by Yoppy Pieter 24 May, 2018
Terobosan Nekat Amsterdam: Tutup Objek Wisata
Oleh Yoppy Pieter
Saya menginjakkan kaki di Amsterdam pertama kalinya pada 2015 untuk menghadiri sebuah lokakarya fotografi. Mei 2018, saya kembali ke kota ini. Sekilas pandang, kondisinya tak banyak berubah. Ibu Kota Belanda ini tetap tampil sebagai kombinasi antara keteraturan dan kesemrawutan. Turis dan sepeda berseliweran. Meja kafe dan restoran tumpah ke jalan-jalan. Akan tetapi, jika kita melihat kota ini lebih cermat, sebenarnya ada satu hal yang berbeda darinya. Amsterdam kini makin “alim.”
Tahun ini, saya berkunjung di musim semi, saat bunga-bunga bermekaran. Suatu kali, saya mengayuh sepeda untuk menyambangi beberapa museum, sesekali singgah di kafe tepi kanal untuk menikmati kue dan cokelat panas. Di pengujung hari, gerimis turun seketika dan memaksa saya berteduh di Oude Kerk, gereja yang bersemayam di kawasan Red Light District. Rumah bordil dan kedai ganja bertaburan di sekitarnya.
Dingin semakin menggigit tapi hujan belum mau reda. Saya meringkuk di bawah kanopi di sebuah gang langsing, di mana ruangan berjajar dalam naungan gorden merah. Ruangan-ruangan ini tampak kosong. Etalasenya tak lagi menampilkan perempuan-perempuan berbalut lingerie yang meliuk-liuk seduktif di atas kursi. Beberapa ruangan memasang kertas pengumuman bertuliskan “room for rent, please call this number…”
Rumah bordil (“window brothel”) dan kedai ganja (“coffee shop”) adalah dua magnet wisata andalan Amsterdam. Menurut data The Economist, satu dari empat turis datang ke kota ini untuk mampir di kedai ganja. Sumbangan ekonominya sangat signifikan. Mengutip Reuters, bisnis prostitusi dan ganja di Amsterdam dan sekitarnya menyumbang €2,5 miliar (sekitar Rp41 triliun) per tahun bagi perekonomian nasional.
Tapi semua itu perlahan sedang tergerus. Amsterdam sedang melancarkan gerakan bersih-bersih “maksiat.” Sekitar 150 rumah bordil ditutup, sementara jumlah kedai ganja susut drastis dari 350 buah di 1995 menjadi hanya 167 di 2017. Kebijakan ini tentu mengundang pertanyaan. Mengapa Belanda yang terkenal liberal dan progresif seakan berpindah ke jalur kanan yang konservatif?
Belanda melegalkan prostitusi pada 2000. Guna mengontrol dampak negatifnya, lokalisasi pun diterapkan, salah satunya Red Light District. Dengan cara ini, kesehatan pekerja seks bisa dikontrol dan perdagangan manusia bisa ditekan. Sayang, harapan itu belum terwujud. Fakta inilah yang mendorong gerakan anti-perbudakan mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang undang-undang terkait legalisasi prostitusi, dan di waktu yang bersamaan regulasi ganja pun menuai sorotan. Keduanya memang bersinggungan, baik secara lokasi maupun isu, misalnya soal mafia.
Pemkot bergerak di bawah payung Project 1012, inisiatif yang dicetuskan pada 2007. Aturannya beragam dan semua ditujukan untuk memaksa rumah bordil dan kedai ganja ditutup bertahap. Contohnya regulasi yang menetapkan kedai ganja tidak boleh berada dalam radius 250 meter dari sekolah. Akibat aturan ini saja, puluhan tempat terpaksa ditutup, salah satunya Yellow Mellow, kedai ganja tertua yang berjarak 230 meter dari sebuah sekolah salon rambut.
Gebrakan Pemkot itu menuai pro dan kontra, tentu saja. Sejumlah orang mempertanyakan kejelasan aturannya. Dalam perjalanan kereta dari Den Haag menuju Amsterdam, saya bertemu Dania Putri, seorang perempuan yang bekerja sebagai Drug Policy Reform Consultant. “Belanda sering kali dipandang sebagai negara yang sangat progresif dalam hal kebijakan ganja. Tetapi, lucunya, dari sisi hukum, status produksi dan peredaran ganja melalui coffee shop masih berada dalam area abu-abu,” ujarnya.
Sebagian orang juga meragukan efektivitas Project 1012, misalnya soal batasan radius antara kedai ganja dan sekolah. “Ayolah, murid-murid itu tidak bodoh. Walaupun coffee shop ditutup, mereka masih bisa mampir ke coffee shop yang lain,” jelas Hendric, seorang pengunjung De Dampkring Coffee Shop.
Project 1012 sebenarnya tidak serta-merta bertekad membabat semua kedai ganja dan rumah bordil. Inisiatif ini juga berniat mengubah model bisnisnya. Mei 2017 misalnya, Wali Kota Amsterdam meresmikan sebuah rumah bordil besar yang dikelola oleh 40 pekerja seks komersial. Bernaung di bawah My Red Light, sebuah yayasan yang didukung dana pinjaman dari Rabobank, rumah bordil ini bertujuan membantu PSK bekerja independen sekaligus melepaskan mereka dari penindasan gigolo.
Sejumlah turis melintasi pelataran De Dapmkring, salah satu coffee shop ternama di Amsterdam.
Yoppy Pieter
Selain memotret, fotografer dokumenter ini giat mengembangkan fotografi dengan menjadi edukator di beragam lokakarya. Pada 2017, Yoppy menerima penghargaan South-East Asia & Oceania 6×6 Global Talent Program dari The World Press Photo Foundation. Fotografer yang berbasis di Jakarta ini merupakan salah seorang pendiri kolektif Arka Project dan pengelola akun Heterogenic. yoppycture.com.