by Reza Idris 10 January, 2017
Ekspedisi Pesiar Sungai Mekong, dari Saigon ke Siem Reap
Oleh Reza Idris
Foto oleh Atet Dwi Pramadia
Andai Jepang tidak menginvasi Burma, Sungai Mekong kini mungkin akan riuh. Kota-kota bandar yang sibuk akan merekah di bantarannya. Kapal kargo dan tongkang akan memadati perairannya dengan mengangkut hasil bumi dan para saudagar. Tapi sejarah punya kehendak berbeda. Hari ini, Mekong adalah sungai kalem yang menawarkan tur-tur romantis menyelami lanskap interior Indocina.
Ini pertama kalinya saya menyambangi Mekong. Duduk di atas geladak kapal yang tertambat, saya menyaksikan sepenggal kehidupan masyarakat sungai. Rumah-rumah kayu berjejer. Kaum pria dan wanita berdagang di atas perahu kayu. Beberapa kapal berseliweran mengangkut ikan, buah, serta sayur-mayur. Barangkali panorama melankolis ini yang dulu menginspirasi penulis-penulis seperti Elaine Russell dan Marguerite Duras.
Di Indocina, Mekong adalah arteri kehidupan sekaligus saksi peradaban. Di masa lampau, kerajaan-kerajaan besar bercokol di tepinya, juga menggunakannya untuk memperluas kekuasaan. Mekong mengalir dari selatan Tiongkok, membentang 4.900 kilometer—setara jarak Banda Aceh-Maumere—kemudian menutup perjalanannya di Laut Cina Selatan. Di sungai agung inilah saya akan bertualang selama delapan hari. Menaiki kapal RV Mekong Pandaw, saya bertolak dari Ho Chi Minh City menuju Siem Reap.
“Ada satu aturan yang harus diperhatikan,” ujar Rorn Saroun, Ship Manager, sebelum trip bergulir, “yakni dilarang membawa bunga berwarna putih di atas kapal.” Semua orang terpaku menyimaknya. Dalam bahasa Inggris yang fasih, Saroun melanjutkan kata-katanya: “Bunga putih membawa nasib buruk. Bawa belanjaan kain boleh, bawa gelang boleh. Tapi bunga putih… jangan!” Penumpang tertawa, tapi Saroun sebenarnya tak sedang bergurau.
“Apa yang bakal terjadi?” tanya John, pria tambun asal Amerika. Saroun dengan santai menceritakan konsekuensi terburuknya: lambung kapal pecah, mesin mogok, dapur terbakar, atau kapal karam. Peringatan yang cukup aneh. Sejak kapan bunga melambangkan nasib buruk? Tapi kepercayaan mistis ini teguh diyakini oleh kru kapal, dan para penumpang pun tunduk pada wanti-wanti mereka. Lagi pula, bukankah ini esensi bepergian: menerima dan menghargai perbedaan?
Pagi baru saja dibuka di Pelabuhan My Tho. Angin sejuk berembus. Hawa kering Maret menyengat. Sembari menanti para kelasi menggugah logistik ke lambung kapal, saya dan penumpang lain menyeruput ginger ale dingin sembari menikmati pemandangan.
Dibandingkan seluruh kapal di pelabuhan ini, kapal saya tampak janggal, seperti alien yang tersesat. Beberapa warga menyebutnya kapal antik. Sebagian memujinya sebagai bahtera termewah di Mekong.
RV Mekong Pandaw, kapal milik operator tur Pandaw Cruise, mengadopsi desain klasik khas Inggris. Wujudnya seperti baki yang ditumpuk. Tidak gagah seperti pinisi. Tidak flamboyan seperti yacht. Mulut dan pantatnya melengkung. Haluannya tak dilengkapi moncong lancip untuk menyayat air. Sebuah kapal yang tak berniat tergesa-gesa.
Hari beranjak siang dan RV Mekong Pandaw pun melepas simpul, membunyikan sirene, kemudian membuka ekspedisinya. Agenda pertama penumpang adalah makan siang. Di depan meja berisi hidangan seafood segar, semua orang saling menyapa, bertukar nama dan biografi singkat. Selain saya dan fotografer, kapal ini membawa belasan turis asal Amerika, Eropa, Meksiko, Australia, ditambah satu keluarga berdarah India.
RV Mekong Pandaw bergerak ke utara. Mengintip dari jendela restoran, perahu lalu-lalang di atas air berwarna karamel yang nyaris steril dari sampah. Di sempadan sungai, pohon-pohon berbaris. Di sebagian permukaan air, eceng gondok berkerumun.
Mekong mendapatkan pasokan airnya dari Dataran Tinggi Tibet. Dari kaki Pegunungan Himalaya, sungai ini melenggang melewati lembah-lembah dan ngarai-ngarai curam, kemudian membelah dan membasuh enam negara. Di sejumlah titik, ia bercabang, beranak-pinak, menyirami kehidupan di delta, rawa, dan hutan, juga menyuburkan ladang dan membasahi desa-desa nelayan.
Tapi saya berlayar di Maret, saat Mekong tak menjanjikan keamanan. Di musim kering ini, debit air susut dan nakhoda mesti ekstra waspada. Pandaw II, saudara tua RV Mekong Pandaw, pernah kandas akibat menghantam gundukan pasir. Saya tak tahu siapa yang salah: sang nakhoda lengah atau penumpang nekat menyelundupkan bunga putih. Ancaman gundukan pasir jugalah yang membuat kapal saya tidak berlayar selepas magrib. “Di kala malam gundukan pasir sulit terlihat,” ujar pemandu, Bao Giang.
Kelar beristirahat semalam, kapal mendarat di daerah Cai Be dan penumpang berpindah ke perahu motor kecil. Kami menelusuri kanal-kanal sempit, selanjutnya singgah di pasar terapung. Di sungai selebar delapan meter, sampan kayu berkerumun menjajakan sayur, buah, dan ikan. Perahu saya bermanuver zigzag di antara sampan pedagang, sesekali memperlambat lajunya agar penumpang bisa berbelanja. Kata pemandu, pasar ini dulu jauh lebih besar. Menyusutnya jumlah pedagang adalah akibat dari pembangunan banyak jalan dan jembatan. Ketimbang susah payah mendayung perahu, warga kini lebih memilih mengangkut dagangan dengan kendaraan bermotor.
Penumpang kemudian diajak bertamu ke permukiman warga. Kami meniti gang-gang sempit yang menyerupai labirin di mana pedagang menjajakan permen berbahan kelapa dan wine ular. Yang terakhir ini, katanya, mengandung ramuan sakti asal Tiongkok. “Satu-satunya wine yang membuat tubuh bugar,” canda Giang. Kaum pria lokal lazim mengonsumsinya untuk menjaga vitalitas. Tergoda mitos lokal itu, saya pun mencicipinya.
Matahari makin terik dan penumpang beranjak kembali ke kapal. Di etape berikutnya, kami meluncur ke kota bersejarah Sa Dec. RV Mekong Pandaw melenggang luwes di perairan tenang, menembus kompleks eceng gondok, bermanuver di antara gelondongan kayu. Di perjalanan, saya menyaksikan sejumlah kapal pengangkut pasir. “Hasil kerukan di sungai. Dipakai sebagai bahan konstruksi bangunan di Vietnam,” ujar Giang. Saking beratnya timbunan pasir, lambung kapal pengangkut nyaris terendam seluruhnya.
Seluruh penumpang berkumpul di restoran untuk menikmati makan siang. Hanya di jam makan semua orang duduk bersama. Selebihnya, mereka menyebar untuk menikmati fasilitas kapal. RV Mekong Pandaw punya banyak penawar bagi rasa jemu. Kapal uap yang kerap dijuluki Flotilla ini terbagi dalam empat tingkat. Dek paling atas, yang membentang sepanjang dua kali lapangan futsal, menampung bar serta ruang kongko berisi bangku kayu, sofa rotan, dan kursi leyeh-leyeh. Sementara dek paling bawah menaungi ruang kebugaran, spa, serta lounge indoor dengan perpustakaan mini.
Kamar-kamar penumpang disebar di dua dek tengah. RV Mekong Pandaw mengoleksi 24 kabin dengan kapasitas total 48 orang. Kabin saya, nomor 316, didandani dalam gaya klasik: kombinasi kayu jati dan mahoni dengan sentuhan aksen tembaga di pojok-pojok ruangan. Berkat kehadiran pintu geser, saya bisa menyerap pemandangan sekaligus menghirup udara segar dari atas matras.
Tiba di Sa Dec, penumpang turun untuk melihat-lihat kehidupan kota. Satu atraksi utama di sini adalah napak tilas kehidupan novelis ternama Prancis, Marguerite Duras. Dari 1928 hingga 1932, dia menetap di sini dan menjalin cinta dengan pria lokal bernama Huynh Thuy Le. Kisah itulah yang mengilhami L’Amant, novel romantis yang pada 1992 diadaptasi ke film berjudul The Lover.
Kediaman Huynh Thuy Le masih berdiri. Sempat dihuni kantor polisi, rumah bercorak kolonial ini disulap menjadi objek wisata usai diakuisisi oleh badan pariwisata setempat sembilan tahun silam. Sembari menyeruput teh panas dan mengunyah manisan jahe, penumpang mendengarkan Giang bercerita perihal desain unik bangunan. Di atas lahan 258 meter persegi, rumah Huynh Thuy Le menampilkan fasad bergaya Prancis, lantai bermotif yin-yang khas Vietnam, serta sebuah kubah beraliran Romawi.
Mengunjungi tempat penuh kenangan semacam itu adalah tawaran utama RV Mekong Pandaw. Di balik kemewahannya, kapal ini sejatinya berniat mengajak kita bernostalgia—suguhan yang sejalan dengan arsitektur kapal. RV Mekong Pandaw menerbangkan ingatan kita ke sebuah masa di saat Irrawaddy Flotilla Company (IFC) merajai bisnis ekspedisi di Indocina. Sejarah mencatat, ketika Inggris sibuk menjajah Burma (nama lama Myanmar), kapal-kapal uap Flotilla berfungsi mengangkut hasil bumi, membawa delegasi VIP, mengirimkan pasukan ke pedalaman yang sulit ditembus kendaraan. Kala itu, lebih dari 600 kapal merayap di sungai-sungai di kawasan ini, terutama Ayeyarwady.
Dikendalikan dari markas besarnya di Glasgow, IFC sempat menjelma jadi perusahaan transportasi sungai terbesar di abad ke-20. Sayangnya, Perang Dunia II kemudian pecah dan Jepang menganeksasi Burma. Ambisi IFC untuk berekspansi lebih jauh ke selatan Indocina pun kandas. Lebih dari 200 kapal uap miliknya terpaksa ditenggelamkan agar tak diambil alih Jepang.
Riwayat perusahaan Pandaw Cruise, operator RV Mekong Pandaw, dimulai puluhan tahun setelah masa kelam itu. Kisahnya bermula saat pria Skotlandia Paul Strachan sedang menyusuri Ayeyarwady untuk keperluan riset buku yang ditulisnya. Saat kapalnya meliuk mengikuti meander sungai, Paul melihat seonggok kapal usang yang terdampar. Kapal itu reyot, membusuk dikikis arus. Mengandalkan royalti dari penjualan buku, Paul membeli bangkai tersebut dan mengubahnya menjadi sebuah kendaraan wisata dengan standar kemewahan hotel bintang lima.
Awalnya beroperasi hanya di Myanmar, Pandaw Cruise melebarkan sayap ke Vietnam dan Kamboja. Kapal saya dirakit pada 2002 di Yangon. Arsitekturnya setia pada pakem lama, tapi teknologinya mengikuti standar naval modern. Tungku uap diganti oleh mesin diesel berkekuatan 550 tenaga kuda. Interiornya dilapisi panel-panel kayu dan ditaburi mebel apik. Satu elemen antik yang dipertahankan adalah cerobong uap. “Ini hanya ornamen pemanis,” ujar Sokhom, bartender kapal.
Menjelang senja, semua penumpang telah kembali ke geladak. RV Mekong Pandaw menggulung jangkar dan nakhoda mengarahkan kemudi menuju Chau Doc. Perjalanan kali ini cukup jauh, 145 kilometer. Mengikuti pesiar sungai seperti ini, kita mesti sabar menikmati tiap detik perjalanan, juga lihai mengisi waktu. Sebagian penumpang bersantai menyerap panorama dari kamar atau geladak. Sebagian yang lain melahap buku favorit atau berbincang-bincang.
Di perjalanan, RV Mekong Pandaw berpapasan dengan kapal-kapal wisata lain. Bisnis pesiar memang tumbuh subur di Mekong. Pelancong dari penjuru bumi berdatangan untuk menikmati keindahan negeri-negeri yang berbagi rumpun budaya di belahan utara Asia Tenggara. Saya pernah mengikuti tur susur sungai di Kalimantan. Di sana, tawaran utamanya adalah melihat kehidupan satwa liar di hutan tropis. Di Mekong, agendanya lebih longgar. Kita praktis hanya diajak menikmati tiap detik perjalanan, dengan sesekali menyapa warga dan mengenal budayanya.
Akan tetapi susur sungai di sini tak selamanya menuturkan kedamaian. Mekong, sebagaimana banyak sungai lain di Dunia Ketiga, tengah mengalami degradasi ekologi. Saat wisatawan melihat Mekong sebagai wadah romantis untuk menyelami alam dan budaya, banyak pemimpin negara lebih memandangnya sebagai jawaban bagi kebutuhan energi. Di bagian hulu di Tiongkok, enam bendungan pembangkit listrik tenaga air telah dibangun. Rencananya, 11 bendungan lain akan ditancapkan di Laos, Thailand dan Kamboja—tiga negara yang giat membangun dan karena itu haus energi.
Sejumlah penelitian membeberkan bencana yang mengintai di balik agenda tersebut. Menurut International Rivers, organisasi yang menyoroti sungai-sungai lintas batas negara, bendungan berdampak buruk pada sektor perikanan: jalur migrasi ikan bakal terganggu dan hasil tangkapan nelayan menyusut.
Peringatan ini tak bisa dipandang remeh, terutama di Vietnam di mana 60 persen produksi ikan bersumber dari Mekong. Bagi para petani, bendungan juga menghadirkan masalah. Terblokadenya air di hulu sungai rawan memicu kekeringan di ladang-ladang sayur dan buah di Vietnam dan Kamboja.
Assalamualaikum,” sapa seorang gadis etnis Cham di Chau Doc. Suku minoritas Cham dikenal sebagai pedagang ulung yang berjasa membuka jalur perdagangan antara Asia Tenggara dan Tiongkok. Mereka jugalah yang dulu mendirikan Kerajaan Champa yang menguasai kawasan tengah Vietnam.
Chau Doc adalah salah satu tempat yang menyimpan sisa-sisa peradaban Champa. Bersama penumpang lain, saya menyusuri desa dan menyapa warganya. Semua orang di sini bekerja. Kaum pria menyambung hidup di sungai dengan menangkap ikan. Kaum wanita menjalin benang-benang dengan telaten, melahirkan kain-kain tenun berwarna terang.
Warga Cham di pedalaman umumnya menganut Islam, kontras dari kerabat mereka di pesisir yang memeluk Hindu. Rumah-rumah mereka ditopang pilar-pilar kayu. Interiornya simpel, hanya menampung satu kamar tidur dan ruang tamu, sementara dapur dan kamar mandi diletakkan di kolong rumah. Desain rumah panggung ini adalah bagian dari solusi bertahan hidup. Selama musim hujan, Mekong kerap meluap dan merendam desa-desa di tepinya.
Meninggalkan kaum nelayan dan penenun, RV Mekong Pandaw bergerak kembali ke utara, melawan arus sungai ke arah hulu. Selepas Chau Doc, kapal menyeberangi perbatasan menuju Kamboja. Sungai kian lapang, tapi atmosfernya lebih hening. Tak lagi tampak kapal wisata, sampan pedagang, dan mesin pengeruk pasir.
Kian dalam menembus Negeri Khmer, RV Mekong Pandaw memperlambat lajunya. Dari dek observasi tampak bangunan-bangunan berwarna krem. Selang beberapa detik, pagoda emas menjulang mencolok mata.
Kapal menjangkau Phnom Penh melalui Sungai Tonle Sap, salah satu anak Sungai Mekong, kemudian bergerak ke Kampung Prek Kdam, salah satu sentra kerajinan perak terpopuler di Kamboja. Rute ke sana sangat menguji kepiawaian nakhoda. Beberapa bagian Tonle Sap dipadati eceng gondok, problem pelik di sungai-sungai Indocina selain bendungan dan penambangan pasir ilegal.
Eceng gondok sulit dibasmi. Seperti hama, tanaman ini memenuhi permukaan air, memblokade sinar mentari, serta mengganggu ekosistem di rahim sungai. Bagi kapal-kapal wisata, eceng gondok menghadirkan masalah yang tak kalah merepotkan. Kapten Sotha dan navigatornya mesti ekstra hati-hati bermanuver agar baling-baling kapal tidak tersangkut dan terjerat. Selamat dari kepungan eceng gondok, RV Mekong Pandaw berlabuh di sebuah dermaga kecil. Seperti di tempat transit sebelumnya, kami berpindah moda transportasi. Kali ini, kami menaiki kendaraan bertenaga sapi.
Kampung Prek Kdam dihuni para perajin perak. Mereka menghasilkan kriya berbentuk kalung, gelas, hingga vas. Banyak pekerjanya masih belia. Madame Touch, salah satu pemilik studio, memupuk keahliannya secara turun-temurun. Bersama ketiga anaknya, dia menyandarkan pemasukan dari penjualan kerajinan yang dibuat secara tradisional. Katanya, utusan sebuah perusahaan asal Tiongkok pernah mampir untuk menawarkan mesin cetak perak, tapi ibu berusia 55 tahun ini memilih setia pada teknik warisan leluhurnya. “Sudah menjadi tradisi keluarga yang harus diwariskan,” ujarnya.
Di Kuil Wat Hanchey, saya menemui Bunthean, seorang calon biksu. Remaja pencinta sepak bola ini memutuskan mendalami Buddhisme di usia 15 tahun. Menurutnya, semenjak itu hidupnya lebih tertata. “Di biara saya tidak perlu pusing. Pendidikan didapat dan makan terjamin,” ujarnya.
Pendidikan juga menjadi salah satu bidang CSR Pandaw Cruise. Perusahaan ini menyisihkan pendapatannya untuk memperbaiki kesejahteraan warga di sekitar sungai. Di Desa Angkor Ban misalnya, Pandaw Cruise terlibat dalam pendirian sejumlah sekolah. Hingga kini sudah 12 unit sekolah yang didirikannya di Myanmar dan Kamboja. Kapal yang dahulu didesain untuk mengangkut hasil bumi ini sekarang berikhtiar membentuk masa depan.
Ekspedisi memasuki jam-jam terakhirnya. Layaknya pesiar romantis, RV Mekong Pandaw menggelar sesi penutup yang berkesan bagi para penumpang. Kapal berlabuh di dekat sebuah pulau pasir, lalu seluruh penumpang dan staf turun untuk menyeruput koktail dan berendam di sungai. Musik bergema di tengah hawa panas. Saya menceburkan diri dan menikmati air kelapa dingin. Hari ini, Mekong memiliki sebuah beach club, atau mungkin lebih tepatnya river club.
PANDUAN
Rute
Operator Pandaw Cruise (pandawcruise.com) melayani dua rute pelayaran di Sungai Mekong: dari Siem Reap (Kamboja) menuju Ho Chi Minh City (Vietnam), atau sebaliknya. Kapalnya, RV Mekong Pandaw, dirakit pada 2002 di Yangon dan terakhir kali direnovasi pada September 2013.
Fasilitasnya antara lain spa, perpustakaan, lounge, serta pusat kebugaran mini. Momen ideal untuk wisata susur sungai di Mekong adalah November hingga Februari saat curah hujan rendah dan suhu relatif sejuk. Dari Indonesia, ada banyak maskapai yang melayani penerbangan menuju Siem Reap dan Ho Chi Minh City, salah satunya Vietnam Airlines (vietnamairlines.com).
Penginapan
Wisata pesiar sungai lazimnya dimulai pada pagi hari, jadi Anda mesti datang sehari sebelum tur. Untuk rute Ho Chi Minh City-Siem Reap, salah satu penginapan terbaik di Ho Chi Minh City yang layak dicoba adalah Reverie Saigon (22-36 Nguyeh Hue Blvd., District 1; 84-8/3823-6688; thereveriesaigon.com; doubles mulai dari Rp3.347.000), hotel semampai yang berjarak hanya lima menit berkendara dari titik temu penumpang Pandaw Cruise.
Opsi lainnya adalah InterContinental Asiana Saigon (Corner Hai Ba Trung St.& Le Duan Bl, District 1; 84-8/3520-9999; ihg.com; doubles mulai dari Rp2.280.000) yang berjarak lima menit dari situs sejarah Kantor Pos Besar.
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi November/Desember 2016 (“Nostalgia Flotila”)