Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sein Kiri, Belok Kanan: Komunisme ala Vietnam

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh Irene Barlian

Minggu pagi di Lenin Park, Hanoi seperti kota yang memeluk dua “agama” sekaligus. Dua agama ciptaan manusia. Dua agama yang sengit bermusuhan, yang telah memicu banyak perang, kira-kira sejak 70 tahun silam. Dua agama bernama kapitalisme dan komunisme.

Di pinggir Lenin Park, patung kelabu Vladimir Lenin menjulang jemawa. Pemimpin agung Uni Soviet itu digambarkan sedang melangkah melawan angin. Tangan kanannya menahan jas yang berkibar. Parasnya memancarkan ekspresi optimistis, layaknya bapak tegar yang punya jawaban atas semua masalah, walau sepertinya gagal meramal masa depan.  

Di sekitar patung, segalanya berseberangan dengan apa yang diyakini Lenin. Ada remaja berdansa K-Pop, barisan mesin ATM, juga kedai waralaba Highlands Coffee. Sepeda motor berseliweran, termasuk sepasang Harley-Davidson, sementara pengendara ojek Grab mangkal menanti order. Tak jauh terpisah, sebuah Lamborghini terparkir di muka butik Vertu. Di tempat yang menganut prinsip “sama rasa sama rata” ini, Anda ternyata tak cuma bisa memiliki Harley atau Lamborghini, tapi juga boleh memamerkannya.

Saya mengikuti arah mata Lenin dan menemukan satu-satunya hal yang mampu meredam emosi almarhum: poster propaganda klasik yang menampilkan rakyat dan tentara manunggal menyambut hari esok. Ada petani yang membopong padi, diapit tiga tentara yang membawa bunga, buku, dan bazoka. Semuanya tersenyum. Entah kenapa orang bisa tersenyum sambil memanggul bazoka. 

Kiri-Kanan: Seorang remaja ekspatriat bermain skateboard di Lenin Park; Pengendara ojek daring mangkal di depan poster klasik komunis.

Hari-hari ini, bingung adalah respons yang wajar saat mengunjungi Hanoi. Dari segi visual dan identitas, kota ini sukar dipahami, begitu kontras, barangkali juga fotogenik, sejenak mengingatkan pada film drama komedi Good Bye, Lenin!

Akan tetapi, jika kita mengenang tragedi masa silam, impresi yang didapat mungkin tak melulu menghibur. Dari Perang Dingin hingga Perang Vietnam, persaingan hegemoni ideologi kapitalisme versus komunisme telah menelan jutaan nyawa, memisahkan banyak keluarga, juga meninggalkan trauma, termasuk di Indonesia. Banyak eksil sampai sekarang belum bisa mudik ke tanah airnya akibat cap “Marxist” atau “antek CIA.” 

Pada dogma manakah Hanoi kini berkiblat, tak ada jawaban final yang meyakinkan, dan kota ini agaknya tak punya waktu untuk menjawabnya. Saat ini, Hanoi laksana Beijing versi Asia Tenggara atau Moskwa di tepi Sungai Merah. Ini garda komunis yang giat melecut perekonomiannya. Bagi turis, itu artinya ada banyak tawaran segar, walau di saat bersamaan ada banyak paradoks yang memicu tanda tanya.

Saya datang ke Ibu Kota Vietnam awal Desember silam. Dari terminal internasionalnya yang modern, mobil membawa saya menyusuri jalan terlebar di Hanoi, melintasi jembatan termegah di Hanoi, di mana lampu Philips berbaris menembakkan—katanya—16 juta warna berbeda. Semua ini baru diresmikan pada 2015. Kota komunis yang mengutamakan keseragaman ini ternyata menaruh minat pada keragaman. Saya bahkan baru tahu warna bisa mencapai 16 juta varian.

Kolam renang di Thang Loi, hotel yang dikonstruksi oleh 500 buruh Kuba dan diresmikan pada 1975, beberapa bulan setelah Perang Vietnam.

Malam pertama, saya menginap di Thang Loi, hotel renta di bantaran West Lake. Kondisinya mengenaskan. Baunya apak. Dindingnya lapuk, sebagian terkelupas. Padahal hotel ini menyimpan sejarah yang penting. Thang Loi dirancang di Kuba, dikonstruksi oleh 500 buruh Kuba, diresmikan pada 1975, beberapa bulan selepas Perang Vietnam. Saya membayangkan masa jayanya tatkala para tamu berjemur di tepi kolam, menyesap mojito dan mengisap cerutu Havana. 

Usai masuk kamar, saya berdiri di balkon dan menyaksikan permukaan danau yang memantulkan lampu-lampu LED dari gedung sekitar. “Selepas senja, kota ini terlihat lebih misterius, jalan-jalannya terlalu gelap untuk membaca,” tulis Pico Iyer dalam buku Falling Off the Map. Dia mengunjungi Hanoi pada 1991. Sekarang, seantero kota seakan bermandikan cahaya.

Melirik ke samping balkon, saya melihat seorang pria sedang mengayun stik di Jack Nicklaus Golf Academy. Di sudut yang lain, seorang bapak menaiki sampan untuk mengumpulkan bola-bola putih yang terapung. Angin dingin Desember berkesiur. Nyamuk-nyamuk gemuk seukuran anak jangkrik berebut tempat pada dinding kusam. Saya membuka layanan Grab Food dan menemukan promosi KFC dan warung Indomie. Saya kini membayangkan menu apa yang akan dipesan oleh Fidel Castro.

Kiri-Kanan: Jack Nicklaus Golf Academy di tepi West Lake; Warga lokal melewati mobil Lamborghini yang terparkir di depan butik Vertu.

Ini lawatan ketiga saya ke Hanoi. Sebagaimana mayoritas turis, saya mengenangnya sebagai kota tua yang tekun merawat masa silamnya. Pernah berstatus pusat Imperial Vietnam, Hanoi mengoleksi banyak relikui kerajaan yang karismatik. Bersanding dengan petilasan itu, ada ratusan bangunan romantis bergaya Prancis, warisan dari era ketika Hanoi berperan sebagai Ibu Kota French Indochina.

“Orang-orang Prancis akan memberi tahu Anda bahwa ini adalah kota paling atraktif   di Timur,” tulis novelis Somerset Maugham, yang singgah di Hanoi pada awal abad ke-20, “tapi jika Anda bertanya alasannya, jawabannya ialah karena Hanoi persis menyerupai kota Montpellier atau Grenoble di Prancis.”

Somerset mungkin tak keliru, tapi mereka yang datang pada abad ke-21 akan sulit mengenali sosok Hanoi sekarang. Menyusuri area seputaran Hoan Kiem Lake, saya mendapati keramaian sebuah festival. Toko-toko berbaris menjajakan paket pulsa hingga kaus berlambang palu arit. Sepeda motor menguasai trotoar, bersaing dengan dingklik-dingklik lapak bakmi pho. Anak muda berdansa, sementara turis asing kewalahan mendorong kereta bayi, bingung harus berjalan lewat mana.  

Di luar kawasan Kota Tua, atmosfernya tak kalah sibuk. Ada banyak distrik baru yang dihuni kantor dan apartemen. Jalan layang melintang di banyak perempatan. Crane bersaing menggapai langit. Menurut survei Emporis, Hanoi berada di posisi ke-37 dalam daftar kota dengan pencakar langit terbanyak di dunia.

“Bisnis memang tumbuh di sini,” jelas Anthony Slewka, mantan marinir Amerika Serikat yang beralih karier ke sektor perhotelan. “Itu juga sebabnya hotel bisnis bermunculan.” Saya menemui Anthony di Angelina, restoran mewah yang menawarkan paket “Trump & Kim Lunch,” persis seperti yang dinikmati kedua kepala negara itu ketika bersua di Hanoi. Menggiurkan memang, tapi saya memilih mengosongkan perut untuk melahap paket pesaing dari warung tetangga: bun cha yang disantap Barack Obama dan Anthony Bourdain. 

Pentas musik di Savage, kelab malam rubanah paling kondang di Hanoi.

Dalam buku Hanoi, A Metropolis in the Making, Sylvie Franchette merangkum perubahan pesat Hanoi sebagai “metropolisation” yang digerakkan oleh dua aktor utama: negara dan perusahaan pengembang. Namun dia juga menyebut fenomena ini tidaklah datang sekonyong-konyong. Apa yang melanda Hanoi sebenarnya dimulai di Ho Chi Minh City (HCMC).

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5