web analytics
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Aceh, 10 Tahun Setelah Tsunami

Masjid Raya Baiturrahman yang menjadi saksi bisu tragedi tsunami 2004.

Oleh Fatris MF
Foto oleh Muhammad Fadli

Dari Meulaboh yang porak-poranda, saya menyisir ke Calang yang telah rata. Masih di pesisir barat Aceh, saya meneruskan perjalanan ke Lamno yang mirip baju lusuh yang terkoyak. Ada kalanya saya terperangkap dalam baku tembak TNI versus GAM di dusun-dusun pedalaman yang selamat dari amukan gelombang ganas. Hampir lima jam dari situ, barulah Banda Aceh, yang dulu bernama Kuta Raja, terlihat.

Sosoknya berantakan bagai kapal habis dihantam torpedo. Itu pemandangan 10 tahun silam, usai tsunami menerjang, ketika saya mengabdi sebagai pelansir makanan bagi pengungsi. “Inilah ujung kesengsaraan itu, nak!” kata Rosni Idham, penyair terkenal Aceh, ketika saya menginap di rumahnya di Meulaboh. Rumahnya, yang tidak begitu luas, dijadikan tempat penampungan pengungsi. Selain di rumah Rosni, saya menginap di tenda-tenda pengungsian bersama ribuan korban dengan sorot mata kosong akibat kehilangan harapan. Tidur saya dipenuhi mimpi buruk.

“Mimpi buruk, di sini, adalah kenyataan itu sendiri,” kata kawan saya, Beni Tan Mattee. Apa yang bisa diharapkan dari negeri yang tengah dicabik-cabik bencana, Nyak Ros? Apa yang harus saya perbuat di tengah kehancuran dan letupan senjata, Ben?

Namun, hanya tujuh bulan pascabencana, perang kontan berhenti. “Mungkin ini hikmah dari sebuah musibah,” kata Beni lagi yang saya temui beberapa tahun kemudian. Bumi Aceh dinyatakan damai. TNI dan TNA sepakat mengakhiri perseteruan sengit yang telah berlangsung puluhan tahun. Gelombang hitam lautan secara tidak langsung menciptakan perdamaian. Mata dunia tersedot ke Aceh. Bantuan tak habis-habisnya dipasok. Benar kata penyair Rosni Idham: “kesengsaraan tentu ada ujungnya, penderitaan tentu ada batasnya.” Satu dasawarsa setelah itu, saya mengunjungi tanah yang sama. Ada apa di sana kini?

Papan penunjuk arah evakuasi tsunami yang dipasang pasca tragedi.

Saya datang ke Aceh via jalur darat. Bus yang saya tumpangi melesat di jalan mulus, melewati Gunung Seulawah, melintasi Hutan Bireuen, menerobos Sigli. Daerah-daerah itu, 10 tahun lalu, masih dilingkari warna hitam pada peta militer. Namun kini nyaris sudah tidak ada lagi pos-pos jaga yang dikerumuni pria sangar berbaju loreng dengan senjata terkokang.

Memasuki Ibu Kota Serambi Mekah pada waktu pagi di hari libur bagaikan memasuki sebuah kota tanpa polusi. Jalan sepi. Tak ada kendaraan melintas, selain kendaraan yang saya tumpangi. Mobil saya makin pelan saat melewati taman-taman kota yang rimbun. Sebuah kanal (atau krueng dalam bahasa Aceh) menghubungkan Kuta Raja dengan wilayah lain. Orang-orang menyebutnya Krueng Raya.

Pagi baru saja dimulai. Angin bertiup pelan. Hasan Tiro tersenyum dalam baliho, mengangkat tangan ke arah saya yang melintas, dan berucap dalam diam: “Selamat datang di Nanggroe!” Bendera Partai Aceh berkibar di mana-mana. Simbol dari pergerakan masa lalu yang penuh luka itu begitu jemawa.

Bendera yang dulu saya temui di kampung-kampung sepi—yang hanya dihuni anak-anak, ibu-ibu, dan lelaki yang telah uzur—kini mewarnai seisi kota. Gambar partai lain dan wajah-wajah sisa Pemilu 2014 tidak kalah banyak, mengerubuti tiang-tiang, tembok-tembok, hingga persimpangan jalan.

Kopi, minuman favorit di Aceh. Ada banyak warung kopi seperti ini di Serambi Mekkah.

Matahari baru muncul, padahal sudah pukul tujuh. Memang, Tuhan memulai pagi lebih lambat di sini ketimbang Jakarta. Saya berkeliling kota. Jalan-jalan rapi, pepohonan hijau, taman kota dipenuhi orang-orang yang berolahraga. Kadang jarak satu taman dengan taman lainnya hanya 100 meter.

Menjelang siang, aroma kopi menguap dari kafe-kafe yang jumlahnya susah dihitung. Aroma kopi arabika dari pedalaman Gayo tersaji di meja-meja kafe di Banda Aceh. “Lebih dari seribu, mungkin dua ribu,” kata seorang penyeduh kopi tentang jumlah warung kopi. Aceh memang surga bagi pecandu kafein. Di pegunungan yang berlapis-lapis di Aceh Tengah, kopi arabika tumbuh subur. Di Indonesia, Dataran Tinggi Gayo di jantung Aceh merupakan salah satu penyuplai kopi arabika terbesar di dunia.

Saya mengelilingi Banda Aceh pada Minggu yang lengang, menyisir pantai-pantai berpasir putih dari Lhoknga, Lampuuk, Ulee Lheue, hingga pantai-pantai anonim. Orang-orang bersepeda mengisi hari libur, sementara beberapa mobil hijau “aparat” bergulir santai. Di tepi pantai, mobil-mobil berwarna suram itu terparkir; sebagian pemiliknya menyantap jajanan dan kelapa muda. Setiap kali melihat aparat di Aceh, ingatan saya selalu terlempar ke peristiwa satu dekade silam, ketika tentara bersiaga di setiap titik.

“Dulu memang. Saya pakai rompi anti peluru, dengan AK -47 terkokang di tangan,” kata seorang perwira polisi, AKP Taupik. “Sekarang Aceh telah aman buat siapa saja. Saya bahkan tidak tahu di mana senjata saya simpan.” Saya pun minum air kelapa, memandang hamparan Pantai Lampuuk bersama ratusan keluarga.

Para warga lokal di Museum Tsunami di Meulaboh.

Di ujung sebuah jalan bekas hantaman tsunami, saya berhenti. Seorang bapak membawa keluarganya ke pantai untuk memancing. Aceh telah aman, kata Taupik berulang-ulang. Tetapi tidak untuk pejalan kaki di jalan raya. “Jalan raya begitu berbahaya sekarang, itu salah satu masalah kami,” kata seorang Polantas yang saya temui. Menyeberang jalan di pusat Kota Banda Aceh jauh lebih mengancam ketimbang menerabas belukar. Anda mesti bersabar menunggu jalanan sepi. Entah kenapa, tak satu pun pengendara sudi memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang.

Di pusat kota, jalan mulus terbentang, dipenuhi mobil yang mengilap, sementara polisi lalu lintas bersorak dengan pengeras suara di tengah kota, mengajak orang-orang untuk memperhatikan keselamatan, tidak ugal-ugalan, mengenakan helm, mematuhi rambu. “Orang-orang di sini lebih banyak yang tidak mengetahui caranya berkendara,” ujar seorang anggota Polantas. “Mereka bisa saja terlihat mematuhi lampu merah, namun serempak tancap gas ketika angka di lampu masih menunjukkan angka empat.

Suara azan zuhur merambat dari menara Masjid Raya Baiturrahman. Saya mengikuti arah si empunya suara, menyeberang jalan dengan rasa was-was. Di depan masjid, sebuah plakat penembakan Köhler didirikan. Dia perwira Belanda yang tewas dibunuh ketika hendak menaklukkan Aceh pada akhir abad ke-19.

Masjid Baiturrahman dipenuhi orang yang duduk-duduk menghindari sengatan panas. Beberapa pelancong asal Malaysia berfoto-foto dengan latar menara yang mencucuk langit. Dengan serempak, mereka kemudian berkeliling kota dan menyatroni Museum Tsunami.

Zikir massal di Masjid Raya Baiturrahman.

Ketika senja, saya dan para wisatawan menyambangi pantai-pantai berpasir putih. Pada waktu malam, orang-orang akan tumpah-ruah di jalanan, menyerbu kafe-kafe. Orang Aceh banyak meluangkan waktu untuk menyeruput kopi. Warung-warung dipenuhi canda tawa. Tua dan muda, laki-laki dan perempuan, semua meringkuk di kafe. Beragam masakan siap dilahap. “Di Banda Aceh, hidup dimulai pada malam hari,” kata seorang pemilik kafe berseloroh.

Saya berkeliling, berpindah dari satu kafe ke kafe lain, dari satu cangkir kafein ke cangkir lainnya. Sekelompok pria mengajak kami bergabung, kemudian menyuguhi kami obrolan yang tanpa henti. “Dulu, kami mesti berada di rumah pukul delapan malam, tapi sekarang terserah,” kata Aldi. Jam di kafe telah menunjukkan pukul empat pagi. Jalan utama di depannya kosong. Hanya dengus dingin udara pagi yang sesekali melintas.

Mungkin benar kata Taupik, Aceh telah aman. Di hari berikutnya, saya duduk di sebuah kafe di dekat Masjid Baiturrahman. Dua orang pemuda tegap duduk di hadapan saya. Salah satunya Ahmad, staf sekretariat partai. “Beginilah,” kata Ahmad membuka perbincangan seputar perjuangan masyarakat Aceh yang belum rampung. Tapi, perjuangan yang mana lagi? “Apa artinya damai, bila banyak dari kami yang masih menganggur?” teman Ahmad memotong.

Dulu, Ahmad dan temannya tergabung dalam TNA (Teuntra Neugara Aceh, yang disebut Gerakan Aceh Merdeka oleh pemerintah). Ketika perjanjian damai tercipta, ribuan TNA turun gunung. Ahmad turut di dalamnya. “Pergilah ke desa-desa, kau akan tahu,” Ahmad tersenyum, kendati sorot matanya tajam menikam, entah hendak menyampaikan apa.

Puing-puing bangunan masih bisa ditemukan dengan mudah di Meulaboh.

Orang Aceh kerap sulit diterka. Mereka seperti tak rela memperlihatkan gejolak perasaannya kepada orang lain. Dulu, setelah tsunami melanda, tidak sekalipun saya melihat orang dengan tangan tengadah memohon batuan, sekalipun mereka jelas-jelas sudah berhari-hari puasa makanan yang layak. Barangkali inilah watak-kultural orang Aceh: superioritas yang tidak kenal ampun dari sebuah provinsi di ujung utara Sumatera dengan riwayat perang sipil yang panjang.

“Sumatera selalu rusuh,” kata Paul van’t Veer, penulis Belanda, setengah abad silam. JHR Köhler, seorang Mayor Jenderal Belanda, pernah menghimpun empat batalion tentara dari pulau Jawa demi menyerbu Aceh. Cita-cita Köhler sederhana: mendirikan benteng di muara sungai Aceh. Tapi dia tewas dalam mengejar ambisinya, persisnya saat hendak menguasai sebuah masjid yang semula dia anggap tempat sultan bertakhta.

Setelah itu, 13 ribu serdadu dikirim Belanda. Yang terjadi, 1.500 tewas dan 7.000-an luka parah, begitu tulis Paul dalam catatannya, De Atjeh-Oorlog (1969). Orang Aceh punya tatapan tajam, dan mungkin terlihat agak tertutup kepada orang asing. Puluhan tahun didera perang, warga Aceh kesulitan menghapus dendam. “Bagaimana bisa dengan mudah menghapuskan dendam dari anak-anak yang melihat orang tua mereka ditembaki, kakak perempuan mereka diperkosa?” kata Rozi di sebuah kafe. Saya diam, terhening, tapi warung kopi tetap riuh oleh obrolan. Segala perbincangan di Aceh memang disemai di warung kopi.

“Api dendam itu tidak akan sanggup dipadamkan oleh siapa pun, sampai kapan pun. Kecuali oleh si pendendam itu sendiri,” Tengku Bulqaini berkata tegas. Untuk memadamkan api dendam, Sang Tengku mendirikan Markaz Al Ishlah (terjemahan bebasnya: Pusat Perdamaian). Di pesantren inilah sejak 2002 dia menampung anak-anak yatim korban konflik berkepanjangan. “Tidak hanya anak yatim yang bapaknya seorang GAM , anak TNI dan POLRI pun kami terima untuk sekolah di sini,” ujar Tengku.

Dua peselancar lokal memburu ombak di Lhoknga, pantai yang sempat diterjang ombak tapi kini telah pulih.

Sudah hampir 10 tahun Aceh hidup tanpa perang. Usai Perjanjian Helsinki diteken, mereka bebas menentukan masa depan. Dan mereka dengan percaya diri pula memilih syariat Islam sebagai fondasi normatif. Perempuan mesti berpakaian dan berperilaku sesuai kaidah agama. Namun, di balik pakaian yang membungkus hampir seluruh bagian tubuh itu, perempuan-perempuan Aceh adalah biker yang andal, sopir yang lihai mengebut. Tidak ada larangan bagi perempuan berkendara, bersekolah, berolahraga di tempat keramaian, atau melenggak-lenggok di ruang publik.

Di hotel berbintang Hermes Palace, Banda Aceh, saya tenggelam dalam dentuman musik. Sebuah pergelaran busana tengah digelar. Puluhan remaja Negeri Serambi Mekah meliuk-liuk di panggung seraya memamerkan senyuman, dandanan, serta gaun. Ini kali pertama Indonesia Super Model masuk ke negeri dengan aturan syariat yang dianggap ketat. Bedanya, para pesertanya mengenakan pakaian yang menutupi tubuh hampir seluruhnya. Sebagian menggeraikan rambut yang panjang.

“Aturan syariat tidak membebani kita berkreasi, malah membuat kita makin tertantang,” kata Pasha tersenyum. Senyum yang aneh saya kira untuk seorang lelaki Aceh yang biasanya menatap dengan sorot menakutkan. Pasha bukan seorang mantan TNA, melainkan ahli tata rias yang populer di kalangan model lokal.

“Jangan memandang penerapan syariat Islam di Aceh sebagaimana memandang Islam di Timur Tengah. Jauh berbeda!” lagi-lagi Tengku Bulqaini memotong pertanyaan saya. “Kami bukan Wahabi. Aturan, syariat yang kami anut, juga melindungi pendatang, bahkan yang bukan muslim. Jadi, buat apa Anda takut ke Aceh?” tanya Sang Tengku retoris.

Bir memang tidak dijual bebas. Pakaian tanpa lengan dan celana pendek ketat tidak lazim. Tapi ini provinsi tanpa preman yang mengoleksi pantai menawan, teluk sepi berpasir putih, surga bawah laut yang damai, juga beragam masakan kaya bumbu dan racikan kopi sedap yang menguap ke jalan-jalan.

Bukankah semua itu jauh lebih menggoda ketimbang sebotol bir dan selembar hot pants? “Bayangkan, sebuah kota tanpa mal, tanpa bioskop,” Kapten Veronika Martha menggambarkan kegelisahannya selama ditugaskan di LANUD Iskandar Muda Banda Aceh. Kapten Angkatan Udara RI itu mungkin benar, seantero Aceh memang bukan kota yang tepat buat pecandu belanja, sebab memang tidak terdapat satu pun mal di sini.

Kiri-kanan: Dua wisatawan lokal di Pantai Lampuuk yang telah pulih usai diterjang tsunami; panorama Samudra Hindia dari Perbukitan Geurutee di pesisir barat Aceh.

Saya berkendara dari Banda Aceh ke Meulaboh, meniti jarak 250 kilometer. Jalan mulus terentang lebar. Dalam sejam berkendara, tak sampai 30 mobil yang saya temui. Jalan antarkota yang benar-benar sepi. Di tepi jalan, rumah-rumah bantuan untuk korban tsunami dibangun seragam, sebagian lowong dan ditumbuhi ilalang. Saya melewati Kampung Lamno di Kabupaten Aceh Jaya. Di Calang, daerah yang dulu hanya bisa dimasuki lewat jalur laut, saya berhenti, lalu menikmati tuna panggang sembari menatap laut yang dulu mengamuk.

Meulaboh saya masuki pada sore hari. Setelah 10 tahun, kota ini tidak lagi saya kenali. Lanskapnya berubah drastis. Tapi tidak di Ujong Kareung. Pelabuhan tempat saya pertama menjejakkan kaki di Aceh ini masih seperti sedia kala: markas Korem yang dulu habis dilamun ombak kini masih tak terurus; bangunan bekas stasiun radio Teuku Umar menghitam dan tinggal kerangka. Namun, selepas pelabuhan, pembangunan sedang digenjot keras di Aceh.

Syofyan, lelaki paruh baya, duduk termenung di atas becak motor. Ia menatap tepian Ujong Kareung. “Beginilah Meulaboh sekarang,” katanya. Matanya melirik ke barisan truk yang keluar-masuk mengangkat batu bara. Di pelabuhan yang tak begitu jauh dari tempat kami duduk, kapal-kapal bersiap mengangkut emas hitam ke daerah lain. Tapi, bagi banyak orang Aceh, pekerjaan masih sukar didapat. “Setelah LSM tidak ada, susah mencari pekerjaan,” kata Syofyan.

Mendung hitam menggantung di langit Meulaboh. Saya mencari Hendri, Nana, Icut, Siti, dan banyak lagi nama dalam ingatan saya. Sudah dewasakah mereka sekarang? Anak-anak yang dulu saya jaga di RS Cut Nyak Dien, yang telah kehilangan orang tua dan sanak famili, seperti apa nasibnya sekarang? Teman-teman saya yang selamat dari tsunami dulu, masihkan mereka di kota ini? Saya tidak lagi menjumpai mereka, kendati telah bertanya berulang kali. Siti?

Di Aceh hampir setiap perempuan bernama Siti, dan sebagian besar Siti telah ditinggalkan orangtuanya. “Siti yang mana?” seseorang malah balik bertanya. Rumah, tanah kelahiran, kampung tercinta, semua telah diacak. Semua telah ditempatkan ke lokasi baru yang berbeda dari posisi semula. Tsunami memang telah “mengubah” Aceh, walau tidak seluruhnya.

Hutan hijau di Aceh yang terancam penggundulan hutan masif.

Saya bertemu Retika di Meulaboh. Mantan penyiar radio Suara Teuku Umar itu membawa saya mengunjungi studionya yang teronggok di tubir laut dan telah porak-poranda dihantam tsunami. Kini yang tersisa hanya rangka bangunan. Dindingnya telah dijilat-jilat ombak karena laut terus mendesak ke daratan. Retika memandang masa lalu sambil menggendong anaknya. “Dulu ada dua bioskop yang beroperasi di Meulaboh,” kenang Retika. Anaknya tertidur lelap dalam pangkuan.

Kini tidak ada lagi satu pun bioskop yang “hidup” di Meulaboh. Setelah tsunami, justru penambangan emas yang makin menjadi, hingga sungai-sungai pun tercemar merkuri. Setelah nota perdamaian diparaf, pembabatan hutan berskala besar mulai tampak, kerusakan ekosistem mengemuka di mana-mana, lahan pertambangan dan perkebunan marak dibuka. “Bila selama konflik dulu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan kecil-kecilan, sekarang malah terang-terangan,” kata Retno, anggota koalisi pemantau hutan dan satwa di Aceh.

Di jalan-jalan Meulaboh, truk-truk pengangkut batu bara berseliweran. Pembangunan memang kerap berbanding terbalik dengan konservasi. Tapi tak hanya sampai di situ. “Lihat, Aceh Jaya merupakan tempat populasi gajah terbesar di Indonesia, dan ribuan hektare lahan sawit akan dibentangkan di sana, di hutan di mana gajah-gajah itu hidup. “Pertanyaannya, mau dibawa ke mana itu gajah?” tanya Retno.

Di Meulaboh, sejak eksploitasi hutan masif dilakukan, banyak gajah berkalang tanah, mayoritas tanpa gading. Gajah merupakan satwa yang dilindungi, bersama orangutan, badak, dan harimau. Kata Retno, perdagangan satwa marak lagi belakangan ini. Aceh memiliki populasi orangutan terbesar di Sumatera. “Tapi itu dulu,” kata Retno lagi.

Perahu yang menyelamatkan 59 orang dari tsunami masih teronggok di atap rumah dan dijadikan monumen.

Dari Aceh Barat, saya kembali ke Banda Aceh yang panas. Di tengah kota yang gerah ini, kaum perempuan malah memakai pakaian serbatertutup, termasuk Winda Ulfa. Duta Aceh di Kontes Puteri Indonesia 2014 ini merupakan satu-satunya kontestan yang memakai kerudung. Saya menemuinya di sela-sela sesi pemotretan. Kami bersalaman. Dia lebih dulu mengulurkan tangan. “Saya sangat setuju dengan penerapan syariat. Gunanya mengurangi tindakan kriminal,” kata Winda. Kriminal? Bukankah Aceh kini telah aman?

Hijab, kerudung, kerap dipandang sebagai simbol ketaatan perempuan. Tapi citra itu sama sekali tidak mengusik Winda. “Berarti Anda belum tahu Aceh,” katanya sembari tersenyum dengan lirikan yang aneh. “Aceh ini fleksibel. Kami memahami orang yang berbeda agama, kami menghormatinya. Malah, di Jakarta, saya yang terdiskriminasi.”

Winda melanjutkan kisahnya. “Saya pernah ditanya putri-putri utusan provinsi lain di Jakarta. Mereka sangka Aceh hanya perang, hutan belukar tak beradab yang dihuni orang-orang keras kepala,” keluhnya sembari tertawa memamerkan barisan giginya yang putih.

“Saya ingin melanjutkan perjuangan Cut Nyak Dien. Saya ingin lebih dari Nyak Dien,” katanya seperti hendak menutup pembicaraan. Dia mengusap wajahnya, mencopot kerudungnya, menggerai rambutnya yang panjang. Tapi ia masih terus bercerita, dan terus bersikukuh agar saya paham tentang kehidupan damai di Aceh. Rosnidar, ibunya, yang sedari tadi hanya termangu di sudut studio foto memperhatikan anaknya tengah dipotret dengan bermacam gaya, kini membantu mengemasi pakaian Winda.

Roudhatul Jannah, seorang rapper di Banda Aceh, bagian dari potret kebebasan di tengah aturan syariat.

Saya meringsek jalan-jalan Kota Banda Aceh, meninggalkan Winda dan ibunya. Saya menuju PLTD Apung yang terletak di jantung kota. Tempat ini dipenuhi wisatawan yang mengantre menunggu jadwal sembahyang. Di Aceh, setiap waktu sembahyang tiba, semua kegiatan berhenti. Dua orang Korea tampak berpotret, berpose di atas kapal pembangkit listrik yang diangkut tsunami hingga ke tengah kota.

Akhir pekan datang lagi. Di Taman Sari, salah satu taman kota di Banda Aceh, saya duduk di tengah kerumunan, menghadap panggung yang dipenuhi alat musik. Azan asar berkumandang, bersaing dengan raungan knalpot. Matahari telah condong ke barat, tapi alat musik yang berjejal di atas panggung belum kunjung dimainkan. Beberapa Wilayatul Hisbah, kerap disebut WH atau polisi syariat, tampak berjaga-jaga dan sesekali menasihati sejumlah remaja. Di waktu salat, tidak boleh ada gangguan. Setelah salat selesai ditunaikan, seseorang menaiki panggung musik dan mengucapkan salam. Setelah itu, terdengar pembacaan Alquran.

“Ini acara apa?” tanya saya pada seorang perempuan. “Acara musik. Tapi, kita harus mendengarkan ayat suci dulu, biar tenang nanti menikmati konsernya,” jawabnya dengan mimik serius. Acara kini resmi dibuka oleh pejabat. “Apa pun jenis musiknya, akan kita dukung,” kata Illiza, Wakil Wali Kota Banda Aceh, melalui pengeras suara.

Sebuah kota berbasis Islam, yang pejabat terasnya seorang perempuan, tengah mengadakan konser hip hop. Tak berapa lama, tampil pemusik Amerika, Hip Hop Ambassador. Orang-orang bersorak, yang lain setengah histeris. Penonton yang didominasi para remaja bergoyang dalam kerumunan besar: gadis-gadis menari melenggang-lenggok dan para bujang memutar-mutar kedua tangan di atas kepala.

Senja datang begitu cepat. Langit telah merah saga di ufuk barat. Aroma kopi tercium lebih tajam dari kafe-kafe tepi jalan. Dari menara Masjid Raya Baiturrahman, suara azan datang mendayu-dayu. Saya “terjebak” sekarang: ke kafe menyeruput kopi, atau ke masjid untuk sembahyang?

PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Banda Aceh dilayani Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com), Sriwijaya Air (sriwijayaair.co.id), dan Lion Air (lionair.co.id), umumnya dengan satu kali transit di Medan. Dari Banda Aceh menuju kabupaten dan kota lainnya di Aceh, Anda bisa menyewa mobil. Hampir semua jalan yang menghubungkan Banda Aceh dengan daerah lain terhampar mulus dan lebar. Tapi perhatikan rambu bergambar sapi, peringatan akan kehadiran kawanan sapi yang kadang melintasi jalan.

Penginapan
Di Banda Aceh, hotel berbintang banyak tersedia, contohnya Hermes Palace Hotel (Jl. T. Panglima Nyak Makam; 0651/755-5888; hermespalacehotel.com; mulai dari Rp1.045.000), Hotel 61 (Jl. T. Panglima Polem 28; 0651/638-866; hotel61.co.id; mulai dari Rp600.000), dan The Pade Hotel (Jl. Soekarno Hatta 1; 0651/499-99; thepade.com; mulai dari Rp950.000).

Aktivitas
Selain berkeliling Kota Banda Aceh, mengunjungi Museum Tsunami, PLTD Apung, taman kota, dan pantai merupakan pilihan aktivitas yang menarik. Aceh juga cocok bagi pencinta kuliner dan kopi. Anda bisa mengunjungi sentra kopi arabika di Dataran Tinggi Gayo, sekitar tujuh jam berkendara dari Banda Aceh. Bila gemar menyelam dan snorkeling, kunjungi Pulau Weh dengan menaiki feri selama sejam.

Beberapa aset andalan pulau ini adalah Danau Aneuk Laot, Pantai Gapang, serta Tugu Nol Kilometer. Tur naik perahu ke Pulau Simeulue, tuan rumah festival selancar internasional 2013, juga layak dicoba. Untuk menjangkaunya dari Banda Aceh, Anda mesti ke Labuhan Haji selama delapan jam, lalu menaiki feri.

Dipublikasikan di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2014 (“Kopi Religi Tsunami”)

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5