Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bertualang di Kawasan Selatan Afrika

Pemandu di tepi Sungai Zambesi.

Teks & foto oleh Christopher P. Hill

Dengan sebagian tubuh terendam di Sungai Zambezi, saya berjuang menjaga  keseimbangan dengan berpegangan pada bebatuan licin di tepian Victoria Falls. Tapi rasanya ada yang menggigit kaki saya. Saya berusaha cuek, lalu kembali berjalan dengan kedua tangan yang mulai kepayahan. Tapi, lagi-lagi, ada yang menggigit kaki saya.

“Makhluk apa yang hidup di sungai ini?” tanya saya kepada Alpha Omega, pemandu saya. “Paling hanya bayi ikan,” jawabnya sembari menyeka cipratan air dari wajahnya. “Mereka memijat kaki Anda ya?” Bayi ikan? Setidaknya bukan bayi buaya, pikir saya, berusaha menenangkan diri.

Saya menyeruak dari air dengan memanjat tepian berbatu, lalu kembali ke Pulau Livingstone yang bertengger di atas air terjun. Livingstone diambil dari nama seorang petualang Skotlandia yang singgah di sini pada 1855 dalam ekspedisinya mengarungi Afrika.

Hari ini, Pulau Livingstone dikerubungi sekelompok turis yang hendak menonton Victoria Falls. Puas menonton, mereka biasanya menjajal aktivitas paling menakutkan di objek wisata andalan Zambia ini, yakni berenang di kolam yang berada di bibir air terjun terbesar di dunia.

Ada dua kolam yang bisa dipilih. Yang paling terkenal bernama Devil’s Pool. Sayangnya, saat saya datang di Februari, kolam ini ditutup. Curah hujan yang terlalu tinggi membuatnya terlalu berbahaya untuk direnangi.

Tapi kolam kedua, Angel’s Pool, siap menerima tamu, dan di sinilah saya, Alpha Omega, dan sepasang pemuda tegap berendam. Belum ada yang tewas akibat aksi nekat itu memang, tapi bukan berarti saya merasa aman. Satu-satunya yang memisahkan saya dari tebing setinggi 100 meter adalah sebaris batu basah. Itu pula sebabnya saya hanya berani berenang selama lima menit. Kedua turis di rombongan saya bertahan lebih lama, terus melolong di atas air seperti anak-anak yang kegirangan di taman rekreasi.

Victoria Falls hanyalah satu dari beragam tempat menakjubkan yang saya sambangi dalam trip sembilan hari di kawasan selatan Afrika. Ini kunjungan pertama saya ke Benua Hitam. Rute saya mencakup dua negara, dan saya menginap di tiga hotel milik Grup Sun International, yakni Palace of the Lost City di North West, Afrika Selatan; Table Bay di Cape Town; serta Royal Livingstone di Zambia.

Persinggahan pertama saya, Palace of the Lost City, adalah bagian dari megakompleks hiburan Sun City yang dibuka oleh hotelier Sol Kerzner pada 1979. Tempat ini pernah disinggung dalam lirik anti-apartheid karya Steven Van Zandt: “I, I, I, I, I, I ain’t gonna play Sun City.” Dulu, Sun City memang menjadi simbol diskriminasi rasial. Setelah Afrika Selat memasuki alam demokrasi pada 1994, Sun City berubah menjadi tujuan liburan yang sangat populer.

Kiri-kanan: Gift, pemandu safari di Taman Nasional Pilanesberg, Afrika; dua ekor zebra merumput di taman Royal Livingstone, resor tepi sungai yang berada di dekat Victoria Falls.

Seperti diperlihatkan dalam film komedi Blended yang dibintangi Adam Sandler, Sun City menampung kasino, lapangan golf rancangan Gary Player, danau jet ski, serta water park berisi pantai artifisial dan kolam raksasa yang mampu memproduksi gelombang setinggi dua meter setiap 90 detik. Fasilitas lainnya adalah zip-line yang diklaim sebagai yang terpanjang dan tercepat; suaka buaya; serta lorong-lorong batu menuju taman yang menyuguhkan bir-bir lokal.

Bagi turis Afrika pemula seperti saya, daya tarik terbesar Sun City adalah lokasinya yang bertetangga dengan Taman Nasional Pilanesberg, kawasan konservasi yang relatif kecil, tapi punya koleksi satwa yang lumayan lengkap.

Saat langit tenang, tempat ini menarik dijelajahi dengan balon udara. Tapi berhubung ingin berada lebih dari satwa, saya pun memilih menaiki Range Rover. Bersama sopir bernama ajaib—Gift—saya memulai safari di pagi yang dingin. Baru sebentar berkendara, warga asli lokal langsung tampak: seekor gajah jantan yang berjalan lamban di padang rumput. Setelah itu muncul rombongan wildebeest dekil dan kawanan impala yang gesit.

Mobil kembali melaju dan kami melewati sepasang jerapah yang tengah menyantap daun-daun di ranting teratas pohon acacia. Di waktu yang lain, sopir buru-buru menginjak rem karena belasan zebra mendadak melintas. Kata Gift, yang telah bekerja selama tujuh tahun untuk operator tur Mankwe Gametrackers, Pilanesberg ditinggali macan tutul, namun nyaris mustahil bisa melihat mereka karena bulan ini rumput sedang rimbun.

Dalam perjalanan kembali ke hotel untuk makan siang, kami melihat keluarga badak yang sedang merumput di tepian danau, serta seekor jackal yang berlarian di jalan, kemudian langsung menghilang di balik semak usai mendengar suara mobil.

Usai bertualang di Pilanesberg, kunjungan ke Cape Town membuat semangat langsung susut. Safari dan tur kota memang bukan kombinasi yang ideal. Tapi saya tidak bermaksud melecehkan Cape Town. Ini kota yang karismatik, terutama siang ini saat langit musim panas seperti seprai biru tanpa awan.

Hotel saya pun tak kalah menawan: Table Bay, properti yang bersemayam di Victoria & Alfred Waterfront. Dari kamar, saya bisa menatap jauh hingga ke Pulau Robben yang menampung penjara Nelson Mandela. Dalam sesi teh sore hari di atrium hotel, panoramanya berganti menjadi dermaga nelayan dan lereng berotot Table Mountain.

Saya membuka pagi dengan meluncur ke area Bo-Kaap yang dihuni rumah-rumah berwarna pastel, kemudian ke Signal Hill guna menonton gantole melayang-layang di atas kawasan elite Sea Point. Di kantong kelas pekerja Woodstock, saya membuntuti warga keluar-masuk butik, galeri seni, dan toko barang antik di Old Biscuit Mill, bekas kompleks pabrik yang beralih fungsi menjadi sentra kreatif. Saya juga sempat menghabiskan beberapa jam di Kebun Raya Kirstenbosch, di mana saya mengagumi beragam tanaman, mulai dari cycad (mirip palem) yang berusia satu abad hingga fynbos (tanaman semak) yang memenuhi sebuah taman besar.

Kiri-kanan: Pemandangan kota tepi hutan dengan latar pegunungan; Bangunan tua yang menjadi salah satu objek wisata populer.

Tiba di hotel, saya kembali melihat fynbos, tapi kali ini di atas meja makan Camissa. Restoran ini dipimpin oleh Jocelyn Adams, koki yang gemar mengolah bahan-bahan liar khas lokal. Kreasinya luar biasa sedap. Saya mencicipi skilpadjies dengan braaibroodjies (roti isi daging sapi), serta lobster kari gaya Melayu yang disandingkan dengan flatbread dan sambal. Semuanya dipadukan dengan vintage wine buatan Cape Winelands.

Saya sempat bertanya kepada sang koki tentang arti dune spinach. “Akan saya tunjukkan,” jawabnya. Dia meninggalkan restoran, lalu kembali dengan menggenggam daun. “Ini saya petik dari lahan parkir,” ujarnya. Benar-benar penggemar bahan lokal.

Dalam perjalanan dari Cape Town menuju Livingstone di Zambia, saya bermalam di Johannesburg, persisnya di kawasan bonafide di utara kota di mana hotel-hotel terbaik berkerumun. Penginapan saya, The Maslow, juga bagian dari jaringan Sun International.

Saya pernah membaca tentang penurunan tingkat kejahatan di kota terbesar di Afrika Selatan ini. Saya sempat berniat berkelana ke pelosok kota guna mengecek kepastian catatan itu, tapi seorang pramusaji (remaja Durban yang mengaku dirampok di pusat kota Jo’burg beberapa bulan silam) dan seorang sopir menyarankan saya mengurungkan agenda tersebut.

Sebagai gantinya, saya menyambangi Museum Apartheid. Tempat ini menggambarkan kelamnya kehidupan di bawah rezim apartheid. Salah satu koleksi permanennya adalah 131 tali gantungan yang melambangkan jumlah tahanan politik yang dihukum gantung di bawah undang-undang anti-teror. “Masa yang suram,” ujar Themba, sopir saya. “Tapi sekarang lebih baik, asalkan kita bisa terus menjaga warisan Madiba [Mandela].”

Menaiki pesawat pagi ke Livingstone di ujung selatan Zambia, saya kembali memasuki negeri safari dan langsung menerima sambutan yang mendebarkan. Rampung dengan proses imigrasi, saya dijemput oleh staf Royal Livingstone, lalu dibawa ke sebuah dermaga di Zambezi. Perahu saya menembus arus dan jeram, kemudian mendarat di tepi padang rumput di mana seorang pria etnis Lozi dengan rok merah menyanyikan lagu selamat datang. Namanya Edward Minyoni. Jabatannya di hotel: pendongeng. Saya tidak pernah tahu apa tugas resminya, tapi yang jelas, Edward selalu ada untuk menunjukkan meja di restoran atau mengantar saya ke kamar.

Royal Livingstone menaungi 173 kamar yang tersebar dalam bangunan dua lantai di meander sungai. Beberapa ekor jerapah dan zebra dibiarkan berkeliaran di hotel. Pohon-pohon yang tumbuh di lahannya, misalnya leadwood dan mahoni, senantiasa diramaikan kicauan burung dan obrolan monyet.

Hotel ini juga menawarkan banyak aktivitas. Andaikan tamu enggan mencoba sesi pijat di tepi sungai, mereka bisa menyambangi Victoria Falls dengan berjalan kaki selama 15 menit. Suatu sore, saya berpartisipasi dalam tur safari di sungai untuk mengintip kuda nil dan buaya, serta menikmati gin and tonic di perahu. Saya juga sempat mengikuti tur di taman nasional terdekat untuk menyaksikan parade kerbau liar.

Bajaj berwarna ceria di pusat kota.

Di hari lainnya, saya menaiki kereta uap Royal Livingstone Express dan meniti rel yang dibentangkan di sini sebagai bagian dari rute Cape-Kairo rancangan Cecil Rhodes, pendiri Rhodesia. Tur nostalgia ini membawa saya membelah Jembatan Victoria Falls, berhenti sejenak di dekat perbatasan dengan Zimbabwe, serta mengagumi pemandangan air terjun dan Zambezi Gorge yang mengular 128 meter di bawah rel.

Di hari terakhir, saya menaiki helikopter dan terbang di atas Victoria Falls. Dari udara, saya bisa menangkap panorama megah air terjun yang berbentuk tirai selebar 1,7 kilometer, serta ngarai zigzag yang diukir sungai selama ribuan tahun. Sepanjang kemarau, Victoria Falls menyusut drastis debitnya hingga terlihat kurus. Tapi, hari ini, ia begitu bergemuruh, terus mengirimkan uap, terus membasahi udara layaknya hujan yang bersumber dari bumi ketimbang langit.

Mosi-oa-Tunya, “asap yang menggelegar,” begitu Suku Lozi menamai air terjun ini. Nama yang lebih dramatis ketimbang “nama internasional” yang dipatenkan dalam atlas oleh David Livingstone demi mengagungkan Ratu Inggris. Tapi David tidak sepenuhnya keliru. “Panoramanya begitu elok hingga saya yakin malaikat menatapnya ketika melintas di udara,” tulisnya dulu tentang Victoria Falls. Menatap air terjun ini dari udara, saya mungkin juga akan sepakat dengannya ketika memilih nama.

Kiri-kanan: Gading artifisial dan patung macan yang menghiasi menara Palace of the Lost City; Panorama air terjun Victoria Falls yang tersohor di Afrika.

Detail Afrika

Rute
Gerbang kawasan selatan Afrika, Bandara O.R. Tambo di Johannesburg, dilayani oleh Singapore Airlines (singaporeair.com) via Singapura, serta Cathay Pacific (cathaypacific.com) via Hong Kong. Untuk penerbangan lanjutan ke Cape Town dan Livingstone, salah satu opsinya adalah South African Airways (flysaa.com).

Penginapan
Palace of the Lost City – Sun City, North West, Afrika Selatan; 27-14/557-4307; suninternational.com; doubles mulai dari Rp7.500.000.

Table Bay Hotel – Quay 6, Victoria & Alfred Waterfront, Cape Town, Afrika Selatan; 27-21/406-5000; suninternational.com; doubles mulai dari Rp6.200.000.

The Maslow – Cnr. Grayston Dr. and Rivonia Rd., Sandton, Johannesburg, Afrika Selatan; 27-10/226-4600; suninternational.com; doubles mulai dari Rp5.100.000.

The Royal Livingstone – Mosi-oa-Tunya Rd., Livingstone, Zambia; 260-21/3321-122; suninternational.com; doubles mulai dari Rp12.000.000.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April 2016 (“Afrika Autentik”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5