by Trinity 17 October, 2019
5 Julukan Tel Aviv yang Mengejutkan
Teks & foto oleh Trinity
The Miami of the Middle East
Bingung adalah ekspresi lumrah banyak turis saat pertama kali menginjakkan kaki di Tel Aviv. Kontras dari stereotip kota Timur Tengah, Tel Aviv mengoleksi pantai-pantai cantik berpasir putih yang membentang belasan kilometer. Pantai-pantai ini terbuka untuk umum dan dilengkapi kamar mandi. Sebagian pantai dikhususkan bagi keluarga, LGBTQ, dan kaum religius (dipisah berdasarkan jenis kelamin pada jam tertentu). Sebagian lagi dibagi berdasarkan fungsinya: wadah bermain anjing, olahraga, atau pesta. Kontras dari citra Timur Tengah pula, Tel Aviv membolehkan orang berjemur dan berbikini di pantai, juga menenggak miras di kafe dan bar yang bertaburan di pesisir. Semua inilah yang membuat Tel Aviv dijuluki “Miami of the Middle East.” Bedanya, barisan pohon palem khas Miami diganti pohon kurma.
The Nonstop City
Slogan resmi versi Pemkot ini merefleksikan status Tel Aviv sebagai kota paling toleran dan plural di Israel. Satu contohnya: tiap hari Sabat, saat penganut Yahudi menghentikan aktivitas sejak Jumat sore hingga Sabtu malam, Tel Aviv tetap beroperasi normal. Slogan “Nonstop City” juga mencerminkan denyut kehidupan kota. Makan di restoran adalah hobi massal warga, dan kota ini menawarkan beragam restoran untuk memuaskan selera, termasuk untuk menikmati hidangan yang mengandung babi atau makanan laut bercangkang yang diharamkan oleh umat Yahudi. Selepas jam makan malam, kota ini menawarkan banyak kelab yang beroperasi hingga subuh.
The Oldest Port City in the World
Dalam bahasa Ibrani, nama resmi Tel Aviv ialah Tel Aviv-Yafo, gabungan dua kota. Yafo, yang dibangun pada 1800 SM, merupakan salah satu kota pelabuhan laut tertua yang masih dihuni hingga kini. Surat Mesir kuno menulis kota ini dibangun oleh Yafet, anak dari Nabi Nuh. Dalam kitab suci Yahudi dan Kristen, Yafo disinggung dalam kisah Nabi Yunus, Raja Solomon, dan Santo Petrus. Setelah bergabung dengan Tel Aviv pada 1950, Yafo menjadi area Kota Tua. Keduanya berbeda karakter. Tel Aviv berpenampilan modern, sementara Yafo ditaburi bangunan berwarna pasir dan berarsitektur khas Timur Tengah dengan jalan-jalan yang sempit bak labirin.
The White City
Berkat gaya arsitektur dan tata kotanya yang inovatif pada awal abad ke-20, Tel Aviv menjadi satu dari segelintir kota besar dunia yang masuk daftar Situs Warisan Dunia UNESCO. Pada 1930-an, saat Tel Aviv hanyalah gurun kosong di tepi Laut Mediterania, para arsitek Yahudi asal Eropa membangun 4.000 hunian di daerah Lev Hair, Rothschild Boulevard, dan Bialik Square. Arsitekturnya condong ke gaya Bauhaus, mazhab asal Jerman yang berprinsip “fungsi menentukan bentuk.” Hasilnya: bangunan yang sengaja dicat putih demi memantulkan terik, dengan ornamen seperti jendela kecil untuk menahan panas, balkon panjang yang menyambut angin, serta atap datar untuk wadah bercengkerama saat cuaca sejuk.
The Pink City
Julukan ini lahir bukan karena Tel Aviv berisi permukiman berwarna jambon, melainkan karena statusnya sebagai salah satu ibu kota LGBTQ dunia. Sejak 1993, kota ini menanggap parade tahunan Gay Pride terbesar di Asia dan satu-satunya di Timur Tengah. Ajang yang bergulir tiap minggu kedua Juni ini didukung oleh pemerintah lantaran sukses memikat turis. Tahun ini, pesertanya menembus 250.000 orang. Berkat karakter yang sekuler dan ramah LGBTQ pula, Tel Aviv melahirkan banyak pantai, kelab, dan taman khusus gay. Bahkan di Me’ir Garden terpajang memorial bagi para LGBTQ korban Holocaust.