Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Dine In: Kindling

dining hall (Photo: Jason Wong)

Vallian Gunawan mungkin mengasosiasikan dirinya sebagai sebatang kayu kecil yang digunakan untuk menyalakan api. ‘Api’ inilah yang kemudian menjadi asal mula restoran fine dining, Kindling di Cikini.

Menempati sebuah rumah bergaya kolonial di kawasan Cikini milik Lily Kasoem, putri Atjoem Kasoem atau yang dikenal sebagai A.Kasoem sang pengusaha kacamata sekaligus ahli optik pertama di Indonesia. Rumah bersejarah dari 1900 ini hanya dipugar tak diubah untuk mempertahankan bentuk asli dan juga bentuk penghormatan terhadap sejarah.

Mempertahankan bentuk rumah ini nyatanya juga menjadi sebuah bagian dari kisah kuliner yang diangkat oleh Kindling, di mana masa lalu yang penuh kenangan dan kenyamanan bertemu dengan modernitas yang indah. Buatnya, penting untuk menunjukkan jati diri restorannya di sana tanpa membuang identitas rumah tersebut.

Cita Rasa Asia dan Tafsiran ala Prancis

Vallian yang memulai karier kulinernya sebagai part-time kitchen staff sampai berbagai restoran kelas dunia seperti L’Atelier de Joel Robuchon, Saint Pierre, Odette Restaurant di Singapura, Soasons Restaurant di Hong Kong ini kemudian kembali ke Indonesia dan berkarier di Bali. Sebelum Kindling, dia membuka SKOOL Kitchen di Bali.

“Banyak teman yang bilang ke saya, kenapa tidak coba di Jakarta untuk coba sesuatu yang baru,” ucapnya saat menjamu kami, beberapa jam sebelum dia tenggelam dalam kesibukannya di dapur.

Val yang awalnya menyebut tak terlalu paham dengan lanskap kuliner Jakarta pun berpartner dengan BIKO Group untuk membuka Kindling yang berkonsep fine dining pada 23 Desember 2024 lalu.

“Kindling menggambarkan ranting atau tongkat kecil yang mudah terbakar untuk menyalakan api. Itu menjadi semangat kami, menjadi awal yang penuh harapan untuk sesuatu yang hebat,” kata Vallian.

Meski mengaku bahwa dulunya Jakarta tak pernah masuk dalam ‘radar kulinernya’ Kepercayaan dirinya untuk menghadirkan hidangan fine dining di area Cikini sangatlah tinggi. Tengok saja sekitar area ini. Cikini menjadi salah satu area rekomendasi dan tujuan pada pencinta kuliner yang ingin menikmati berbagai restoran, bar, dan kaki lima yang legendaris dan enak.

Namun, bagaimana dengan sebuah restoran fine dining di Cikini?

“Di sini tiap sudut punya hal yang berbeda, ada restoran yang menyenangkan di sini, ada kedai bakmi. Ini sangat kontras, vibrant, sangat bagus untuk dilihat.”

Lahir di Medan, Val ingin membawa semua hidangan Asia ke rangkaian tasting menu-nya dengan pendekatan teknik Prancis yang selama ini dipelajarinya. Selain teknik Prancis, ada banyak pengaruh dari hidangan Tiongkok, Jepang, dan Asia Tenggara lain yang dikuliknya dan dipadukan dengan teknik memotong dan memasak dari Prancis.

Kenangan Lama Bersemi Kembali

Memasuki rumah bersejarah Cikini sudah membuat mata saya terbuka lebar, halaman yang luas, sekat rumah dan interior klasik lengkap termasuk lampu jadul yang masih asli dengan artwork Indra Dodi, Xu Beihong’s, dan foto-foto John Navid menambah vibe Indonesia.

Saya dibawa ke ruang tamu yang klasik namun elegan dengan furnitur dominan kayu dekat jendela-jendela tua yang besar. Nuansanya hangat dan bersahabat. Ditemani artwork Color of Face #2 karya Indra Dodi, amuse bouche yang terdiri dari tuna tartare, chicken liver parfait, dan turnip cake disajikan bersamaan. Mulailah dengan tuna tartare yang ringan dan dibalut dengan kulit pastry tipis yang renyah dan semburat rasa asam jeruk yang menyegarkan.

Lanjuitkan dengan chicken liver parfait yang disajikan di atas toast yang dibentuk seperti biskuit panjang renyah. Di bagian atasnya parfait chicken liver disandingkan dengan mulberry dan green apple. Terlihat manis bak dessert yang berwarna, tingkat ketelitian dan attention to detail Val patut diacungi jempol. Sebagai small bites terakhir, turnip cake yang dibentuk menyerupai tartlet disajikan dengan saus XO, ebi dan lap cheong. Secara pribadi, hidangan ini justru membangkitkan memori saat kecil ketika ibu saya pulang dari pasar dan membawa oleh-oleh sunpia udang yang renyah dan gurih.

Usai small bites di living room, saya diajak untuk pindah ke ruangan selanjutnya, dining room. Kindling memang punya konsep unik untuk fine diningnya. Para tamu tak hanya berdiam di satu tempat dan menikmati rangkaian makanan yang disajikan berurutan selama beberapa jam.

Di dining room, nuansa yang sedikit lebih modern dengan kursi tinggi dan sofa besar mengelilingi see-through kitchen yang dibatasi oleh kaca tebal. Namun semua pelanggan bisa dengan jelas melihat aksi para chef termasuk Val untuk ‘meramu kenangan masa kecilnya’ lewat signature 8 courses-nya.

Dimulai dengan kombujime hamachi yang disajikan dengan bengkuang dan saus kecombrang. Meski menggunakan berbagai bahan khas Indonesia, namun tampilannya terlihat hidangan di restoran kelas dunia. Saat ini, mereka menggunakan 40% bahan impor dan 60% lokal, sedangkan ikannya sendiri didatangkan dari beberapa tempat termasuk Bali untuk menjamin kesegarannya.

Saya memilih kombucha sebagai pairing-nya. Untuk hidangan ini mereka menghadirkan jasmine kombucha dan kecombrang tonik homemade. Terus terang, saya agak skeptis dengan combo kecombrang dari kombucha dan saus ikannya. Sama-sama punya cita rasa yang kuat, kecombrang 2 hidangan mungkinkan terlalu over? Rupanya, Val berhasil mengurangi kepekatan aroma dan rasa kecombrang menjadi lebih samar lewat penggunaan espuma untuk kombuchanya.

Val kembali ke meja saya dan menyajikan crab custard. Sekilas tampilannya mirip dengan egg custard yang lembut dan gurih. Namun kali ini egg digantikan dengan daging kepiting roe sauce dan bafun uni yang segar. Namun di dalamnya, dia juga menambahkan black moss yang tipis dan lembut untuk membuatnya sedikit lebih kental dan bertekstur kenyal. Ini jadi salah satu hidangan favorit saya dengan sensasi rasa yang gurih, kenyal, namun tak pekat.

Hidangan demi hidangan terus berdatangan dalam rentang waktu 4 jam bersantap. Dari bbq kinmedai dengan paste smoked onion dan seaweed beurre blanc, veal sweetbread yang diolah dengan saus santan untuk menghadirkan rasa bumbu taliwang yang pedas namun ada rasa segar dari jeruk limau, dan uniknya mereka juga menyajikannya dengan kue beras Indonesia yang digrill.

Sebelum masuk ke dalam menu utama, glazed brioche yang disajikan dengan cultured butter homemade menjadi selingan yang menyenangkan. Aroma jeruk yang menyegarkan berpadu dengan olesan madu lengket dan kehangatan brioche Braud Artisan Bakery, sister company Kindling yang empuk menjadi sensasi tersendiri. Sebenarnya tak perlu butter tambahan untuk menikmatinya, tapi sayang rasanya jika tak mencicip butter homemade mereka.

amuse-bouche (Photo: Jason Wong)

Sajian menu utama memiliki dua pilihan protein, bebek atau beef. Saya mencoba keduanya, namun Carrara 640 beef yang disajikan dengan carrot pure, potato fondant yang digrill sampai smokey serta beef consome jadi unggulan malam itu.

Perlahan hidangan nyaris usai, paofan yang aslinya merupakan hidangan rumahan yang dibuat para istri di rumah menjadi comfort food tersendiri. Dia mencampurkan dua jenis beras yaitu beras Jepang dan beras Thailand yang dimasak dengan tambahan crumb untuk memberikan tekstur. Tambahan helaian sea cucumber, black winter truffle yang royal dan ikan fish maw serta siraman double chicken broth memang benar-benar menghangatkan perut dan juga hati.

Sebagai penutup, Val menyajikan earl gret yang dibuat sebagai palate cleanser dengan tambahan mandarin dan kumquat. Ini disajikan sebelum sunchoke yang terbuat dari artichoke Yerusalem dipadukan dengan brown butter crisp, barley porridge, granola, sorgum, dan caramel drizzle yang manis.

Usai hidangan di dining room, saya dibawa ke bar. Di sini, saya menikmati brown butter madeleine, pineapple choux, sour plum pate de fruit, dan hazelnut bonbon yang manis.