by Muhammad Fadli 26 August, 2013
Tur Emas ke Perut Bendigo
Oleh Muhammad Fadli
Terperangkap 61 meter di dalam perut bumi mungkin bukan cara yang tepat untuk memulai aktivitas wisata. Di awal musim gugur, saat daun-daun di Australia berubah kuning dan merah, saya justru melangkahkan kaki di lubang-lubang yang membentuk jaringan “rumah tikus” di barat laut Melbourne. Gelap, lembap, dan pengap, meski oksigen senantiasa dialirkan.
Saya berada di Central Deborah Gold Mine, sebuah bekas tambang emas di daerah Bendigo, satu dari sedikit tempat di mana orang-orang rela membayar untuk bisa memasuki terowongan dan mengotori tubuh mereka. Sejarah Bendigo adalah sejarah pertambangan emas. Turis berdatangan untuk menyelami memori tersebut, memori yang dulu menempatkan Australia di peta dunia—bukan cuma sebagai tempat pengasingan narapidana, tapi juga tanah harapan.
“Sssh jangan beri tahu siapa pun jika Anda menemukan emas, nanti temui saya di area parkir. Hasilnya kita bagi rata,” Darryl sang pemandu berbisik dengan mimik serius. Kami tertegun sejenak, sebelum akhirnya menyadari dia sedang berkelakar. “Jangan sekali-kali berpikiran mereka (penambang) akan menyisakan emas.” Darryl tertawa. Suaranya bergema ke penjuru terowongan.
Kami merangsek kian dalam, layak-nya petualang penasaran dalam film Journey to the Center of the Earth. Seperti pengunjung lainnya, saya diwajibkan mengenakan aksesori standar pekerja tambang: aki dan helm yang dilengkapi senter. Satu-satunya yang sejak awal menjadi beban pikiran adalah, bagaimana kalau terowongan ini tiba-tiba ambruk?
Para penggali emas dulu mungkin dihantui paranoia serupa. Setiap hari. Tiap kali mereka melangkah. Tapi ketakutan itu sepertinya dikalahkan oleh ambisi untuk mengeruk uang. Logam mulia memberikan nyawa pada Bendigo, sekaligus mengubah kota ini dari sentra peternakan sapi menjadi surga tambang. Menurut pemerintah setempat, Bendigo adalah ladang emas tersubur kedua di Australia. Sejak emas ditemukan pada 1851, hasil panen di sini bernilai sekitar sembilan miliar dolar, cukup untuk membangun Jembatan Selat Sunda.
Emas itu memunculkan bank-bank yang berbaris di bulevar. Emas juga melahirkan gedung-gedung berarsitektur anggun yang membuat iri daerah-daerah tetangga. Dan emas membuat Bendigo layaknya kota Erebor yang dipenuhi dwarf dalam novel The Hobbit. Mereka giat menggali, membuka rongga demi rongga, memburu logam-logam yang berkilauan dalam gulita. Pertambangan berlangsung masif. Mesin-mesin berputar sepanjang hari hingga menghasilkan istilah “the soundtrack of Bendigo.”
Eksplorasi bawah tanah baru dimulai pada 1860, setelah penambangan di permukaan dianggap tak lagi menjanjikan. Central Deborah Gold Mine, satu-satunya bekas tambang yang kini dibuka untuk umum, memiliki kedalaman maksimum 410 meter. Jika Empire State Building ditanam di dalamnya, cuma antenanya yang terlihat di permukaan.
Kami terus menelusuri tambang. Pada satu titik Darryl memperlihatkan denah terowongan yang mencakup 17 level. “Di kota ini masih banyak terowongan lainnya. Salah satunya bahkan memiliki kedalaman lebih dari 1.000 meter,” ujarnya. Dunia bawah tanah Bendigo jauh lebih kompleks dibandingkan kotanya sendiri. Terowongan saling terkoneksi dan membentuk labirin yang membentang hampir ke semua arah. Menurut mitos, Anda bisa masuk di satu titik lalu keluar di sisi kota yang lain.
Saya turun hingga level dua. Penyuka tantangan bisa turun hingga ke level sembilan. Nama tur ini membuat bulu merinding: Nine Levels of Darkness.
Central Deborah Gold Mine adalah tambang emas yang terakhir ditutup. Beroperasi selama 15 tahun, dari 1939 hingga 1954, tempat ini memproduksi sekitar 900 kilogram emas. Ide cemerlang lalu timbul untuk menyulapnya menjadi museum. Bendigo tak lagi memikat pemburu logam, tapi setidaknya ia memiliki aset sejarah untuk menggoda turis. Pada 1986, museum dibuka dengan tawaran blasak-blusuk terowongan.
Tapi ide itu tidak mudah untuk dieksekusi. Lorong-lorong bawah tanah bukan tempat jalan-jalan yang ideal bagi turis. Infrastruktur tambahan mesti dipersiapkan dan emas tak lagi tersedia untuk membiayai itu semua. “Kami butuh setidaknya seratus ribu dolar per tahun untuk memompa air dan mengurus segalanya,” ujar Darryl. “Jika tidak, air akan memenuhi tambang, sehingga eksplorasi mustahil dilakukan.” Saat ini tambang hanya bisa diakses hingga level sembilan. Lebih dalam dari itu hanya ada kolam raksasa. Dan saat pompa berhenti beroperasi, kolam itu menggenangi level-level di atasnya.
Jika catatan gemilang dari masa lalunya dilucuti, Bendigo hanyalah sebuah permukiman yang sederhana. Dengan populasi sekitar 100 ribu jiwa, dengan jalan-jalan yang saban hari nyaris kosong, “kota praja” ini terasa begitu sunyi. Melihat sepintas, sulit dipercaya Bendigo pernah menjadi tanah harapan.
Tapi jejak demam emas masih bisa ditemui di penjuru kota, antara lain berupa ikon-ikon budaya yang lahir dari gairah tambang itu sendiri. Beberapa tahun setelah penemuan emas, Bendigo disatroni banyak pekerja impor. Tidak hanya dari daratan Eropa, tapi juga sekitar 5.000 pekerja tambang asal Cina. Artefak yang mereka tinggalkan antara lain Golden Dragon Museum yang menyimpan barongsai super panjang, serta kelenteng sepuh Joss House.
Potret kejayaan masa lampau juga bisa disaksikan dalam wujud koleksi bangunan Victorian yang melimpah. View Street, salah satu jalan utama di pusat kota, adalah lokasi terbaik untuk menyaksikannya. Awalnya dibangun untuk melayani transportasi antara Bendigo dengan Eaglehawk di akhir 1880-an, kawasan ini bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan elite empat dekade kemudian.
Banyak bangunan di View Street telah beralih fungsi, tapi fasad aslinya tetap dipertahankan. Contohnya kantor pemadam kebakaran yang kini menjadi bagian kompleks teater, atau bangunan English, Scottish, & Australian Bank yang dihuni restoran. The Sandhurst Club adalah pengecualian. Sejak didirikan pada 1893, tampilan dan fungsi kelab khusus pria ini tak berubah. Bahkan aturan untuk menolak wanita sebagai anggota masih berlaku.
Masih di kawasan yang sama, ada Bendigo Art Gallery, salah satu galeri seni tertua di Negara Bagian Victoria. Mayoritas lukisan uzur di sini mendo-kumentasikan momen-momen penting dalam periode demam emas dan babad awal Australia. Kodrat Bendigo sebagai kawasan tambang turut menyuntikkan kreativitas ke benak para seniman.
Saya datang saat Bendigo Art Gallery memamerkan foto-foto stereografis langka karya John H. Jones. Di sekeliling ruangan terpajang setidaknya 50 foto yang kebanyakan belum pernah dipubli-kasikan sejak dibuat 150 tahun silam. Beberapa di antaranya merupakan foto lanskap dan kota-kota kecil di rute antara Melbourne dan Bendigo. Kini, dengan bantuan teknologi tiga dimensi, publik bisa menyaksikan adegan-adegan yang dulu disaksikan Jones. Dari balik kaca-mata 3D, saya terlempar ke masa lampau.
Hanya selemparan batu dari View Street, kawasan hijau Rosalind Park menampung orang-orang yang menggelar piknik. Di hadapan taman, patung George Lansell berdiri jemawa dengan tangan kiri menggenggam sedimen yang mengandung emas. Mengelola hampir 40 tambang, pria asal Inggris itu kerap dijuluki Australia’s Quartz-King. Tapi bukan kekayaan yang membesarkan namanya. Pada 1880-an, George, yang saat itu sudah mudik ke London, diminta kembali oleh warga Bendigo untuk memulihkan industri tambang yang sedang terjun bebas. George juga memiliki yayasan untuk membantu mereka yang menjadi tumbal tambang emas: para janda dan yatim. Di hari terakhir hidupnya, semua gereja di Bendigo memanjatkan doa dan bendera-bendera dikibarkan setengah tiang.
Tipikal kota-kota kecil di Negeri Kanguru, geliat kehidupan di Bendigo meredup secara tiba-tiba saat senja datang. Pemandangan berbeda berlangsung di Masons of Bendigo, restoran yang belakangan jadi bahan perbincang-an usai memenangkan Golden Plate Awards. “Belum akhir pekan, tapi resto-ran ini penuh. Ini bukan tempat yang biasa,” ujar Claire, teman asal Bendigo yang kini menetap di Indonesia. Karena tidak begitu lapar, kami memesan scallops Florentine panggang dan labu bakar.
Malam kian larut. Di luar restoran, sepi merasuk cepat. Kisah emas telah ditutup, tapi Bendigo belum kehilangan pesonanya untuk memikat pendatang.
PANDUAN
Rute
Bendigo berjarak sekitar 130 kilometer ke arah barat laut Melbourne, Ibu Kota Negara Bagian Victoria. Penerbangan dari Jakarta ke Melbourne dilayani oleh Garuda Indonesia (garuda-indonesia.com) via Bali, dan oleh Qantas (qantas.com.au) via Sydney. Dari Melbourne, Anda bisa melanjutkan perjalanan ke Bendigo dengan alat transportasi publik seperti kereta atau bus.
Penginapan
Berjarak dekat dari Rosalind Park, The Hotel Shamrock (Corner of Pall Mall & Williamson Street, Bendigo; 03/5443-0333; hotelshamrock.com.au; doubles mulai dari $140) adalah pijakan ideal untuk mengeksplorasi kota. Penginapan bergaya Victorian ini menaungi 28 kamar dan dua bar yang cukup populer di kalangan warga lokal. Opsi lainnya adalah Fountain View Suites (10-12 View Street, Bendigo; 03/5441-7003; allawahbendigo.com; doubles mulai dari $170) yang menyuguhkan panorama pusat bisnis dan Rosalind Park.
Aktivitas
Sementara ini, Central Deborah Gold Mine (central-deborah.com) adalah satu-satunya bekas tambang emas bawah tanah yang terbuka untuk umum. Pengunjung dapat memilih beberapa opsi tur, mulai dari level dua hingga sembilan, dengan durasi paling singkat 75 menit dan tarif mulai dari $27,3. Tingkat kesulitan tiap paket bervariasi. Agar lebih hemat, tiket bisa dikombinasikan dengan Vintage Talking Tram, tur hop-on hop-off ke obyek-obyek wisata di kota, seperti taman dan bangunan bergaya Victorian yang masih tera-wat. Untuk menyaksikan masa lalu kota dari kaca-mata seniman, Bendigo Art Gallery (bendigoartgallery.com.au) wajib disambangi.
Diterbitkan pertama kali di majalah DestinAsian Indonesia edisi Juli/Agustus 2013. (“Heritage: Kilas Emas”).