Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pramuwisata Melawan Usia

Mendengarkan cerita dari buku panduan yang dipegang oleh Noboru Ichii.

Oleh Eka Nickmatulhuda

Tamu saya membatalkan janji karena kehujanan. Apakah kalian mau saya pandu hari ini?” tanya seorang kakek di sebuah stasiun di kota Nara, sekitar 150 kilometer dari Nagoya. Bingung meresponsnya, saya dan kedua adik saya hanya saling berpandangan. “Gratis!” ujar sang kakek lagi berupaya merayu.

Tawarannya menggiurkan sekaligus mencurigakan. Benarkah gratis? Sebagai perempuan backpacker, saya selalu berusaha waspada setiap waktu. Pada akhirnya, kami memutuskan menyambut tawarannya—dan kami tidak pernah menyesalinya. Pengalaman unik bersama pramuwisata dadakan ini tak cuma berkesan, tapi juga membuka mata tentang sisi lain pariwisata Jepang.

Usai kami mengangguk, sang kakek menyodorkan kartu namanya. Di situ tertulis nama organisasi Nara EGG (English Goodwill Guides), serta tentu saja nama sang kakek, Noboru Ichii. “Nama saya gampang diingat kok,” ujarnya. “Tiap kali kalian menggaruk, pasti ingat saya, Ichii…” Tak cuma gratis, pemandu ini juga pandai membuat pelesetan kocak. Permulaan yang bagus.

Oka Yoriko, salah satu pendiri Nara EGG, duduk di ruangan yang digunakan relawan untuk memberikan pengalaman berkimono dan mengikuti upacara minum teh tradisional.

Tur kami dimulai. Mula-mulanya kami diajak melawat gedung Naranicle untuk mengikuti upacara minum teh dan mencoba kimono. Kedua kegiatan ini, kata Ichii, juga ditawarkan sonder bayar, kecuali untuk penganan manis yang disajikan bersama matcha. Di lantai atas Naranicle, kami tiba di muka sebuah ruangan berdesain ryokan. Kami mengganti sepatu dengan bakiak geta, lalu memasuki sebuah ruangan berisi beberapa wanita yang mengingatkan kami pada Oshin.

Dalam ruangan beralaskan tatami, Ichii memperkenalkan kami pada sang tuan rumah, Oka Yoriko. Di sekeliling kami, beragam kimono dan hakama digantung berjejer pada dinding. “Semuanya sumbangan, dan kami hanya menjaga kondisinya, karena itulah kami tidak memungut bayaran,” jelas Yoriko. Pakaian-pakaian di sini, tambahnya, dikumpulkan dari tempat-tempat penyewaan yang sudah tutup.

Seorang relawan Nara EGG membereskan kimono dan hakama yang sempat dikenakan wisatawan.
Seorang relawan Nara EGG memakaikan kimono dengan cekatan.

Yoriko mendandani saya dan kedua adik saya, kemudian menjamu kami dalam upacara minum teh. Saat Yao Mayumi, rekan Yoriko, tengah mempersiapkan hidangan, kami mengikuti kursus kilat ritual tradisional Jepang tersebut, meliputi cara duduk, mengangkat dan memutar mangkuk teh, hingga membungkuk untuk menghormati tuan rumah dan sesama tamu. Upacara minum teh di Jepang lazimnya dilakukan hanya oleh kasta atas, karena itu etiketnya cukup kompleks.

Tempat penyewaan kimono mematok tarif setidaknya 3.500 yen (setara Rp450.000) untuk sehari pakai, sementara upacara minum teh antara 2.000-6.o00 yen per sesi. Bisa mendapatkan paket combo yang mencakup keduanya secara gratis merupakan pengalaman yang janggal di negara berbiaya hidup tinggi ini. Kenapa Nara EGG melakukannya? “Kami sangat senang melakukannya,” jawab Yoriko, salah seorang pendiri Nara EGG. “Kami senang bertemu orang-orang baru seperti kalian. Kami merasa hidup kami begitu berwarna dan menyenangkan.”

Seperti yang tertulis di blognya, kelompok Nara EGG dirintis pada 1993. Organisasi sukarelawan ini mewadahi kaum manula yang ingin mengisi waktu luang dengan menawarkan pengalaman budaya kepada turis. Untuk itu pula, mereka mempelajari bahasa Inggris, dan mereka terlihat menikmati berbicara dalam bahasa asing tersebut.

Menyiapkan matcha yang akan dihidangkan kepada wisatawan dalam rangkaian upacara minum teh tradisional Jepang.

Sesi minum teh rampung. Dalam dua menit, tangan-tangan para perempuan dengan sigap memereteli kimono dan pernak-pernik dari tubuh kami. Selanjutnya, kami kembali ke jalan. Di bawah siraman hujan, Ichii membawa kami mengarungi sudut-sudut kota. “Saya senang kalian mau berjalan kaki meski hujan,” katanya seraya melangkah tegap. “Biasanya wisatawan lain lebih suka naik bus dan mengeluh jalanan becek.”

Menurut Ichii, dari sekian ribu anggota kelompoknya, hanya kurang dari seratus orang yang aktif. Penyebabnya kondisi fisik yang terus merosot seiring pertambahan umur. Ichii sendiri hanya memandu turis dua kali per pekan. Selain menyukai kegiatan ini, sebagaimana Yoriko, dia didorong oleh alasan “kesehatan.” Di waktu mudanya, Ichii gemar menenggak sake selepas kerja. Kebiasaan itu, menurutnya, mewariskan penyakit di bagian dada dan kepalanya. “Kalau saya tidak ikut kegiatan [memandu] seperti ini, pasti saya akan cepat pikun dan tambah sakit,” jelasnya.

Memanjatkan doa seraya memandang patung Buddha yang terdapat di kuil Todai-ji.

Dibimbing Ichii, yang sesekali batuk dan menepuk dadanya, kami memasuki Kuil Todai-ji, ikon kota Nara. Saat kami datang, sekeliling kuil tengah dipugar, dan Ichii memandang proyek itu dengan gusar. “Yang mereka pikirkan hanya uang. Mungkin nanti apa-apa harus bayar hanya untuk duduk di halaman kuil,” sungutnya. Pemandu berlisensi ini kemudian membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah buku berisi kliping tentang Todai-ji. Dengan lancar, dia merapal kisah kuil yang sudah berulang kali direnovasi ini. Rasanya seperti mendengarkan sejarah langsung dari sumbernya.

Sejumlah siswa sekolah dasar memperhatikan bagian-bagian kuil Todai-ji, seraya mendengarkan penjelasan dari pramuwisata lokal.

Sejarah sang pemandu tak kalah menarik. Ichii pernah bekerja sebagai staf pemasaran sebuah perusahaan mesin pemotong rumput. Kliennya tersebar hingga Singapura dan Indonesia. “Saya berkunjung ke Indonesia pada awal 80-an, mungkin kalian belum lahir. Alamnya indah sekali dan orang-orangnya ramah, suka tersenyum seperti kalian.” Dia, pikir saya, pasti tidak pernah ke Jakarta di musim banjir.

Banyak kota besar menawarkan tur gratis, tapi pemandunya biasanya kaum remaja. Dibandingkan mereka, Ichii dan koleganya tak hanya berbeda dalam hal usia, tapi juga dalam hal motif. Melalui tur-tur jalan kaki dan upacara minum teh, Nara EGG sebenarnya sedang membantu kaum manula melawan dampak buruk peningkatan usia. Dan mereka bukan satu-satunya organisasi yang mengusung agenda tersebut. Menyambut Olimpiade Tokyo 2020, banyak manula dan pensiunan mengambil kursus bahasa asing agar kelak bisa terlibat sebagai pemandu.

Rusa-rusa yang menjadi ciri khas kota Nara, di kawasan kuil Todai-ji.

Kehadiran inisiatif-inisiatif tersebut tentunya tidak terlepas dari ketimpangan demografis yang diderita Jepang. Populasi manula di negeri ini kian gemuk. Sensus terakhir mencatat, 27,7 persen warga Jepang berusia lebih dari 65 tahun. Seiring itu, problem kesehatan pun meningkat, salah satunya demensia, terminologi ilmiah untuk penyakit pikun. Melalui kegiatan-kegiatan pro bono, kaum usia lanjut kini berjuang melawan tumpulnya ingatan.

Tur kami bersama Ichii berakhir di sore hari. Sang pemandu pamit pulang lantaran harus memasak makan malam. Sejak istrinya mangkat dua tahun lalu, Ichii memang mesti disiplin mengurus dirinya sendiri. Sebelum dia pergi, kami mengajaknya berswafoto. Memandang fotonya di layar telepon genggam milik adik saya, Ichii terkejut. “Astaga! Pantas saja kalian memanggil saya kakek.” Tiap kali menggaruk kepala, saya kini teringat namanya, juga lelucon-leluconnya.

Eka Nickmatulhuda
Fotografer yang berdomisili di Jakarta ini menempa ilmu fotografinya di Tempo, sebelum memutuskan menjadi freelance. Dia terutama tertarik pada tema-tema humaniora, budaya, dan isu-isu perempuan. Selain memotret, Eka sesekali menyambi sebagai guru yoga, mentor kelas fotografi, serta fixer untuk stasiun televisi dan kru film. nickmatulhuda.com.

 

Show CommentsClose Comments

Leave a comment

0.0/5