by Kurniadi Widodo 18 May, 2018
Melihat Proses Pembuatan Hotel Seni di Yogyakarta
Oleh Boy Nugroho
Foto oleh Kurniadi Widodo
Mengenakan kaus oblong dan celana pendek, Apri Kusbiantoro menciptakan mural empat karakter punakawan pada dinding kamar nomor 701. Tema ini dipilihnya lantaran memiliki makna simbolis yang dalam. Punakawan, representasi rakyat kecil dalam jagat pewayangan, akrab bergaul dengan kalangan bawah dan luwes menembus kasta atas. Ditambah lagi, mereka sarat nilai kearifan Jawa, cocok untuk menghiasi sebuah hotel yang bersemayam di Yogyakarta.
Di kamar lain, Fatoni Makturodi juga sedang bergelut dengan mural. Jika Apri mengusung tema yang merakyat, Fatoni mengangkat kisah tragis Bandung Bondowoso. Kita ingat, tokoh ini melegenda sebagai kontraktor terhebat di dunia. Demi meminang Roro Jonggrang, dia mengerek 999 candi dalam semalam dengan bantuan legiun jin. Tokoh-tokoh mitologis inilah yang diolah Fatoni untuk melapisi kamar di lantai atas hotel.
Apri dan Fatoni, dua seniman yang berbasis di Yogyakarta, sedang membuat karya pesanan Artotel Yogyakarta. Selama kurang lebih sebulan, keduanya dikomisi untuk memberi sentuhan artistik berkarakter Jawa pada kamar-kamar hotel anyar ini. Selain keduanya, Artotel menyewa Uji ‘Hahan’ Handoko, Soni Irawan, Ronald Apriyan, serta duet Rara Kuastra dan Putud Utama. Proses pemilihan mereka melibatkan Heri Pemad, CEO ArtJog, bursa seni terbesar di Indonesia.
Bagi Artotel, menyewa seniman adalah praktik yang lumrah. Jaringan hotel lokal ini selalu menghiasi setiap propertinya dengan buah kreativitas para perupa. Di Jakarta, mereka menyewa antara lain Eddie Hara untuk mempercantik restoran, serta Darbotz untuk mewarnai fasad hotel. Di Sanur, tamu disambut oleh patung buatan Pintor Sirait dan dihibur oleh mural dari Kemal Ezedine.
Membuat hotel semacam itu tidaklah mudah. Untuk memilih seniman, Artotel menciptakan profesi Art Manager yang kini dijabat oleh Safrie Effendi. Dialah yang bertugas melacak kandidat perupa untuk dikomisi. Safrie, alumnus Savannah College of Art & Design, rajin bergerilya ke banyak pameran dan galeri, melakoni proses evaluasi dan kurasi, lalu mempresentasikan artis pilihannya kepada pihak hotel—proses yang biasanya lebih rumit ketika Artotel cuma bertindak sebagai pengelola, bukan pemilik bangunan, seperti dalam kasus Artotel Yogyakarta.
Bagi para seniman yang terlibat, Artotel juga menghadirkan tantangan tersendiri. Galibnya proyek komisi komersial, mereka tak bisa lagi bertindak sebagai subjek otonom yang berkreasi sesuka hati, sebab ada “syarat dan ketentuan” yang wajib ditaati. Supaya karya selaras dengan karakter bangunan misalnya, mereka mesti beradaptasi dengan gaya desain hotel. Kemudian, di tahap eksekusi, mereka harus sudi bekerja di lingkungan yang tak melulu kondusif dan steril layaknya studio, sebab proses berkarya digelar bersamaan dengan proses konstruksi bangunan.
Repotnya proses itu terlihat pula di ROCA, restoran yang bertengger di atas lobi Artotel Yogyakarta. Di sini, Rara Kuastra dan Putud Utama—duet yang bernaung di bawah Tempa Studio—meracik instalasi di antara tukang yang sibuk hilir mudik dikejar tenggat. Tempa meramu figur Dewi Sri yang dilukis pada sepotong kayu besar yang digantung di dinding. Karyanya sudah rampung, tapi terpaksa dicopot karena mural pada dinding di belakangnya mesti diselesaikan. Kendala lain muncul pada pintu restoran yang rencananya akan dilapisi ilustrasi. Baru saja sketsa akan digoreskan, pihak kontraktor mengumumkan pintu itu akan diganti. Alhasil, proses berkarya tertunda hingga dua minggu.
Artotel Yogyakarta, hotel yang bersarang di Jalan Kaliurang, merupakan properti keempat Artotel di Indonesia. Merek butik yang dirintis di Surabaya pada 2012 ini cukup giat berekspansi, dan pasar sepertinya merespons konsepnya yang segar. Tahun ini, Artotel akan melebarkan sayapnya ke Bandung, Ubud, dan Semarang. Masing-masingnya menyewa seniman yang berbeda.
Sesuai namanya, Artotel beriktikad menjadi “hotel seni.” Bukan spesies yang baru sebenarnya di dunia perhotelan, tapi kiprahnya menarik dicermati. Pendekatan yang dipakainya terbilang langka. Selama ini “hotel seni” didefinisikan sebagai penginapan yang ditaburi lukisan atau instalasi yang dibeli oleh si pemilik hotel. Sementara di Artotel, seni bangunan. Hasilnya: bukan semata hotel seni, tapi hotel yang nyeni.
Dicerna memakai kacamata bisnis, konsep itu tentu bisa dipandang sebagai taktik pemasaran belaka. Di tengah persaingan, wajar jika pengusaha hotel berlomba memberi tawaran yang unik demi menjala tamu. Akan tetapi, dalam kasus Artotel, pilihan itu agaknya juga dilatari interes personal sang pemilik. Erastus Radjimin, CEO Artotel Group, merupakan seorang pencinta seni. Perupa yang disewa Artotel Yogyakarta bukan nama yang asing baginya. Erastus, misalnya, sudah memiliki beberapa karya Ronald Apriyan.
Lazimnya hotel seni pula, Artotel tak semata menghidangkan permainan visual. Hotelini juga ingin berperan layaknya galeri yang mengadakan pameran secara berkala. Daniel Sunu Prasetyo, General Manager Artotel Yogyakarta, menguraikan rencananya menggelar ekshibisi seni tiap sebulan atau dua bulan sekali di galeri hotelnya.
Bagi Yogyakarta, kehadiran Artotel Yogyakarta jelas memperkuat citra provinsi ini sebagai kutub seni Indonesia. Selain kampus seni terpandang, bursa seni raksasa, dan beragam galeri mentereng di daerah Bantul, Yogyakarta kini memiliki sebuah hotel yang menjadikan seni bagian dari identitas bisnisnya. Satu hal yang menarik, tak semua orang menyambutnya dengan tangan terbuka.