by Alfian Widiantono 12 December, 2018
Pulau Karang Penghasil Parang
Oleh Alfian Widiantono
Tang tang tang ….” Suara benturan logam menjalar ke penjuru Desa Sowa, bersaing dengan debur ombak dan embusan angin laut. Sesekali terdengar suara gerinda yang meraung bising dan celotehan para pandai besi. “Orkes rakyat” ini berlangsung hampir tiap hari sejak beberapa abad silam di Pulau Binongko, 1.800 kilometer dari Jakarta,
Peluh membasahi sekujur tubuh Arwadin. Bajunya kuyup. “Sedikit lagi”, katanya seraya mengelap keringat di wajah, “sebentar lagi sudah jadi parang.” Arwadin, pria berusia 53 tahun yang lazim disapa La Awa, adalah satu dari ratusan orang yang berprofesi pandai besi di Binongko. Bengkel kerja mereka tersebar di banyak titik, terutama di belahan barat pulau, dengan Desa Sowa sebagai pusatnya.
Layaknya sebuah kompleks industri, Sowa menampung sekitar 90 bengkel kerja dengan ukuran sekitar 2,5 x 3 meter. Masing-masingnya galibnya diisi dua pekerja. Mereka memproduksi beragam peralatan agrikultur dengan parang sebagai komoditas andalan. Parang buatan Binongko memiliki bentuk yang khas: segitiga siku-siku di ujungnya, persis seperti yang digenggam pahlawan nasional Pattimura pada lembaran seribu rupiah edisi tahun 2000. Beberapa orang bahkan mengklaim Sang Kapitan sebenarnya berasal dari Binongko.
Saya melawat Binongko pada 2018. Total sudah empat kali saya ke sini. Binongko bersemayam di ujung tenggara Wakatobi, gugusan elok yang melintang di kaki Sulawesi. Seperti sudah banyak diketahui, Wakatobi menyandarkan hidupnya pada sektor perikanan dan pertanian. Fakta inilah yang menjadikan profesi pandai besi di Binongko sebuah anomali. Lebih janggal lagi, pulau ini bukanlah tempat yang ideal untuk industri perkakas logam. Binongko tak punya tambang bijih besi.
Kendati begitu, menurut warga, profesi pandai besi di Binongko punya akar yang panjang. “Seperti kebanyakan warga di sini, saya belajar menjadi pandai besi sejak remaja. Buyut, kakek, dan ayah saya juga bekerja membuat parang. Selebihnya adalah cerita yang dituturkan secara turun-temurun,” jelas Arwadin.
Kisah Arwadin bisa jadi punya rujukan sejarah yang valid. Di masa penjajahan Belanda, Wakatobi dinamai Toekang Besi Eilanden, lantaran banyak warganya memang bekerja sebagai pandai besi. Walau penting pula dicatat sumber lain mengklaim “Toekang Besi” sejatinya berasal dari nama Raja Telukabesi, tokoh pemberontak yang diasingkan ke sini oleh VOC.
Satu referensi lain untuk melacak tradisi pandai besi di sini ialah buku Sejarah Peradaban Binongko Wakatobi Buton karya La Rabu Mbaru. Tulis buku ini, keterampilan warga membentuk logam dipelajari dari Raja Binongko IV La Soro. Berasal dari daerah yang disebut “Tanah Barat,” La Soro datang ke Binongko pada abad ke-13 dengan membawa keahlian menempa besi.
Akan tetapi, walau riwayatnya panjang, pembuatan parang di Binongko hingga kini masih tergolong usaha tradisional. Di sini tidak ada pabrik modern. Hampir semua pandai besi mendapatkan bahan baku dari Surabaya, mayoritas berupa besi bekas onderdil kendaraan seperti pelat, cakram, dan per. “Setelah dipotong sesuai ukuran, lalu dipanaskan di tungku sampai warnanya merah. Selanjutnya ditempa sampai pipih,” jelas Arwadin tentang proses produksi parang.
Baca juga: Tari Purba di Tepi Batur; Seni Tumpah di Naoshima
Dalam seminggu, Arwadin menghasilkan rata-rata 100 bilah parang dengan panjang standar 40 sentimeter. Kreasinya dijual tanpa gagang dengan harga antara Rp25.000-30.000 kepada pemborong, yang kemudian memasarkannya ke daerah-daerah timur seperti Maluku dan Papua. Untuk parang yang dilengkapi gagang, harganya jauh lebih mahal, Rp80.000-100.000.
Parang Binongko terkenal tajam dan awet. Inilah yang membuatnya cukup laris di pasaran. “Sekali borong, biasanya saya bawa sekitar 700 sampai 1.000 parang,” ujar Mustafi, pria lokal yang bekerja sebagai makelar. “Jumlah itu selalu habis tak lebih dari enam bulan.”
Sayangnya, parang Binongko belumlah menjadi merek dagang yang melambungkan pamor daerah produsennya, berbeda misalnya dengan Golok Cibatu. “Parang-parang kami ini sudah beredar ke berbagai wilayah sejak ratusan tahun. Tapi sayangnya tak banyak yang tahu kalau bilah-bilah tajam itu berasal dari sini,” keluh Arwadin.
Tantangan itulah yang coba dijawab oleh pemerintah setempat. Pada pertengahan 2018, Pemkab Wakatobi dan Badan Ekonomi Kreatif mendatangkan sejumlah desainer profesional untuk memberi penyuluhan kepada para pandai besi. “Kami mencoba mengenalkan teknik-teknik pengikisan logam untuk membuat pola tulisan atau gambar pada parang. Harapannya pola tersebut menjadi semacam tanda pengenal atau merek,” ungkap Rengkuh Banyu, salah seorang desainer asal Bandung yang didatangkan ke Binongko.
Upaya itu menuai respons positif. Arwadin dan beberapa koleganya antusias menerapkan teknik baru dalam proses produksi parang. Beberapa bilah parang kini dihiasi guratan artistik, hingga terlihat lebih mirip benda pajangan ketimbang alat untuk memotong kelapa sawit. Babak baru parang Binongko sepertinya baru bergulir.
Binongko, pulau paling ujung di Wakatobi, memiliki alam yang keras dengan lanskap yang didominasi karang. Posisi geografis yang kurang menguntungkan itu membuatnya hanya mampu memanen sedikit turis dibandingkan pulau-pulau tetangganya. Kini, melalui parang-parang elok setangguh karang, warganya seperti mendapatkan asa baru. Wakatobi bukan hanya soal wisata bahari.
Saking kerasnya lanskap Binongko, warga kadang menjuluki pulau ini “batu bertanah,” bukan “tanah berbatu.”
Alfian Widiantono
Alfian Widiantono, pria yang lazim disapa Aan, adalah seorang fotografer dan penulis lepas yang berbasis di Yogyakarta. Karya-karyanya telah ditayangkan di sejumlah media nasional. alfianwidi.com.