by Cristian Rahadiansyah 02 September, 2020
Akibat Pandemi, Pesawat Jumbo Pensiun Dini
Setelah separuh abad mengudara, Queen of the Skies dipaksa turun takhta. Boeing 747 akan dihentikan produksinya pada 2022. Bukan karena pesawat legendaris ini sudah kedaluwarsa, tapi karena persaingan dan tuntutan zaman.
“Terkait proyeksi dan dinamika pasar terkini, kami akan menyetop produksi pesawat ikonis 747 pada 2022,” tulis CEO Boeing, Dave Calhoun, dalam secarik surat yang emosional kepada para karyawannya pada 29 Juli silam.
Awalnya idola di udara, B747 mulai kehilangan penggemar pada 1990-an. Penyebabnya ialah hadirnya banyak bintang muda yang lebih ramping, gesit, juga hemat avtur, contohnya A330, A350, B777, serta B787.
Baca Juga: Maskapai Asia Pasifik Jadi Korban Terparah Wabah
Rating B747 kemudian kian jeblok akibat pandemi Covid-19. Tergantung variannya, pesawat tambun yang menginspirasi istilah jumbo jet ini menampung 416-568 kursi. Di periode seret penumpang, biaya operasionalnya kelewat berat.
Problem komplikasi itulah yang memaksa banyak maskapai memajukan tenggat pensiun sang ‘Ratu Angkasa.’ Pada 29 Maret, KLM menggelar penerbangan perpisahan B747 miliknya, disusul oleh Virgin Atlantic empat bulan berselang. Akhir Juli, giliran Qantas mengucapkan selamat tinggal.
Pukulan telak terakhir datang dari British Airways, operator B747 terbanyak di dunia. Pada 30 Agustus, 31 unit B747 milik maskapai Inggris ini resmi pensiun dini, dimajukan empat tahun dari jadwal semula. “Meski menyakitkan, ini keputusan yang paling logis,” jelas Alex Cruz, CEO British Airways, dalam siaran persnya.
B747 bukan satu-satunya armada yang bakal tersisih dari langit. Dari pabrikan pesaing, takdir serupa dialami oleh Airbus 380, pesawat badan besar keluaran 2005. Bedanya, keputusan membuangnya diambil jauh sebelum pandemi.
Baca Juga: Berapa Jumlah Penumpang Pesawat Selama Pandemi?
Terlepas dari animo yang tinggi di awal debutnya, A380 kesulitan mencari pembeli. Dari target penjualan 1.200 unit hingga 2025, raksasa ini menjaring hanya 234 order hingga 2018. Tren suram itu lalu diperparah oleh keputusan Emirates, pelanggan terbesar A380, untuk mengurangi pesanannya dari 162 menjadi 123 unit.
A380 perkasa di udara, tapi ternyata oleng di pembukuan. Februari 2019, rentetan turbulensi finansial itu mendorong Airbus menerbitkan obituari bagi sang Superjumbo: menghentikan produksinya pada 2021.
“Akibat dari keputusan [Emirates] itu, kami tak memiliki jaminan pesanan A380 yang substansial, dan karenanya tak punya dasar untuk mempertahankan produksinya,” jelas CEO Airbus, Tom Enders, dalam siaran persnya.
Seperti dalam kasus B747, A380 kalah bersaing dari pesawat-pesawat generasi milenial yang lebih efisien dan ramah lingkungan. Tak cuma marak masuk hanggar, armada ini mulai dijual oleh beberapa operatornya, contohnya Lufthansa dan Malaysia Airlines.
Baca Juga: 4 Taktik Maskapai Cari Uang Darurat
Menjalarnya pandemi Covid-19 kemudian memberi insentif lebih bagi maskapai untuk lekas meninggalkan A380. Semester pertama 2020, jumlah penumpang global tercatat minus 1,3 miliar. Di musim paceklik, sukar bagi maskapai sekadar mencapai balik modal dengan pesawat berkapasitas 868 kursi.
Sejak Maret, banyak A380 dikurung oleh hampir semua operatornya, termasuk Korean Air, Asiana Airlines, Etihad, serta Singapore Airlines. Di Juni, menurut estimasi Credit Suisse, sekitar 97% armada A380 di dunia cuti mengangkasa.
Sebagian operator berencana menerbangkan kembali A380 pada 2021, dengan asumsi virus telah mereda. Tapi beberapa maskapai, contohnya Air France dan Lufthansa, menjadikan pandemi momentum untuk langkah yang lebih drastis: menyetop permanen operasional A380. —Cristian Rahadiansyah