by Yohanes Sandy 27 December, 2013
Mengulik Potensi Wisata Naypyidaw
Oleh Thomas Kean
Pada kunjungan terakhir ke Naypyidaw, kota yang baru delapan tahun menyandang gelar ibu kota, saya menyusuri jalan raya dari Yangon, melintasi jalan sepi yang dipagari barisan beton, lalu melewati sebuah bundaran dan bulevar utama. Setelah beberapa ratus meter, jalan megah empat lajur ini berujung pada hamparan tanah dan sawah yang membentang sejauh mata memandang.
Saya datang menjelang malam, saat hamparan tanah itu dipenuhi sepeda dan gerobak sapi yang mengangkut para petani ke desa-desa terdekat. Setelah meminta petunjuk arah, saya memutar kendaraan dan melabrak keempat lajur jalan. Saya pun menyadari, tak satu pun mobil terlihat sejak 15 menit silam.
Awalnya terselubung enigma, Naypyidaw (dibaca Nay Pyi Taw) kini terbuka bagi umum. Orang-orang yang mendiaminya kebanyakan bekerja sebagai PNS. Dengan berat hati, mereka bermigrasi ke sini pada 2005 saat status ibu kota negeri dipindahkan dari Yangon. Naypyidaw dibangun secara terencana dari nol, di sebuah daerah terpencil di tengah Myanmar. Berbeda dari produk rekayasa sipil lainnya (misalnya Brasília dan Putrajaya), Naypyidaw dirancang oleh militer dan demi kepentingan militer.
Gedung-gedung utama di sini terkesan megah sekaligus galak. Kompleks parlemen memakai atap tradisional pyathat, tapi di sekitarnya terbentang parit. Bahkan nama kota ini (Naypyidaw berarti “rumah para raja”) berfungsi sebagai penghubung sejarah dengan kaum penguasa di masa lalu. Tiga di antaranya—Alaungpaya, Anawrahta, dan Bayinnaung—diabadikan dalam bentuk patung yang menjulang di atas sebuah lokasi parade. Turis yang ingin mengenal para jenderal pemimpin junta bisa singgah di Defence Services Museum. Bangunannya begitu besar hingga Anda membutuhkan beberapa hari untuk mendalami semua koleksinya.
Naypyidaw kadang digambarkan sebagai proyek boros dari rezim paranoid yang senantiasa mengisolasi dirinya dari dunia. Namun, sejak tentara menyerahkan kekuasaannya kepada Presiden Thein Sein pada Maret 2011, karakter siap tempur Naypyidaw telah banyak terkikis. Dalam waktu singkat, Naypyidaw berubah dari benteng sebuah negara tertutup menjadi ruang pamer bagi bangsa yang sedang dipuji-puji komunitas internasional. Salah satu kebijakan pertama Thein Sein adalah menangguhkan proyek-proyek konstruksi pemerintah yang tidak esensial. Restriksi terhadap turis asing juga sudah dicabut.
World Economic Forum on East Asia yang diselenggarakan di Naypyidaw Juni silam, barangkali bisa dianggap sebagai pesta peresmian kota ini. Eksekutif dari beberapa korporasi kakap menginap di hotel-hotel dan menyewa banyak mobil. Standard Chartered menggelar sebuah pesta bertema sirkus, yang berisi antara lain akrobat dan parade jangkungan. Setelah sesi tukar kartu nama rampung, para delegasi mudik dan Naypyidaw pun kembali lengang.
Pesta Olahraga Asia Tenggara, hajatan besar selanjutnya, dijadwalkan bergulir mulai 11 Desember. Pergelaran ini diharapkan bisa membawa lebih banyak tamu ke Naypyidaw. Sejumlah perusahaan swasta telah meneken kontrak kerja untuk memastikan Naypyidaw memiliki cukup kamar hotel bagi atlet dan penonton. Stadion dan gelanggang modern dikerek di area yang beberapa tahun lalu diselimuti belukar. Semua persiapan SEA Games ini diperkirakan memakan anggaran sebesar $400 juta, angka yang kolosal untuk negara dengan pendapatan per kapita $1.400. Beberapa pengamat melihat SEA Games sebagai ajang uji coba menjelang beberapa pertemuan ASEAN yang lebih besar di 2014, ketika Myanmar mendapat giliran memegang kursi Ketua ASEAN.
Fasilitas militer di Naypyidaw tertutup bagi umum, tapi masih ada tempat-tempat bagi kita untuk menikmati kota ini. Kendati para perancang kota sejatinya hendak mendirikan kantong para jenderal, penduduk Naypyidaw rupanya berhasil menciptakan replika kehidupan “normal” khas Burma. >>>