by Yohanes Sandy 09 June, 2014
Kisah Keluarga Penjaga Bunga Langka Indonesia
Oleh Fadil Aziz
Keluarga Holidin bukan pahlawan dalam definisi umum. Mereka bukan guru yang mengajar di pedalaman. Mereka juga tak pernah memanggul bedil di zaman perang. Tapi apa yang mereka lakukan di hutan Bengkulu memberi kontribusi signifikan dalam menjaga keutuhan ekologi—juga masa depan bangsa ini.
Di tengah derasnya protes atas kerusakan alam Sumatera, keluarga Holidin adalah secercah angin sejuk. Mereka mendedikasikan hidupnya untuk melindungi Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum. Populasi kedua ikonnatural Indonesia itu terus menyusut akibat deforestasi. Sejak lama pohon-pohon di Sumatera dibabat demi pembukaan jalan dan kebun. Tak heran, hutan di sini terancam dicoret dari daftar elite Situs Warisan Dunia.
Rafflesia dan Amorphophallus memiliki ukuran jumbo, layaknya kembang yang mengidap obesitas. Tapi keduanya berasal dari spesies yang berbeda. Rafflesia mekar dalam posisi melebar di lantai hutan, sedangkan Amorphophallus menjulang jangkung. Amorphophallus lebih punya status spesial karena bersifat endemis. Karakter distingtif lainnya terletak pada baunya yang menusuk, hingga kadang dijuluki bunga bangkai. Amorphophallus memang sebuah paradoks.
Ia memikat orang lewat parasnya, tapi di saat yang sama mengusir orang lewat aromanya. Sayang, banyak pihak tak menghargai kecantikan misterius itu. Entah apa alasannya, Bengkulu menjadi rumah favorit kedua bunga tersebut. Kepahiang, kabupaten yang berjarak dua jam dari Kota Bengkulu, bahkan merupakan situs ditemukannya Amorphophallus oleh Odoardo Beccari pada 1878. Kita ingat, botanikus Italia itulah yang menulis akta kelahiran Amorphophallus, memilihkan namanya, sekaligus memperkenalkannya kepada dunia.
Kisah keluarga Holidin menjadi jagawana bunga dimulai pada 1980-an, usai bermigrasi dari Seluma ke Kepahiang. Dirundung kemiskinan, mereka mengandalkan hutan sebagai sumber nafkah. Awalnya, mereka keluar-masuk hutan untuk mencari rotan. “Seikat rotan waktu itu laku dijual Rp25,” kenang Ujang, kakak Holidin.
Kehidupan itu terusik saat pemerintah menggalakkan reboisasi. Perburuan rotan dilarang. Setelah itu, keluarga Holidin membuka kebun kopi, tapi usaha ini pun tak bertahan lama. Pada 1998, mereka mulai menangkar bunga bangkai. Holidin bercerita sembari menunjuk pucuk-pucuk pohon rindang yang sesekali disapu kabut putih. “Itu lahan milik orang tua kami. Dengan dibantu oleh orang asli Kepahiang, bapak saya akhirnya berhasil punya lahan.”
Lahan itu luasnya tiga hektare. Awalnya ditanami kopi, lalu diubah menjadi semacam cagar alam. “Kami dedikasikan bagi pelestarian Rafflesia dan Amorphophallus,” kata Holidin. “Umbi-umbi bunga diambil dari ladang dan kebun garapan masyarakat. Tahun 2003 bunga pertama mekar. Bunga yang sekarang adalah bunga ke-27.”
Holidin kini menjabat Ketua Lembaga Peduli Puspa Langka dan Lingkungan, institusi yang misi utamanya melestarikan kembang dan hutan. Apa yang mendorong keluarga papa ini beralih peran menjadi jagawana? Bukankah bisnis kopi lebih menguntungkan? “Kami prihatin dengan kelestariannya,” jawab Holidin. “Masyarakat bila menemukan bunga bangkai akan membunuhnya.
Jika tidak ditebang, umbinya disemprot herbisida agar mati. Tumbuhan ini dianggap mengganggu.” “Dulu, antara 2005-2006 banyak sekali bunga di tepi Sungai Ketapang,” tambah salah seorang saudaranya. Sungai Ketapang mengalir kira-kira 500 meter di belakang rumah mereka. Berulang kali saya mendengar kisah kejayaan Amorphophallus di daerah itu. Kini, semuanya tinggal kenangan.
Saya terpaku memandang Hutan Lindung Bukit Daun di seberang jalan. Menurut Holidin, ada banyak bunga di sana, tapi kondisinya kini terancam penebangan kayu. “Kami berusaha memberi pengertian kepada masyarakat. Sekarang agak lumayan. Jika ada umbi yang tumbuh menjadi pohon atau bunga, mereka kerap lapor kepada kami. Lalu kami bongkar, gotong, dan tanam di lahan kami. Semua swadaya sendiri. Tapi, tak jarang mereka minta tebusan. Mereka kira kami memperoleh keuntungan. Pernah ada yang minta satu juta rupiah!” “Lalu, bapak bayar?” tanya saya. “Ya, kami bayar!”
Sekian lama hidup bersandar pada rimba, keluarga ini menyadari pentingnya menjaga habitat. Gairah konservasi didapat dari persentuhan langsung dengan alam. Tapi komitmen itu kadang harus dibayar mahal. Holidin hanyalah seorang penjaga SLB di Kepahiang. Gajinya di bawah Rp1 juta. Saudara-saudaranya bekerja di bidang lain, seperti kuli bangunan dan membuka warung, dan penghasilan mereka juga pas-pasan.
Untuk mengurus penangkaran, mereka harus pintar bersiasat. Salah satunya dengan memasang spanduk di tepi jalan yang menginformasikan jika ada bunga yang merekah. Tiap tamu diantar ke lokasi bunga. Tak ada tarif baku untuk tur ini. Semuanya bersifat sukarela. Itu mungkin sebabnya Lembaga Peduli Puspa Langka dan Lingkungan kesulitan mencari staf. Institusi ini memiliki misi serius, tapi operasionalnya hanya mengandalkan kepedulian dan kepekaan. Sebuah lembaga yang menawarkan pengabdian, bukan penghasilan. “Dulu anggota organisasi kami lebih dari tujuh orang,” kenang Holidin. “Tapi, satu demi satu mundur karena tidak kuat.”
Pada 2011, lembaganya berhasil memikat simpatisan: Ridwan, mahasiswa dari Kota Bengkulu. Bersama-sama mereka berjibaku untuk memastikan dunia bisa terus melihat kreasi paling menawan di belantara Sumatera. Ujian terberatnya datang saat kuncup hendak mekar. Patroli kian intensif. Ancaman bukan cuma datang dari kaum perambah, tapi juga babi hutan. “Tak jarang kami menginap di hutan. Kadang hingga tujuh malam,” ujar Holidin.
“Ada bantuan dari pemerintah?” tanya saya. Raut muka Holidin berubah. “Pemerintah tidak ada kepedulian. Paling kalau ada maunya, baru pejabat datang,” jawabnya dengan nada getir. Konservasi di negeri ini memang bukan monopoli LSM atau pejabat. Konservasi kadang hanyalah berupa langkah-langkah kecil yang nyata di masyarakat.
Diterpa angin dingin dari pegunungan Bukit Barisan, saya memasuki area penangkaran keluarga Holidin. Mengenakan bot, ketujuh jagawana bersaudara membawa saya ke umbi-umbi bunga yang tumbuh menyebar. “Ada 200 umbi yang kami tanam, namun sekarang tinggal separuhnya. Kami tidak mampu menjaga semuanya. Umbi sangat digemari babi,” jelas Holidin. Sebenarnya mereka pernah menerima donasi dari Kebun Raya Bogor untuk membangun kawat berduri. Tapi masih banyak celah bagi babi nakal.
Penangkaran ini mengoleksi enam spesies Amorphophallus dari total 11 spesies yang berhabitat di Sumatera. Holidin menunjukkan Amorphophallus gigas, spesies terbesar yang tahun lalu tingginya mencapai empat meter. Bau busuknya membuat saya mual.
Saya juga melihat empat batang bunga bangkai. Bunga ini memiliki siklus yang unik. Dari umbi akan muncul pohon yang bercabang tiga di pucuknya. Setelah pohon itu mati, muncul bunga dalam waktu yang tak bisa diprediksi. Bunga mekar beberapa jam, lalu mengering dan mati. Kemudian masuk fase umbi, lalu fase pohon kembali, begitu seterusnya. Obyek kebanggaan Holidin adalah tetrastigma, pohon inang Rafflesia. Dia masih menanti bunganya merekah. Kehadiran inang ini merupakan tonggak penting, sebab jumlahnya di Kepahiang kini sangat minim.
Untuk melacak Rafflesia yang mekar, kami pun menembus hutan. Di sebidang lahan becek, kami berhasil menemukan satu bunga yang merekah sempurna. Di dekatnya, ada sejumlah pohon inang, bonggol jambon yang akan mekar, dan bonggol hitam yang sudah mati. “Ada 13 titik di lokasi ini,” jelas Holidin. “Dua puluh empat titik lainnya sudah hancur.”
“Tapi ini sebetulnya belum apa-apa,” katanya lagi. “Ada satu daerah yang isinya Rafflesia semua! Kami tak berani berjalan di sana saking banyaknya.” Daerah yang dimaksudnya berjarak hanya beberapa kilometer dari lokasi kami. Tapi kondisinya kini sudah jauh berubah. Rafflesia di sana punah akibat kerakusan warga. Memori suram itu masih bersemayam di kepala Holidin: “Dulu orang-orang sering memanfaatkan Rafflesia untuk mencari nafkah. Jika ada bunga mekar di hutan, akan dipotong, lalu diletakkan di tepi jalan. Orang yang ingin melihatnya harus membayar. Lalu terjadi persaingan. Matilah semua.”
Lembah itu terakhir menumbuhkan Rafflesia pada 2010. Bunga-bunga yang merekah penuh kesabaran itu tak sanggup menyaingi ambisi warga yang mengejar uang instan. Kini, sepertinya tinggal keluarga Holidin yang menjadi benteng terakhir bagi pelestariannya.
Saya sempat berulang kali bertemu orang-orang yang datang untuk melihat bunga di hutan dan penangkaran. Mereka pergi tanpa meninggalkan donasi, bahkan kadang tanpa ucapan terima kasih. Tapi Holidin bersaudara tampaknya sudah terbiasa. Layaknya sukarelawan tanpa pamrih, mereka mengumpulkan tongkat-tongkat yang dipakai pengunjung untuk menuruni lereng licin, mengganti baju yang basah, mencuci bot, lalu kembali bekerja.
Seminggu di sini, saya menyaksikan dedikasi yang terasa sureal di tengah kerakusan banyak orang memangkas hutan Sumatera. Holidin dan saudaranya bergadang bermalam-malam, dikepung udara dingin dan lembap, kadang diguyur hujan. Hutan telah memberi banyak kepada mereka. Kini mereka membalas budi tersebut.
PANDUAN
Rute
Penerbangan ke Bengkulu dilayani dari Jakarta oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) dan Sriwijaya Air (sriwijayaair.co.id). Jarak bandara ke Kepahiang sekitar dua jam. Area penangkaran keluarga Holidin berlokasi di dekat Hutan Lindung Bukit Daun, sekitar lima kilometer sebelum Kepahiang dan tiga kilometer sebelum Dusun Tebat Monok.
Penginapan
Kota Bengkulu menawarkan cukup banyak hotel berbintang, salah satunya Santika Bengkulu (Jl. Raya Jati No.45, Sawah Lebar; 0736/258-58; santika.com; doubles mulai dari Rp702.450). Kondisinya kontras dengan Kepahiang, di mana hanya tersedia hotel-hotel non-bintang, salah satunya Hotel Umro (Jl. Pembangunan 1, Pasar Ujung; 0732/391-255; doubles mulai dari Rp250.000).
Diterbitkan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei-Juni 2014 (“Suaka Puspa”).