Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Alasan Mengapa Sarong Tetap Memesona

Oleh Cristian Rahadiansyah
Foto oleh David Burden Photography for Sarong

Senin malam, saat Bali masih mengidap sisa-sisa hangover, Sarong sudah sibuk melayani pesanan. Hampir semua kursinya telah terisi. Duduk di bawah kandil temaram, saya mencicipi menu pembuka yang atraktif: dua keping tempe goreng yang ditindih irisan salmon. Kombinasi bahan yang janggal memang. Tempe dan salmon adalah dua bintang dari kutub yang berjauhan, barangkali mirip duet Hamish Daud dan Tyra Banks. Saya mengunyahnya seraya mencerna. Kreasi sedap semacam itulah yang agaknya sukses melambungkan pamor Sarong.

Otak di balik dapurnya, Will Meyrick, bermimpi mengangkat resep rumahan dan makanan jalanan Asia ke meja fine dining, lalu menyajikannya kepada lidah internasional. Beberapa menu dieksekusi dengan teknik orisinal, sementara sisanya, seperti duet tempe dan salmon tadi, merupakan buah eksperimen yang cerdik. Di tengah kompetisi restoran yang alot, Sarong memilih jalur yang rumit untuk menggaet tamu. Tapi pertaruhannya berhasil.

Untuk menekan harga, Will Meyrick kerap menggunakan bahan-bahan lokal di masakannya.

Gerai yang hanya buka untuk makan malam ini mengisi ceruk yang minim pemain: restoran casual fine dining yang tak sungkan bermain dengan bumbu. Di atas piring keramik Kevala, bahan-bahan dari ranah yang berjauhan seolah berpadu, berkelindan, kadang manunggal. “Sarong menawarkan kreasi yang inspiratif dan berbeda,” ujar Via Wijaya, Managing Editor Let’s Eat!, majalah kuliner yang bermarkas di Bali. “Saat banyak restoran Pan-Asian merupakan produk waralaba atau cuma fokus pada satu aliran makanan, Sarong meracik makanan memakai perspektif yang lebih variatif: campuran beragam budaya.”

Hidangan kari hijau dan ikan kakap dengan kacang panjang.

Tapi fusi lintas-negara bukan formula sukses satu-satunya. Selain eklektik merangkai bahan, restoran ini juga setia menjaga autentisitas rasa. Will adalah koki yang gemar berkelana untuk mencicipi makanan langsung dari sumber-sumber yang otoritatif, sebut saja Sop Empal Bu Haryoko di Yogya dan Toko Kue Mama di Makassar. Ekspedisi itu memberinya pelajaran yang penting: rasa yang berani adalah fondasi tradisi dapur di belahan bumi ini. “Inti bisnis saya adalah membawa keaslian resep masakan dari warung-warung tepi jalan ke lingkungan yang berbeda,” jelas Will, yang beristrikan Wati, wanita asal Jawa Barat. “Kami tidak hendak memodifikasi makanan lokal agar cocok untuk lidah global. Sebaliknya, kami ingin mengajak publik mengenal resep asli setiap masakan dan menyelami kekayaan budayanya.”

Interior Sarong dengan desain khas restoran fine dining.

Tahun ini, lebih dari 900 pakar kuliner internasional menjebloskan Sarong dalam daftar Asia’s 50 Best Restaurants. Bersamanya bertengger nama-nama yang menyilaukan semacam Andre dan Nahm. Terpilihnya Sarong turut menjaga pamor Bali sebagai poros kuliner Asia. Tahun lalu, restoran Pulau Dewata yang tercantum dalam daftar ini adalah Mozaic Ubud. “Sarong memiliki faktor X yang tidak dimiliki banyak restoran lain,” jelas Stanislaus Hans, pemilik EatAndTreats, salah satu food blog paling berpengaruh di Indonesia.

“Segalanya di sini terasa pas: lokasinya, bangunannya, makanannya, servisnya, juga kreativitasnya dalam meramu menu.” Hans menilai restoran ini juga lihai menjaga konsistensi. “Di dunia F&B, salah satu hal yang paling susah dijaga adalah konsistensi. Anda bisa menyerahkan resep ke orang lain, tapi hasilnya tak akan sama.”

Beef tartar dengan sambal ulek, keripik singkong, dan ikan asin.

Di buku menunya, Sarong mengoleksi 89 wine dan 45 menu. Harga menunya relatif rendah hati: termurah Rp45.000, termahal Rp390.000. Salah satu taktik Will untuk menjaga harga adalah dengan berbelanja bumbu dari lokasi terdekat. Timnya juga sudah membangun peternakan di Jatiluwih. Suckling pig dan crispy chicken adalah dua contoh menu yang bahannya dipasok dari kawasan subur tersebut.

Piring-piring masih meluncur ke meja saya, membawa aroma bumbu yang menggoda selera. Sarong adalah tempat di mana kari India dan sambal Manado bisa bersua di atas meja. Di ujung sajian, sebuah kejutan lain datang: kombinasi klepon dan panna cotta. Tempat ini bagai kuali budaya yang mempertemukan mempelai dari dunia yang berbeda, dan Bali memang episentrum yang ramah untuk melakukannya. Saya beralih ke bar, menutup malam dengan menyelami kontras khas Sarong lainnya: koktail Vodka dan cabai merah. Di belakang saya, duet Will dan Wati menikmati makan malam.

Jl. Petitenget 19x, Kerobokan, Bali; 0361/4737-809; Sarong Bali.

Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Nov/Des 2014 (“Super Sarong”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5