Seorang wisatawan asing membaca papan petunjuk di Cagar Alam Krakatau.

Tapi bisnis itu relatif hanya mengandalkan alam. Opsi penginapan sangatlah minim. Pulau Sebesi adalah tempat terdekat dari Anak Krakatau yang menyediakan akomodasi yang cukup layak. Di sini terdapat beberapa vila sederhana dan sebuah aula milik Pemkab Lampung Selatan yang disewakan dengan tarif fleksibel. Pengunjung juga bisa menyewa rumah warga dengan tarif Rp200.000. Di sekitar Anak Krakatau tidak ada warung makan. Pengunjung disarankan membawa bekal dari penginapan. Jika malas repot, solusinya adalah memesan kelapa muda dan ikan bakar dari penduduk sekitar pulau.

Kami berlayar pulang. Hanya dua jam tersisa hingga matahari benar-benar tenggelam. Dengan iringan musik dangdut yang menyeruak dari deretan speaker di ruang kemudi, saya merebahkan diri di atap kapal dan membiarkan angin laut menghapus sisa-sisa garam di badan. Tragedi pahit 1883 mengukuhkan Krakatau sebagai salah satu landmark alam paling menakutkan dan mematikan. Entah apa yang bisa diperbuat oleh anaknya. Tapi, hari ini, sang gunung tak seseram reputasinya.

Padang rumput di depan puncak Sebesi.

PANDUAN
Rute
Dari Jakarta, Anda bisa menaiki kendaraan ke arah Pelabuhan Bakaheuni, lalu meneruskan perjalanan sekitar dua jam ke Dermaga Canti di Rajabasa. Di sini terdapat banyak operator perahu yang menawarkan paket tur ke Anak Krakatau dengan waktu tempuh tiga hingga empat jam. Opsi yang lebih singkat (dan mahal) adalah dengan menyewa speedboat di Pantai Anyer atau Pantai Carita, Banten. Durasi perjalanan hanya dua jam.

Penginapan
Tidak ada hotel di sekitar gunung. Lokasi penginapan terdekat adalah Pulau Sebesi. Di sini terdapat beberapa vila sederhana dan sebuah aula milik Pemkab Lampung Selatan yang disewakan dengan tarif nego (hubungi Hayun; 0813-6992-3312). Opsi penginapan lainnya adalah membeli paket homestay di rumah warga. Tarif sewa sekitar Rp200.000 (hubungi Danang; 0857-8110-6219).

Dipublikasikan pertama kali di majalah DestinAsian Indonesia edisi September/Oktober 2013 (Dispatches: Voyage–“Memori Tragedi”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5