by Alessandro Gandolfi 21 June, 2016
Investigasi Visual: Kehidupan Glamor di Shanghai
Teks dan foto oleh Alessandro Gandolfi
Kisah Thalos dimulai dari berdagang Playboy dan Penthouse di sekolah. Dia mendapatkan pasokan majalah pria dewasa itu dari sepupunya yang menetap di Kanada. Di usia 18 tahun, Thalos beralih ke bisnis baru: menjajakan kartu keanggotaan sebuah pusat kebugaran. Setelah itu: mengimpor cerutu dari Amerika, kemudian menjualnya di kasino-kasino di Makau.
Jejak panjang itu mengantarkannya ke dunia yang bergelimang kemewahan. Thalos kini merupakan pemegang tunggal hak pemasaran kaviar Black Pearl, perhiasan Theo Fennell, serta wiski Macallan. Lembar-lembar yuan yang diraupnya kemudian diinvestasikan di beragam bidang, contohnya pertambangan dan keuangan. Pada 2013, perusahaan-perusahaan miliknya meraup omzet sekitar $700 juta dan mempekerjakan 3.000 orang.
Pencapaian impresif untuk pria berusia 33 tahun yang lahir dalam kondisi sangat miskin di sebuah desa yang terpisah 40 kilometer dari Shanghai. “Keputusan terbaik yang pernah saya ambil adalah mempelajari bahasa Inggris,” katanya di samping meja catur bernilai $3 juta yang dihiasi serpihan emas murni. “Di Tiongkok, orang-orang yang terjun ke bisnis dengan motif politik pasti berakhir dengan kekecewaan. Mereka dinosaurus, tak mampu beradaptasi. Sementara kami niagawan yang sejati. Kami luwes dan kosmopolitan.”
Nama sebenarnya bukanlah Thalos. (Banyak orang di Tiongkok mengadopsi nama Barat atau kebarat-baratan.) Dia memiliki istri asal Ukraina, seorang anak, dan sebuah pesawat jet yang siap lepas landas kapan saja. Thalos menampilkan karakter ambisius yang khas dari seseorang yang pernah menderita, walau di momen yang lain bisa bersikap rendah hati layaknya seorang biksu Zen, seperti sosok yang lazim dia dengarkan ceramahnya di radio mobilnya.
“Film favorit saya The Godfather,” sambungnya. “Dari film itu saya belajar banyak hal: tentang pentingnya mengambil keputusan tanpa terburu-buru, pentingnya mengelola kebiasaan buruk, pentingnya memercayai orang yang tepat. Juga tentang pentingnya memiliki visi.”
Thalos adalah sampel sempurna dari kaum wiraswastawan muda Tiongkok. Kelompok ini dicirikan dengan keinginan menikmati kemewahan, menampik masa lalu (terutama yang terkait isu politik), serta menatap masa depan dengan mata seorang manajer yang kalkulatif.
Di Tiongkok, menurut laporan majalah Hurun Report, terdapat 67.000 orang dengan aset pribadi menembus $16 juta, dan lebih dari sejuta jiwa yang mengantongi $1,6 juta. Berikut profil mereka: berusia antara 30-40 tahun, berpendidikan tinggi, beristri, beranak tunggal (yang biasanya diminta bersekolah di Amerika atau Inggris), serta menekuni bidang manufaktur atau properti (yang galibnya merupakan perusahaan warisan sang ayah). Orang-orang ini juga gemar mengoleksi arloji, membeli karya seni dari seniman sekaliber Zhou Chunya atau Zeng Fanzhi, serta bermain golf dan mengisi liburan di Prancis.
“Saya memang hampir sesuai dengan karakter itu,” komentar Steven Zhu di rumahnya yang berlokasi di Distrik Putuo. “Bedanya, saya ingin memiliki anak kedua.” Bersama ayahnya, Steven memimpin perusahaan berisi 700 pekerja yang memproduksi label dan kartu. Kliennya datang dari penjuru bumi. Ketika saya datang, Radisson, putranya yang berumur setahun, tengah mengendarai miniatur mobil listrik Audi di ruang tamu, sementara Steven sibuk menyiapkan meja poker bersama teman-temannya. “Ini satu-satunya kebiasaan buruk yang saya pelihara. Pekerjaan menyedot semua energi saya,” kata pria 31 tahun ini. “Hei, lihat koin-koin (poker) itu, ada tulisan nama anak saya! Koin-koin itu adalah hadiah bagi ulang tahun pertamanya.”
Shanghai adalah motor ekonomi Tiongkok. Kota berpopulasi 20 juta jiwa ini adalah sebuah periuk besar di mana komunisme dan kapitalisme mesra bergandengan tangan. Dalam mitologi lokal, Shanghai dipandang sebagai “Kepala Naga,” aktor utama bagi lahirnya (calon) negara terkaya sejagat.
Kota ini juga dijuluki “New York dari Timur,” sosok yang kontras dari Beijing yang kelabu dalam gaya politbiro. Itu sebabnya bintang-bintang wirausahawan muda memilih menetap di Shanghai. “Kota ini adalah perkawinan yang hebat antara segala yang baru dan lama. Sebuah kota kosmopolitan yang lebih saya sukai ketimbang Beijing yang kusam,” ujar Yishan Chang, wanita 29 tahun asal Taiwan yang bekerja untuk perusahaan sepatu Roger Vivier.
Shanghai sempat dibenci oleh Mao Zedong. Mereka yang gerah mencibirnya sebagai “Pelacur dari Asia.” Tapi, dalam beberapa tahun lagi, kota ini bakal menjadi jantung finansial utama di muka bumi, sekaligus zona perdagangan bebas terpenting.
“Shanghai lebih baik dari Hong Kong. Masa depan dibentuk di sini, dan sekarang waktu yang tepat untuk menjadi bagian darinya,” jelas K.P. Yue, pria 30 tahun alumnus Boston yang mengabdi untuk Cognacs Camus. Yue sedang mengarungi malam nikmat yang panjang. Bersama pacarnya yang berasal dari Slovakia, dia berpindah-pindah tempat dari Bar Rouge menuju Mr & Mrs Bund menuju Cirque le Soir, sebuah tempat absurd di mana orang kerdil menari-nari untuk menghibur pengunjung.
“Ada banyak remaja brilian dan kreatif,” lanjut Yue. “Mereka menjauh dari politik dan lebih berorientasi bisnis. Catat ini: Tiongkok saat ini bukan penghasil barang palsu atau merek duplikat Barat.”
Menurut Ge Dingkun, profesor di China Europe International Business School di Shanghai, pada 2015 Tiongkok memiliki 500 juta manusia yang berusia di bawah 30 tahun (setara dengan seantero penduduk Uni Eropa), dan mayoritas dari mereka tak berambisi “untuk menjadi serdadu pemuja Mao layaknya sang legenda, Lei Feng. Alih-alih, mereka lebih ingin menjadi seorang pengusaha ulung semacam Bill Gates atau Michael Dell.”
Kelas pengusaha baru dijuluki “generasi antara”: kaum berusia 30-an yang menjejakkan satu kakinya pada komunisme, sementara kaki lainnya pada kapitalisme. Mereka membanting tulang untuk menyambung hidup, tapi di saat yang sama royal menghamburkan uang. Dalam tiga tahun terakhir, pendapatan mereka melonjak 34 persen. Sekarang, Tiongkok bertengger di peringkat ketiga dalam daftar konsumen terbesar barang-barang mewah, dengan anggaran belanja berlipat ganda dalam beberapa tahun terakhir. Di antara benda yang paling diminati, kita bisa menemukan pesawat jet, helikopter, dan yacht yang dilengkapi ruang karaoke.
“Di diskotek,” kata Mattia Visconti, seorang promotor acara, “kaum jetset mengenakan busana yang dijahit eksklusif dan menenggak Perrier-Jouët. Sampanye selalu ludes lebih cepat dibandingkan wiski. Di ujung pesta, meja-meja akan dipenuhi begitu banyak botol agar si tuan rumah bisa memperlihatkan berapa uang yang dihabiskannya.”
Di majalah-majalah perempuan, iklan paling jamak menampilkan losion pemutih kulit, dan wanita lokal menggelontorkan banyak uang untuk memborongnya, mayoritas via internet. Lebih dari separuh transaksi di Negeri Tirai Bambu berlangsung di dunia maya.
“Saya menjual krim kecantikan dan produk kosmetik melalui Taobao,” kata Angelus Bai, “dan saya menghasilkan sekitar €50.000 per bulan.” “Perempuan Tiongkok?” lanjutnya, “Mereka lebih menyayangi diri sendiri sekarang. Mereka lebih peduli pada kecantikan.”
Angelus sudah menikah, dan kesibukannya berkurang usai anaknya lahir. Dia sebelumnya membawahi 10 karyawan, tapi sekarang hanya empat. Wanita berusia 32 tahun ini menetap di tepian Shanghai, di sebuah hunian menawan yang dilengkapi kolam renang, di mana dia menghabiskan banyak waktu dengan putranya dan anjingnya yang bernama Qiangun Gun, artinya “semua uang untuknya.”
Orang Tiongkok terobsesi dengan uang, dan bagi mereka uang harus didemonstrasikan, terutama ketika masih muda. Di negeri ini, usia pembeli mobil Rolls-Royce 5-10 tahun lebih muda dari rata-rata dunia. Penjualan Ferrari, meski naik-turun, tetap impresif (700 unit pada 2013), begitu pula jumlah showroom-nya yang kini tersebar di 27 titik. “Kami menyambut baik grafik tersebut, terutama usai mempertimbangkan harga model yang paling terjangkau—California—usai dikenakan pajak, melonjak dari €200.000 ke €380.000,” ungkap Edwin Fenech, President Ferrari Greater China. “Klien kami rata-rata berusia 32 tahun. Puas mencoba beragam merek mobil mewah, mereka berpaling ke Ferrari… Saya menganggap tren itu sebagai buah kematangan.”
Di Pudong, sebuah distrik berisi pencakar langit yang sebenarnya tidak eksis 25 tahun silam, saya menemui Daniel Zhang, pria yang berkuliah di New York City dan kini mengelola perusahaan kontraktor berisi 4.500 karyawan. Daniel menghuni lantai pertama Tomson Riviera, kompleks residensial yang sempat memecahkan harga apartemen termahal di Shanghai dan pernah digunakan untuk syuting film Skyfall. “Memang benar, pengusaha generasi baru mendambakan kenyamanan hidup,” ujarnya. “Penjahit saya berasal dari Milan; dia paham betul selera saya. Dia datang ke sini untuk mengukur tubuh saya.”
“Kami sadar peningkatan selera berujung pada tuntutan akan kualitas, dan kami pun belajar menghargai desain dan identitas sebuah produk,” sambung Daniel seraya mengisap cerutu di teras, sementara istrinya menjaga Keyla, putrinya yang berusia 2,5 tahun. “Kami menetap di jantung Pudong, dan lihat taman ini! Di tempat sepadat Shanghai, selesa adalah kemewahan yang sebenarnya.”
Kemewahan lain yang juga penting bagi jutawan lokal adalah paspor asing. Beberapa orang sudi menyisihkan €300.000 untuk pernikahan dengan warga negara asing. Sanksi keras terhadap pelaku korupsi baru-baru ini telah menebar horor, dan banyak orang berjaga-jaga dengan sebuah siasat: memiliki status kewarganegaraan asing, sehingga mereka bisa lebih mudah kabur, jika diperlukan.
“Mereka yang meraup banyak uang pada 90-an, generasi pertama kaum saudagar, ditengarai kerap menggapai sukses lewat cara ‘mencuri’,” ungkap Claudio D’Agostino, seorang pengacara di DLA Piper, yang menetap di Tiongkok sejak 1996. “Negara ini tumbuh cepat, dan memang mudah mengail keuntungan di tengah transformasi itu. Kala itu, pemerintah tidak banyak campur tangan. Tapi zaman kini sudah berubah.”
Sejumlah statistik memperlihatkan gap antara kaum kaya dan papa kian melebar dalam hitungan hari. Kepada masyarakat yang kurang beruntung, pemerintah mengusung propaganda “mimpi Tiongkok,” sebuah kombinasi antara prinsip sosialisme dan keselarasan sosial. Tapi bagi mereka yang berada di atas piramida ekonomi, kampanye itu justru menawarkan celah untuk memupuk kekayaan dengan menyisihkan sedikit uang pajak.
Satu problem pelik saat ini bagi kaum borjuis lokal adalah: bagaimana caranya menghabiskan uang? Beberapa memutuskan menyewa asisten pribadi atau konsultan untuk mengantarkan mereka memasuki dunia glamor. Salah seorang yang melakukannya adalah Paolo Hu. Dia baru saja membeli dua lantai gedung di The Bund untuk menampung dua merek Italia: Da Ivo dari Venesia dan Just Cavalli asal Milan.
“Dalam 40 tahun,” ujar Paolo, “ideologi komunis Mao menghancurkan pencapaian negeri ini sepanjang 5.000 tahun.” Paolo, kelahiran 1984, melewatkan tahun-tahun pertama hidupnya di Roma. Dia berusia lima tahun saat protes pecah di Tiananmen.
“Saya kembali ke Italia setiap kali ingin membersihkan paru-paru, lambung, dan jantung. Di sana, saya bisa menikmati udara bersih, makanan berkualitas, serta ketenangan yang tidak bisa saya dapatkan di Shanghai,” kata Paolo lagi. “Tapi untuk urusan bisnis, saya memilih Tiongkok. Ada banyak peluang unik di sini. Dan jika ada satu hal yang gagal dilenyapkan Mao, itu adalah DNA kami.”
Dipublikasikan perdana di majalah DestinAsian Indonesia edisi Mei/Juni 2016 (“Kepala Naga”)