by Cristian Rahadiansyah 24 April, 2015
Keliling Dunia Merekam Dampak Globalisasi
Seperti garis khatulistiwa, Jules Verne membelah dunia secara horizontal, dari London ke Mesir, lalu ke Bombay, Hong Kong, dan Yokohama, berlanjut ke San Francisco dan New York, selanjutnya kembali ke titik awal. Tapi itu semua hanyalah imajinasi, persisnya imajinasi seorang novelis yang terlahir di kota pelabuhan yang sibuk di barat Prancis, di mana kapal-kapal dari Samudra Atlantik hilir mudik membawa kisah-kisah dari penjuru bumi, lalu menyulut hasratnya bertualang.
Petualangan yang dituangkan di atas kertas. Jules menulis Around the World in 80 Days pada paruh kedua abad ke-19, saat tanah kelahirannya sedang berperang sengit melawan Prussia demi memperebutkan Jerman. Dia juga menulis Journey to the Center of the Earth dan Twenty Thousand Leagues Under the Sea. Berkat karya-karyanya, dia didaulat sebagai “Bapak Fiksi Ilmiah” oleh dunia literatur. Layak disebut “fiksi” memang, karena saat itu ekspedisi-ekspedisi kolosal di novelnya hanya bisa dibayangkan, atau setidaknya baru bisa direncanakan. Jalur kereta transkontinental di Amerika baru rampung dipasang dan Terusan Sues baru dibuka. Dari imajinasi Jules itulah babak baru petualangan dimulai. Seiring dengan itu, pariwisata global menancapkan fondasinya.
Fotografer Vincent Fournier mengaku terpesona oleh karya monumental Jules sejak kecil, tapi sejatinya dia bukan orang pertama yang tergerak olehnya. Di pengujung abad ke-19, Nellie Bly, seorang jurnalis wanita, mengitari dunia dalam 72 hari. Membuka abad baru, James Willis Sayre meniru aksi nekat serupa dengan mengandalkan kendaraan umum selama 54 hari.
Yang menarik dari Vincent, dan saya kira relevan pada masa ini, bukanlah bagaimana atau seberapa lama dia bertualang, karena cara dan durasi tak lagi relevan dibahas setelah teknologi transportasi begitu modern. Vincent layak disimak karena dia meletakkan fokusnya untuk memotret buah dari semua kemajuan peradaban pada karakter dunia.
Vincent memotret dengan kritis, bukan bertualang semata demi petualangan. Dalam konteks ini, esainya yang diberi judul satir Tour Operator lebih menawarkan refleksi ketimbang aksi. “Tujuan pertama saya adalah mendokumentasikan bagaimana perekonomian mengubah lanskap, juga relasi antara globalisasi dan geografi,” ujarnya. “Saya juga hendak melihat tempat-tempat yang mulai terlihat serupa: balai kota, jalan-jalan utama… Mereka sejatinya ‘bukan-tempat,’ anonim, kosong atau penuh, tidak memiliki sejarah, tidak memiliki masa lalu, hanya dibuat dari serangkaian pakem yang kemudian dirangkai untuk menciptakan pakem-pakem generik.”
Dari Cina ke Kanada, Skandinavia, Afrika, Eropa, lalu Amerika, Vincent dengan cermat mencari struktur yang kontradiktif dengan lingkungannya, melacak benturan antara gaya dulu dan sekarang, juga menyoroti perilaku manusia dan konsekuensinya pada budaya lokal. Memakai kamera large format, dia juga menangkap komunalisme dan alienasi yang melanda masyarakat, juga memotret gerak dan kebekuan pada subyek-subyeknya. Vincent, fotografer genius yang selalu memberi ruang bagi tafsir, mengajak kita melihat bagaimana persepsi dan realitas saling bertaut, lalu kita pun masuk ke “perbatasan antara fakta sejarah yang serius dan mimpi-mimpi dari masa kecil.”
“Pada 2007, saya membeli tiket keliling dunia, lalu berkelana selama tiga bulan, kemudian menyelesaikan proyek ini secara bertahap,” ujar Vincent. Fotografer yang lahir di Burkina Faso dan menetap di Paris ini tak hafal jumlah negara yang disambanginya, tapi dia masih ingat metode menyeleksinya. “Kriterianya: rasa penasaran,” jelasnya.
Vincent mempelajari fotografi di National School of Photography di Arles, Prancis, kemudian mengambil gelar Master of Cinematography. Foto-fotonya pernah terpampang di banyak media ternama, mulai dari GQ, Marie Claire, The Daily Telegraph, Wallpaper*, hingga Wired. Beberapa karyanya menjadi koleksi tetap sejumlah institusi bergengsi, sebut saja LVMH Contemporary Art Collection dan MAST Museum. “Foto-foto saya mempertanyakan dunia di sekitar kita melalui gambaran situasi yang abu-abu, menyangsikan, kadang tidak konsisten,” ujarnya.
Dibandingkan esai-esai lain karyanya, Tour Operator memiliki cakupan wilayah terluas. Vincent melompat ke banyak tempat, membaca utopia globalisasi, serta melihat langsung bagaimana “uang membuat dunia berputar dan rasa bosan mendorong manusia berperang.” Dari esai panjang itu pula, Vincent mengaku berhasil memetik satu pelajaran penting: “rasa penasaran bisa menyelamatkan hidup kita.”
Rasa penasaran membawanya berkelana. Rasa penasaran pula yang menjaga semangatnya dalam pengelanaan. “Saya tidak pernah menetap di satu tempat lebih dari tiga hari,” ujarnya lagi. “Dengan begitu saya bisa terus merasa penasaran.”
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Maret/April (“Utopia Unilinear”)
Saluran pembuangan di Saitama, sisi utara Tokyo yang dikonstruksi dari 1993-2006 dengan biaya $3 miliar. Got raksasa ini mampu memompa 200 ton air per detik menuju sungai guna menjaga Tokyo senantiasa bebas banjir (2009).